Sepakbola gajah memalukan yang dipraktikkan PSS Sleman dan PSIS Semarang pada 2014 lalu memang sukar diterima akal sehat. Tapi, kita akan kehilangan kesempatan memahami gambar besar dari problem sepakbola Indonesia jika hanya berhenti sekadar di skor 3-2 yang semuanya lahir lewat aksi gol bunuh diri itu. Sepakbola gajah itu bisa menjadi pintu masuk untuk memahami problem akut dan laten sepakbola Indonesia.
Salah satu masalah laten dan akut dari sepakbola Indonesia adalah soal finansial. Dan ini juga terlihat di Divisi Utama musim 2014. Di hari yang sama dengan laga PSS vs PSIS itu, PSGC Ciamis kalah WO karena tidak berangkat ke Wamena untuk menghadapi tuan rumah Persiwa. Mudah ditebak: ongkos yang kelewat mahal menjadi pertimbangan.
Dan itu cuma kasus kecil saja. Terhitung di musim 2014 saja, sudah ada kesebelasan yang mundur di tengah kompetisi Divisi Utama yaitu Persitara Jakarta Utara dan Persenga Nganjuk. Mereka kehabisan nafas di tengah jalan, kehabisan dana saat kompetisi belum juga berjalan setengah lamanya.
Soal finansial ini penting untuk diletakkan sebagai konteks sampingan dari cerita sepakbola gajah PSS vs PSIS. Kendala finansial yang akut, tapi memaksakan diri untuk ikut kompetisi, rentan membuat sebuah kesebelasan akan mengarungi kompetisi dengan kondisi yang mengerikan: gaji tak terbayar, uang latihan tak ada, jatah makan di asrama pas-pasan, dll.
Salah satu imbas paling mengerikan dari soal finansial ini adalah pemain-pemain yang tak digaji akan rentan tergoda oleh uang haram suap. Pengaturan skor hingga sepakbola gajah sangat rentan terjadi dalam situasi seperti ini.
Simaklah apa yang terjadi dengan Skandal Senayan 1962, ketika hampir semua pemain inti tim nasional asuhan Toni Pogacknik terantuk kasus suap.
****
Jelang Asian Games 1962, PSSI melakukan pemusatan latihan sejak pertengahan 1961. Hal ini dilakukan mengingat target yang ditetapkan Sukarno saat itu adalah medali emas. Sejak jauh-jauh hari, timnas pun sudah melakukan laga ujicoba dengan tim luar untuk melihat kemajuan dari apa yang telah dilakukan saat latihan.
Indikasi pengaturan skor pun terendus di pertandingan menghadapi Malmoe (Swedia), Thailand, Yugoslavia Selection, dan Ceko Combined. Saat itu, sejumlah pemain diduga bermain di bawah arahan bandar untuk mencapai hasil yang mereka inginkan.
Organisasi setingkat KONI pada saat ini, KOGOR, pun menginvestigasi perihal pengaturan skor ini. Adanya ketidakharmonisan antara pengurus PSSI dan KOGOR, ternyata ada manfaatnya. Mereka mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan, mereka sempat menggeledah mes pemain untuk mencari barang bukti.
Pertandingan menghadapi Vietnam pada 19 Februari 1962 di Lapangan Ikada, menjadi pembenaran atas desas desus tersebut. Pelatih Indonesia, Toni Pogacnik tidak menurunkan 10 pemain inti seperti yang biasa ia lakukan. Malah, mereka kabarnya tidak terlihat di stadion.
Tiga hari setelah laga melawan Vietnam, KOGOR dengan tegas mengeluarkan 10 pemain tersebut dari pelatihan nasional (pelatnas) Asian Games. Alasannya jelas: mereka mempermalukan negara karena terlibat dalam pengaturan skor.
Malang benar nasib Toni. Asian Games belum dimulai, tapi 10 pemain sudah dikeluarkan. Malah, enam pemain lainnya juga tak disertakan karena urusan teknis.
25 Ribu Tahun 1962
Pada 2006, atau 44 tahun setelah skandal tersebut, Wowo Sunaryo yang disebut-sebut menjadi pelaku pengaturan skor, buka suara. Kepada harian Pikiran Rakyat ia mengaku salah satu motif di balik keputusanya untuk terlibat dalam pengaturan skor adalah alasan ekonomi. Menurutnya, honor dari timnas hanya cukup untuk transportasi dari Bandung ke Jakarta. Kalau pun ada sisa, hanya cukup untuk dibelikan telur dan sabun.
Sebagai informasi, honor yang diberikan PSSI untuk pemain timnas saat itu sebesar 25 rupiah per hari, atau 750 rupiah per bulan. Gaji PNS bisa menjadi salah satu patokan untuk membandingkan dengan daya konsumsi masyarakat pada saat itu. Gaji PNS dengan golongan terendah saat itu sebesar 300 rupiah perbulan.
Artinya, uang saku pemain timnas tak bisa dibilang kecil. Namun, jika dibandingkan dengan tawaran para pengatur skor, jelas 750 rupiah perbulan adalah nilai yang tak seberapa.
