Ivan Ergich
Lahir di Kroasia pada 1981, membuat Ergich mendapat terpaan langsung atas pengaruh komunisme dari Uni Soviet. Bersama keluarganya, ia beremigrasi ke Australia beberapa tahun berselang. Di sana, ia berlatih di Australian Institute of Sport dan dibiayai secara penuh oleh pemerintah Australia lewat beasiswa.
Kariernya terbilang cepat, karena pada usia 19 tahun, ia sudah bergabung bersama klub Liga Australia, Perth Glory. Hanya butuh setahun baginya untuk menarik perhatian Juventus. Pada tahun 2000, ia resmi hijrah ke Italia.
Dengan kualitas yang dimiliki pemain Juventus, sulit bagi Ergich untuk dapat menembus tim utama. Ia pun dipinjamkan ke FC Basel, untuk kemudia menandatangani kontrak permanen bersama tim Swiss tersebut.
Di Swiss, ia sempat mengalami depresi. Butuh waktu hingga empat tahun baginya untuk dapat menemukan kembali kehidupan yang sebenarnya.
Ergich pun mulai diundang stasiun televisi untuk menceritakan perlawannya dalam mengatasi rasa depresi yang diderita. Lambat laun, ia mulai menulis soal pemikiran-pemikirannya di sepakbola, dikaitkan dengan ideologinya yang berhaluan kiri. Ia menumpahkan isi pikirannya dalam sebuah kolom di harian Politika yang terbit di Serbia.
Ia membahas sejumlah topik seperti kesetaraan gender, diskriminasi kelas, konstruksi media, depresi di masyarakat, hingga kehidupan masyarakat kapitalis.
Dalam tulisannya mengenai kesetaraan gender, ia menyinggung adanya istilah-istilah yang melemahkan perempuan yang berupa ejekan dalam sepakbola. Misalnya, "nenek ku bisa melakukan lebih baik". Istilah yang merendahkan tersebut dianggapnya sebagai ucapan yang tak pantas.
Di tulisan yang selanjutnya, perlahan ia mulai memasukkan ideologi tersebut dalam tulisannya. Misalnya, saat sepakbola menjelma sebagai mimpi yang dimaksudkan untuk menina-bobokan kelas menengah. Media mengantarkan ilusi yang terbalut dalam bentuk mimpi sepakbola.
Ergich sempat menggetarkan dataran Turki saat ia diwawancara harian Radikal. Pria yang bermain untuk Bursaspor tersebut mengaku Karl Marx sebagai sosok yang selalu membuatnya terinspirasi.
"Ayahku adalah seorang anggota Partai Komunis yang ortodok. Ia mengajariku menjadi manusia seutuhnya. Marx telah menguraikan kontradiksi dalam kapitalisme 150 tahun lalu sebelumnya. Uang merusak sepakbola. Aku tak ingin menjadi pesepakbola konvensional. Aku butuh inspirasi yang melampaui sepakbola," kata Ergich.
Ergich mengaku terinspirasi tulisan sejumlah filsuf seperti Theodor Wiesengrund Adorno dan Max Horkheimer. Ia juga membaca karya-karya Jean-Paul Sartre. Menurutnya, hal tersebut dapat menjaga prinsip-prinsip yang ia anut.
Socrates
Menjadi wajar dengan kondisi kehidupan di Brasil, ada pesepakbola yang mau berpikir dan belajar. Ia adalah Socrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Olivier atau yang lebih dikenal dengan Socrates.
Dengan statusnya sebagai pemain yang disegani pada masanya, ia memanfaatkannya dengan bersuara. Ia yang mengajarkan bagaimana pentingnya diskusi dan nilai-nilai demokrasi kala ia bermain di Corinthians pada musim 1978 hingga 1984. Kita lebih mengenalnya sebagai "Corinthians Movement" atau masa di mana pengelolaan klub dijalankan begitu demokratis.
Salah satu dampaknya adalah kepedulian para pemain terhadap isu-isu di luar sepakbola. Misalnya, kala mereka menolak pemimpin diktator militer Brasil pada saat itu.
Sama halnya dengan Socrates yang hidup dua ribuan tahun sebelum dirinya di Yunani, ia pun senang berjalan di kota, berdialog, dan berdiskusi. Lewat hal itulah, ia terus belajar. Utamanya belajar berpikir kritis.
Jika ketiga pemain di atas lebih senang membaca karya Karl Max, lain dengan Socrates. Saat hijrah ke Fiorentina pada 1984, ia malah asyik membaca karya-karya Antonio Gramsci. "Saya di sini untuk membaca dan mempelajari Antonio Gramsci dalam bahasa aslinya sekaligus untuk sejarah pergerakan buruh," ucapnya.
Lewat teori Hegemoni yang ia tulis di balik tirai penjara, Gramsci menginspirasi sekaligus menyadarkan khalayak bahwa ada kepentingan yang luar biasa hebat dari apa yang kita terima pada masa kini. Hal tersebut tak lekang dari sepakbola. Pemerintahan yang bobrok dapat menggunakan sepakbola sebagai pengalihan isu. Nilai-nilai buruk yang mereka layangkan, diterima begitu saja oleh masyarakat, tanpa perlawanan.
Socrates wafat pada 2011 dengan segala kritiknya terhadap Brasil dan FIFA. Meski telah tiada, wajahnya akan selalu tertempel di kaus-kaus, spanduk, dan selebaran kaum pergerakan.
Selanjutnya: Cristiano Lucarelli dan Paul Breitner
Orang-orang Kiri di Persimpangan Lapangan Bola
Ceritaby Redaksi 46 30/09/2014 11:46 56176 Pilihan
Komentar