Piala Afrika dan Masalah HAM Guinea Khatulistiwa

Berita

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Piala Afrika dan Masalah HAM Guinea Khatulistiwa

Kepolisian Equatorial Guinea menahan seorang politisi dan seorang aktivis kemanusiaan. Alasannya, mereka melakukan ajakan untuk memboikot gelaran dua tahunan tersebut. Pihak oposisi berkilah aksi tersebut untuk menghentikan penyebaran virus Ebola. Namun, pada kenyataannya lebih dari sekadar penyebaran virus.

Equatorial Guinea dipimpin oleh rezim otoriter. Mereka memiliki catatan buruk soal pelanggaran hak asasi manusia. Sang Presiden, Teodoro Obiang Nguema Mbasogo, amat membenci kebebasan pers. Aparat kepolisian pun “dibiasakan” untuk melakukan tindakan represif.

Bentrokan antara suporter dengan polisi akhirnya saat pertandingan antara Equatorial Guinea menghadapi Burkina Faso. Bentrokan ini terjadi karena adanya pemeriksaan virus ebola terhadap calon penonton yang akan masuk ke stadion. Akibatnya antrean panjang terjadi. Beberapa orang yang enggan menunggu menerobos masuk dan berhadapan langsung dengan aparat kepolisian. Sebelumnya, penggemar Gabon juga berbuat ulah karena ingin menerobos masuk.

Di luar stadion, bentrokan yang sebenarnya terjadi. Lemparan batu dari suporter dibalas dengan bom asap dan setruman. Beberapa orang juga digiring ke mobil polisi.

Gesekan antara polisi dengan suporter Equatorial maupun suporter tamu sebenarnya sudah bisa diprediksi. Harga tiket yang murah, serta 40 ribu lembar tiket gratis untuk memastikan stadion penuh, nyatanya benar-benar dimanfaatkan. Beruntung pertandingan perempat final dipindahkan dari Ebebiyin ke Bata yang memiliki kapasitas lebih besar.

Namun, ada dugaan kalau bentrokan tersebut sebagai peringatan dari pemerintah Equatorial bagi kaum oposisi. Kepada The Africa Report, salah seorang aktivis kaum oposisi menyatakan bahwa pertandingan sepakbola dengan massa yang besar, bisa jadi dianggap sebagai media untuk menyuarakan kebebasan berekspresi.

Rezim otoriter telah berkuasa sejak 1979. Hal yang membuat Equatorial begitu seksi untuk diperjuangkan adalah sumber minyak yang bertebaran di negara tersebut. Dalam penyelenggaraan pemilihan umum 2009, Presiden Obiang mendapatkan dukungan hingga 95 persen.

Ia memimpin secara brutal terhadap lawan politiknya. Ini pula yang membuat sejumlah kelompok hak asasi manusia mengecam tindakannya. Namun, hingga saat ini, belum terdengar gelombang protes secara besar-besaran untuk mengusut kejahatan Obiang.

Penunjukkan yang Mengejutkan

Equatorial Guinea mendapatkan kehormatan untuk menggelar kompetisi paling bergengsi di tanah Afrika. Dalam waktu tiga bulan, mereka mesti mempersiapkan segala hal, agar Piala Afrika 2015 bisa berjalan tepat waktu dan tentu saja sukses.

Equatorial Guinea bukanlah negara yang namanya sering terdengar, jangankan di dunia, di Afrika sekalipun Equatorial bukanlah negara yang hebat dalam hal sepakbola. Prestasi tertinggi mereka adalah lolos ke Piala Afrika 2012 dan 2015, itu pun karena status mereka sebagai tuan rumah. Hebatnya, pada penyelenggaraan kali ini, mereka sudah memastikan diri lolos ke perempat final!

Pada 2011, Maroko dipilih menjadi tuan rumah Piala Afrika 2015, menyisihkan Afrika Selatan dan Republik Demokratik Kongo. Namun, pada perkembangannya, Maroko mengundurkan diri karena khawatir terpapar virus ebola dari negara peserta. Padahal, penyelenggaraan Piala Afrika tinggal tiga bulan lagi.

Maroko sebenarnya bersedia menjadi tuan rumah, asalkan jadwal penyelenggaraan diundur. Namun, Konfederasi Sepakbola Afrika, CAF, bergeming. Mereka memutuskan bahwa Piala Afrika 2015 harus sesuai jadwal. Pada delapan November 2014, secara resmi Maroko mengundurkan diri dari penyelenggaraan. Atas hal ini, CAF pun melayangkan tuntutan karena Maroko melanggar kontrak yang telah diteken pada April 2014.

CAF pun mempertimbangkan sejumlah negara seperti Mesir, Ghana, Afrika Selatan, dan Sudan untuk menjadi tuan rumah. Namun, semuanya menolak. Negara seperti Angola terpaksa menolak karena infrastruktur yang tidak tersedia, karena terkait dengan pendanaan yang tidak mencukupi.

Pada 14 November, CAF akhirnya menunjuk Equatorial Guinea, yang juga sempat menjadi tuan rumah bersama dengan Gabon pada Piala Afrika 2012. Namun, kini kondisinya berbeda. Tanpa negara pendamping lain, Equatorial mesti menyediakan segalanya sendirian, termasuk stadion. Equatorial pun menyiapkan empat stadion di empat kota untuk menyelenggarakan total 32 pertandingan.

Rumput Kering Tempat Pertandingan Diubah

Baru 24 pertandingan, rumput stadion Ebebiyin telah mengering. Stadion yang digunakan untuk menyelenggarakan pertandingan grup B tersebut, mesti diistirahatkan sejenak. CAF pun memutuskan untuk memindahkan pertandingan perempat final antara Equatorial Guinea melawan Tunisa ke Stadion Bata, yang terletak di pesisir pantai.

Pun halnya pertandingan antara Ghana dengan Mali/Guinea yang mestinya dilangsungkan di Stadion Mongomo, dipindahkan ke Malabo. Salah satu alasan lainnya adalah kapasitas Stadion Bata dan Stadion Malabo yang bisa menampung masing-masing 35 ribu dan 15 ribu penonton.

Dalam pernyataan resminya, CAF menyatakan bahwa rumput lapangan di Ebebiyin dan Mongomo menjadi aus setelah enam pertandingan terakhir. Selain itu, kondisi cuaca yang tidak stabil membuat CAF tidak bisa ingin mengambil resiko jika sewaktu-waktu lapangan menjadi rusak di tengah pertandingan.

Hal ini semata-mata dilakukan untuk memastikan semua kesebelasan bertanding dengan standar yang tinggi termasuk kualitas lapangannya.

Sumber gambar: sports.yahoo.com

Komentar