Piala Dunia yang tahun ini diselenggarakan oleh Brasil selalu dihiasi dengan berita-berita negatif. Demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan warga Brasil sebagai bentuk protes mereka terhadap penyelenggaran Piala Dunia mengesampingkan semarak Piala Dunia yang sudah di depan mata.
Ya, di Brasil memang hampir mayoritas warganya mempertanyakan penyelenggaraan kompetisi sepakbola terbesar di dunia ini. Menurut mereka, akan lebih bermanfaat jika uang yang digelontorkan untuk Piala Dunia dialihkan ke sektor yang lebih penting seperti pendidikan dan kesehatan [baca esai yang membahas tema ini secara khusus: Sepakbola Tak Lebih Penting dari Sekolah dan Rumah Sakit]
Brasil memang sebuah negara yang dikenal dengan negara sepakbola. Banyak bintang-bintang sepakbola dunia yang berasal dari Brasil. Tapi bagi rakyat Brasil sekarang, sepakbola tak lebih penting dari kehidupan mereka.
Eric Cantona, legenda Manchester United, ikut buka suara atas apa yang terjadi di Brasil. Sepulang dari pembuatan film dokumenter, Looking for Rio, yang mengambil cerita dan setting di Rio de Janeiro, ia menceritakan pengalaman dan pandangannya terhadap Piala Dunia kali ini yang menurutnya penuh dengan keganjilan.
Dalam film dokumenter tersebut, yang merupakan film ketujuhnya, Cantona meneliti sejarah dan budaya empat klub besar yang berbasis di Rio de Janeiro- Fluminense, Vasco da Gama, Flamengo, dan Botafogo. Ia juga ingin mengetahui, bagaimana dampak Piala Dunia terhadap klub dan kota tersebut.
Selama perjalanannya di kota tersebut, banyak sekali keluhan yang dialamatkan pada pembangunan stadion baru yang menggunakan uang rakyat dan menghabiskan tiga kali lipat dari anggaran seharusnya. Ini memunculkan dugaan korupsi yang dilakukan pemerintah untuk mendapatkan dana yang tak sedikit itu. Dampaknya, harga tiket untuk masuk ke stadion itu akan melambung tinggi yang membuat para penikmat sepakbola Brasil yang mayoritas rakyat miskin ini tak bisa menyaksikan pertandingan sepakbola lagi.
Stadion-stadion itu tentu setelah Piala Dunia selesai membutuhkan biaya perawatan. Dan biaya itu pasti akan dibebankan pada klub-klub lokal yang menyewanya sebagai stadion kandang. Sudah bisa ditebak harga tiket akan melonjak, dan publik sepakbola Brazil akan semakin kesulitan menikmati sepakbola di akhir pekan. Dia cemas sepakbola Brazil akan menjadi berbeda setelah Piala Dunia.
âSaya pernah bermain di stadion Maracana dan saya sangat menyukai Maracana. Tapi sekarang, ini hanya sebuah stadion seperti Emirates Stadium atau Stade de France. Mereka berdalih bahwa stadion seperti ini adalah bentuk revolusi bagi negara Brasil. Mereka bertujuan untuk mengedukasi para penonton Brasil untuk duduk nyaman dan menikmati pertandingan. Tapi mereka tidak bisa seperti itu. Mereka tidak ingin duduk. Mereka hanya ingin datang, berdiri, menari dan bernyanyi,â ujar Cantona.
âMereka bukan mencoba mengedukasi para penonton tersebut, mereka justru mencoba membuang kultur yang seperti itu dan mengundang orang yang bisa membayar tiket mahal tersebut. Itulah yang terjadi ketika kita menonton di Emirates atau Old Trafford. Kita perlu mengeluarkan biaya yang sangat mahal. Dan rakyat Brasil tentu tak mampu melakukannya, â tambah pria asal Perancis ini.
Selain itu, Cantona pun mengkritik keras FIFA atas penunjukkan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Jelas ada sesuatu di balik keputusan tersebut. Jika misalnya Brasil memang layak menjadi tuan rumah karena Brasil merupakan negara sepakbola dengan mengesampingkan kontroversi-kontroversi yang ada, lantas apa argumentasi yang kuat dengan penunjukkan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022?
âDi Qatar, sepakbola tidak memiliki harapan karena mereka tidak bermain sepakbola. 80% dari mereka menghabiskan waktunya untuk bekerja. Sisanya, mereka hanya tidur, itu pun di kota kecil. Rakyat miskin di sana dibiarkan mati, sebagian lagi bekerja untuk yang lainnya. Ini jelas memperlihatkan pada dunia bahwa FIFA tidak mempedulikan lagi sisi olahraga,â ujar pemain yang masyhur dengan nomer punggung 7 dan krah yang ditinggikan ini.
Penyelenggaraan Piala Dunia, yang menyingkirkan dan menjauhkan kaum miskin kota, bagi Cantona adalah pengingkaran terhadap akar sepakbola itu sendiri. Bagi Cantona, semua pemain-pemain terbaik dunia tumbuh di lingkungan kumuh dan miskin. Sebutlah nama Maradona, Cristiano Ronaldo, Ronaldinho, Garrincha, dll. Menyisihkan orang-orang miskin dari jalanan hanya agar Piala Dunia terlihat menawan dan bersih adalah pengingkaran atas prinsip penting sepakbola sebagai latihan mental.
"Kau butuh kemarahan, karena sepakbola tak hanya tentang skill. Skill itu hanya 50 persen, sisanya adalah mental. Dan mentalitas itu dipelajari dengan bagaimana bertarung di jalanan," ujarnya lagi.
Pernyataan Cantona ini semakin menggemakan laporan yang ditulis jurnalis Denmark, Mikkel Johnson, yang menyebutkan bahwa banyak anak jalanan yang diculik dan dibunuh karena dianggap bisa mengganggu ketenteraman dan ketertiban Piala Dunia 2014.
[ar]
Komentar