(Lagi) Diskriminasi Gender FIFA Pada Kaum Wanita

Berita

by redaksi

(Lagi) Diskriminasi Gender FIFA Pada Kaum Wanita

Asosiasi pemain sepakbola perempuan internasional, telah berkonsultasi dengan penasehat hukum untuk mengeluarkan keputusan menolak bermain di atas rumput buatan pada Piala Dunia Perempuan, yang akan dilangsungkan di Kanada pada 2015 mendatang. Mereka menuntut pengubahan dari rumput buatan, menjadi rumput asli.

Kelompok ini digagas oleh dua pemain terbaik FIFA, Abby Wambach dan Nadine Angerer. Kelompok ini sendiri didukung oleh 40 pemain nasional dari seluruh dunia.

Sepanjang sejarah sepakbola, tidak ada satupun tim senior baik pria maupun perempuan yang bermain di atas rumput buatan dalam ajang Piala Dunia. Sementara itu, enam stadion tempat dilangsungkannya WWC akan menggunakan rumput buatan. Penasehat hukum kelompok tersebut telah mengirimkan surat pada Federasi Sepakbola Kanada, dan FIFA pada 28 Juli.

Dalam surat tersebut, para penasehat hukum kelompok tersebut berargumentasi bahwa penggunaan rumput kelas dua adalah sebuah diskriminasi gender yang melanggar karakter Eropa dan melanggar ketentuan hukum yang ada di Kanada. Termasuk melanggar hak asasi manusia serta Piagam Hak Asasi dan Kebebasan Manusia Kanada.

FIFA telah mengonfirmasi bahwa mereka telah menerima surat tersebut, namun belum ada komentar lebih lanjut mengenai hal tersebut. Pun dengan Federasi Sepakbola Kanada.

Penggunaan rumput buatan sebelumnya telah digunakan pada Piala Dunia Junior serta Piala Dunia Perempuan U-20 yang dimulai pada Selasa lalu. Mereka bermain di stadion yang sama dengan yang akan digunakan dalam WWC tahun depan.

FIFA telah merekomendasikan dua bintang untuk WWC yang berarti membutuhkan permukaan lapangan terbaik untuk level sepakbola profesional.

Kanada mendapatkan hak untuk menyelenggarakan WWC 2015 setelah Zimbabwe mengundurkan diri dalam proses bidding. Awal 2013, para pemain menjadi sadar bahwa turnamen tersebut akan diselenggarakan di atas rumput buatan, dan petisi dari 40 atau lebih pemain terbaik internasional telah dimulai.

Wambach buka suara pada Maret 2013. Kepada media The Equalizer, ia mengatakan penggunaan rumput buatan adalah sebuah langkah mundur. “Kami telah bekerja begitu keras sebagai atlet perempuan. Tidak hanya di Amerika, tapi juga internasional. Untuk mengembangkan permainan, dalam opini saya ini merupakan sebuah langkah mundur. Semua pesepakbola pria di seluruh dunia akan berargumen pada poin yang sama. Mereka pasti tak ingin bermain di rumput buatan karena kemungkinan terjadinya terjadi cedera lebih besar.”

Sementara itu, Presiden FIFA, Sepp Blatter mengindikasikan rumput buatan akan digunakan pada WWC mendatang. “Ada saatnya ketika bermain di atas rumput buatan, itu adalah mimpi buruk,” kata Blatter. “Ini mimpi buruk karena rumput yang tidak berkualitas. Itu hanyalah karpet yang disimpan di atas beton. Namun kini, kualitas rumput buatan telah berkembang begitu pesat, dan ini adalah masa depan.”

Blatter mengutip mengenai masalah jarak dan iklim sebagai alasan penggunaan rumput buatan. Ia mengatakan, generasi muda telah terbiasa dengan rumput buatan, dan membuat mereka lebih mudah untuk menerima.

Tahun lalu, pelatih Jerman, Silvia Neid mengatakan timnya menolak untuk menggunakan rumput buatan. “Piala Dunia di atas rumput buatan tidaklah mungkin. Kami akan berubah menjadi tikus belanda (guinea pigs). FIFA harus mampu meyakinkan kami untuk bermain di lapangan yang benar. Atau, apa yang harus katakan jika tim sepakbola pria harus bermain di atas pasir pada Piala Dunia Brasil?”

FIFA mestinya mengecek ke tempat futsal yang menyediakan pilihan dua lapangan: karet, dan rumput buatan. Dari situ bisa terlihat mengapa para pemain futsal memilih lapangan karet ketimbang rumput buatan. Bermain di atas rumput buatan biasanya jauh lebih licin dan pergerakan seperti berlari sprint menjadi tidak maksimal.

Pemilihan rumput buatan memang menjadi pilihan lain jika rumput benar-benar tidak dapat tumbuh di daerah dengan iklim yang ekstrim. Tapi, jika rumput biasa masih bisa tumbuh, mengapa mesti menggunakan rumput buatan.

Benar seperti apa yang dikemuakan Wambach. Jika ini adalah masa depan, lantas mengapa tidak diterapkan pada Piala Dunia Brasil? Terutama di Stadion Amazonia yang rumputnya kering dan hampir gundul di dua bulan jelang Piala Dunia. Apa mungkin ini adalah bentuk diskriminasi gender terhadap kaum hawa?

Sumber gambar: theatlantic.com

[fva]

Komentar