Di Inggris, FA sempat melarang perempuan bermain sepakbola pada 1921 sebelum 50 tahun kemudian larangan itu dicabut. Kemudian FA mulai memberlakukan sepakbola perempuan dan turut menyarankan setiap negara asosiasi UEFA juga memiliki timnas perempuan sendiri.
Kini, beberapa klub di Inggris sudah memiliki tim sepakbola perempuan dan memiliki kompetisi regulernya sendiri bernama FA Women’s Super League One. Liverpool, Arsenal, Chelsea, Everton, Bristol City dan Birmingham City adalah 6 tim pertama yang bermain di divisi utama sepakbola perempuan Inggris. Disusul Manchester City, Yeovil Town, Sunderland dan Reading.
Bagaimana dengan Manchester United? Sebagai salah satu klub terbaik di Inggris, mereka hingga saat ini belum memiliki tim perempuan, meski sudah memiliki kondisi finansial yang kuat dan jaringan penggemar yang luas. United dianggap belum memiliki basis penggemar perempuan yang kuat. Padahal sepakbola perempuan dinilai bisa menjadi cara yang mudah untuk menjaring penggemar perempuan.
Menurut Rachel Brown-Finnis, mantan kiper timnas perempuan Inggris dan pandit di BBC Sport, dengan sepakbola perempuan yang semakin populer, tim sepakbola perempuan pada suatu klub diyakini bisa menjadi aset yang menguntungkan. Tim-tim di atas sudah melakukannya dan bersinergi dengan tim pria. Lalu, mengapa United tidak berpikir demikian?
Beberapa minggu lalu United sempat ditanya soal kemungkinan membentuk tim perempuan. Namun tampaknya Manchester United sendiri sudah mulai mempersiapkan tim perempuan. “Hal tersebut [tim perempuan] saat ini sedang didiskusikan dan dilakukan analisis mendalam,” ujar perwakilan United seperti yang dilansir BBC.
Terlihat meyakinkan mereka akan membentuk tim perempuan dalam waktu dekat. Masalahnya, pernyataan itu sudah berkali-kali dilontarkan United sejak 2013. Bahkan ketika para penggemar atau perwakilan United ditanyai hal itu, jawaban tersebut akan terus dilontarkan.
Manchester United sebenarnya pernah memiliki tim perempuan sebelum kedatangan Joel dan Avram Glazer pada 2005. Tim perempuan ditiadakan dengan alasan tidak termasuk dalam rencana bisnis mereka. Sebagai gantinya, mereka hanya fokus melatih pesepakbola perempuan muda usia 16 tahun. Keputusan ini awalnya bisa dimengerti karena United tidak termasuk salah satu tim unggulan saat itu serta masih minimnya peminat sepakbola perempuan di Inggris.
Namun, kini keadaannya sudah jauh berbeda. Popularitas sepakbola perempuan yang semakin meningkat dan peluang bisnis yang makin menjanjikan membuat United seharusnya mempertimbangkan membuat tim perempuan. Menurut Rachel, jika memang mereka hanya melihat faktor keuntungan saat mereka meniadakan tim perempuan saat itu, maka mereka tidak memahami situasinya.
Faktor mayoritas jajaran petinggi United yang didominasi pria kemungkinan mempengaruhi keputusan United saat itu. Darcie Glazer Kasselwitz adalah satu-satunya perempuan dalam jajaran petinggi United saat ini dan ia pun jarang terlihat di Old Trafford.
Rachel menduga United takut jika mereka membentuk tim perempuan, mereka akan gagal dan akan memengaruhi reputasi United. Tetangga mereka, Manchester City membentuk tim perempuan dan bergabung di divisi utama Liga Inggris perempuan empat tahun lalu. Mereka baru saja menjuarai Liga musim lalu.
Masih menurut Rachel, integritas yang baik antara tim pria dan perempuan Manchester City membuat mereka kini justru meraih sukses lebih ketimbang United. Manchester City selalu mampu finis di atas United dalam empat musim terakhir. Mungkin inilah alasan United tak ingin membentuk tim perempuan karena fokus mereka enggan terbelah antara tim sepakbola pria dan perempuan.
Rachel juga menyoroti tim U16 perempuan United di bawah naungan Manchester United Foundation yang tidak diperhatikan. Mereka menggunakan fasilitas yang berbeda dan mengandalkan biaya di luar klubnya. Mereka jarang mendapat sokongan dana langsung dari klubnya sendiri.
Karena hal ini, pemain perempuan yang bermain di United harus mencari klub baru. Salah satunya adalah pemain timnas U17 perempuan Inggris, Emily Ramsey. Ia menyukai United sejak kecil dan sudah bermain untuk klub tersebut sejak usia delapan tahun. Namun, saat ia menginjak 16 tahun, ia dipaksa pindah karena keputusan tersebut dan bergabung dengan Liverpool. Kini ia sudah menjalani karier yang profesional dan matang bersama Liverpool, meski keputusan meninggalkan United untuk pemain seusianya terasa berat. Ia akan mendapat kesan United tidak menyukainya.
United dianggap tidak serius dalam membangun sepakbola perempuan saat itu dan pemain-pemainnya harus menjadi korban. Ini pula yang membuat pemain muda perempuan ragu bermain di United. Padahal, mereka juga punya mimpi yang sama seperti Marcus Rashford, bermain di United sejak kecil dan menjadi pemain profesional.
Tentu tak ada yang bisa memaksa United membentuk tim perempuan. Mungkin juga berbeda jika Liga Primer mewajibkan seluruh klub memiliki tim perempuan. Setidaknya itulah yang disarankan Rachel agar sesuai dengan komitmen mereka dalam menegakkan kesetaraan dalam sepakbola.
Jika Marcus Rashford yang menyukai United sejak kecil dapat bermain untuk klub tersebut, mengapa pemain perempuan tidak? Dengan segala pekerjaan positif yang mereka lakukan selama ini, United belum bisa dikatakan menegakkan kesetaraan dengan pemain sepakbola perempuan.
foto: BBC
Komentar