Kenaikan Nilai Hak Siar yang Tak Berarti Apa-Apa bagi Penggemar

Berita

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Kenaikan Nilai Hak Siar yang Tak Berarti Apa-Apa bagi Penggemar

Operator Liga Inggris, Premier League, dikabarkan menjalin kesepakatan baru dengan pemilik hak siar televisi. Angkanya pun naik drastis: 5,1 miliar pounds! Namun, penggemar berpikir kesepakatan tersebut tidak berarti apa-apa bagi mereka. Penggemar merasa kenaikan hak siar tv tak akan mampu menurunkan harga tiket.

Perwakilan Stoke City Supporters Trust, Martin Smith, mengatakan bahwa inilah saatnya kesebelasan memaksimalkan potensi pemasukan dari hak siar televisi. Ia ingin agar penggemar pun diuntungkan dengan pemasukan dari hak siar.

“Ini adalah saatnya mengenalkan harga tiket yang masuk akal, yang mana akan mengembalikan pertandingan ke orang-orang biasa, terutama bagi kaum muda yang merasa (harga tiket) kemahalan,” tutur Martin seperti dikutip BBC.

Cara pandang penggemar nyatanya memang berbeda dengan pemilik klub. Mereka merasa menurunkan harga tiket berdampak pada turunya pemasukan di sektor gate revenue. Lagi pula tiket pertandingan, yang dianggap mahal itu, selalu terjual habis.

Chairman Stoke City, Peter Coates, menyatakan bahwa pemasukan utama kesebelasan di Premier League umumnya berasal dari hak siar televisi. Ia yakin, kesebelasan punya cara untuk memastkan harga tiket lebih terjangkau.

“Kami bermain dengan rasio kehadiran penonton yang amat tinggi, secara jelas orang-orang berdatangan dan kami harus memastikan itu terus berlanjut, itu tergantung (prestasi) klub,” kata Coates.


Aku cinta televisi (Sumber gambar: wsj.com)

Tingginya harga tiket stadion di Liga Inggris sebenarnya sudah menjadi perhatian bagi Chairman Premier League, Richard Scudamore. Ia menyatakan bahwa kesebelasan mestinya memastikan seberapa penuh bangku stadion mereka di hari pertandingan.

“Struktur seperti ini memperkenankan kita untuk menyeimbangkan antara penonton yang hadir di stadion atau yang memilih menonton di televisi,” kata Scudamore dikutip Newsbeat BBC.

Kesuksesan Premier League meraup keuntungan yang begitu besar nyatanya tidak mengubah mereka sebagai perusahaan bisnis. Scudamore pun menolak kritik sejumlah politisi yang meminta uang penjualan hak siar digunakan untuk meningkatkan kualitas sepakbola akar rumput, dan menurunkan harga tiket.

“Tujuan kami bukanlah untuk kegiatan sosial. Kami diatur untuk menjadi kompetisi sepakbola terbaik,” ucap pria kelahiran 1959 itu.

Sebelumnya, Menteri Olahraga Inggris, Helen Grant, menganggap Premier League sebagai “a great British success story”. Namun, ia juga menyoroti kalau kerjasama hak siar televisi harusnya memberi keuntungan bagi kesebelasan lain di divisi bawah Liga Inggris. “Ini juga penting bahwa kesebelasan menjalankan tanggungjawab dan keberlanjutan,” tutur Grant.

Scudamore berkelit kalau kenaikan harga tiket sejalan dengan rataan jumlah penonton. Rataan penonton pada musim lalu mencapai 36 ribu dengan tingkat okupansi 95%. Ini merupakan yang terbaik sejak 1945/1950. Pendapatan dari tiket juga bisa digunakan untuk membayar gaji mahal sejumlah pemain bintang.

Ia mengandaikan sepakbola sebagai industri film atau industri bakat. Pemilik bakat seperti aktor ataupun penyanyi pasti dibayar lebih besar dibanding dengan yang lain di industri tersebut. “Kami berada dalam industri hiburan. Para bintang yang yang ada di atas lapangan adalah bintang dunia. Penggemar ingin bakat terbaik yang datang dan bermain di Liga Primer,” ungkap Scudamore.

Keengganan sejumlah kesebelasan untuk menurunkan harga tiket memperlihatkan sifat kikir mereka. Bagaimana mereka begitu rakus meraup untung sebesar-besarnya tanpa memerhatikan nasib para penggemar “yang sebenarnya” yang mampu menghangatkan suasana stadion. Mungkin suatu saat nanti, semua stadion di Inggris perlu dipasangi “atmosfer buatan” karena anak muda yang kreatif sudah tersingkirkan, terganti dengan para turis berwajah latin dan India.

Sumber ilustrasi: independent.ied

Komentar