Saat menghadapi Yugoslavia, seperti yang dilaporkan Tempo, timnas yang saat itu kalah 2-3 dibayar 25 ribu rupiah. Nilai ini jauh lebih besar ketimbang gaji pegawai negeri dengan pangkat tertinggi dengan gaji empat ribu rupiah per bulan. Bayangkan, hanya dalam satu pertandingan, seorang pemain bisa mendapatkan uang dari uang saku selama 33 bulan!
Sebesar apa sebenarnya 25 ribu rupiah pada masa itu?
Hitung-hitungan ini mungkin ngawur dan tidak memperhitungkan faktor ekonomi seperti inflasi atau penurunan nilai tukar rupiah.
Gaji tertinggi pegawai negeri pada saat itu adalah empat ribu rupiah perbulan. Angka 25 ribu berarti 6,25 kali lipat lebih besar dari gaji pegawai negeri perbulan. Saat ini, gaji tertinggi PNS golongan IVe adalah 5,3 juta. Hasil 6,25 kali lipat dari gaji tersebut adalah 33,125 juta rupiah.
Angka ini hampir sama dengan gaji satu bulan pemain di klub, jika ia mengikat kontrak sebesar 400 juta rupiah setiap tahunnya. Apa yang didapat dalam satu pertandingan, sama seperti yang diraih dalam satu bulan.
Banyaknya uang yang didapatkan pesepakbola yang terkait skandal pengaturan skor sebenarnya sempat terendus oleh Mauli Saelan, kiper timnas di Olimpiade Melbourne 1956. Dalam satu masa, istri-istri pemain timnas mengadakan silaturahmi di pusat pembelanjaan, Sarinah. Keanehan tersebut muncul karena beberapa istri pemain berbelanja jauh lebih banyak ketimbang yang lain. Padahal, mayoritas dari mereka berasal dari tingkat ekonomi yang setara.
Mempertanyakan Verifikasi PSSI
Sebelum liga unifikasi digelar, PSSI melakukan verifikasi terhadap klub yang akan berlaga di Liga Indonesia. Terdapat lima aspek yang menjadi patokan: admininstrasi, sporting (pembinaan usia muda), legal, finansial, dan infrastruktur. Sekretaris Jendral PSSI, Djoko Driyono, akhirnya memprioritaskan pada dua aspek: infrastruktur dan finansial.
Selain tim yang berlaga di Liga Super, PSSI pun turut memverifikasi klub yang berlaga di divisi utama.
Namun, kabar mengejutkan terdengar dari tiga tim divisi utama. Persidafon Dafonsoro, Pesenga Nganjuk, dan Persitara Jakarta Utara, memutuskan mengundurkan diri karena masalah dana. Dari sini sudah terlihat ada yang aneh dengan verifikasi yang dilakukan PSSI.
Masalahnya bukan sekadar "main-mata", tapi lebih jauh dari itu. Verifikasi terutama masalah finansial, menjadi jaminan kejelasan gaji pemain dan keberlangsungan hidup klub itu sendiri.
Bisa Anda bayangkan bagaimana nasib pemain di tiga klub tersebut? Jelang mundur dari kompetisi, apakah para pemain bisa tidur nyenyak dengan wajah anak dan istri yang selalu membayangi? Bagaimana nasib mereka di musim depan? Akankah tetap bermain sepakbola?
Pemain yang berada di klub yang tak mampu menjalankan kewajiban menggaji, menjadi rentan "masuk angin". Saat kebutuhan melonjak tapi dana cekak, mau tak mau ia mesti mengambil tawaran yang lebih logis ketimbang menunggu klub melunasi gaji pemain yang berbulan-bulan.
Faktor ekonomi yang menghimpit sejumlah pemain timnas Indonesia dalam periode 1961-1962 (yang ketahuan), menjadi ancaman tersendiri soal integritas pesepakbola terhadap olahraga yang ia mainkan. Banyak yang menganggap untuk saat ini pemain level timnas aman dari suap dan pengaturan skor. Loh, kata siapa? Bukankah klub yang berlaga di Liga Super pun rentan menunggak gaji?
Pendekatan yang dilakukan para bandar judi terbilang klasik. Mereka mendatangi mes pemain dan mengajak bicara baik-baik. Lama kelamaan, mereka mulai datang dengan membawa buah dan pakaian. Setelah akrab benar, mereka pun menawarkan sejumlah uang, asal para pemain bekerja untuk mereka.
Saat itu, pesepakbola bukanlah profesi yang berada di peringkat teratas daftar calon menantu idaman mertua. Masa depan yang tidak jelas, identik dengan kesemrawutan, membuat pesepakbola seolah terpinggirkan.
Menerima pinangan bandar judi akan lebih mudah bagi mereka untuk menafkahi anak istri, atau sebagai magnet untuk merayu calon mertua. Dengan gaya hidup mewah, bukankah untuk mendekati calon istri akan menjadi jauh lebih mudah?
Komentar