Abdurrahman Wahid, atau karib disapa Gus Dur, dikenal sebagai kiai besar, bukan hanya di Jawa Timur tapi juga di Indonesia. Pria yang lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 1940 tersebut, merupakan cucu dari pendiri Nadlatul Ulama, KH Hasyim Asyari. Ia pula yang mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Pengetahuannya soal agama tak perlu lagi ditanya. Pada 1957, selepas lulus SMP, ia menyeleseaikan pendidikan pesantrennya dalam waktu dua tahun dari seharusnya empat tahun di Pesantren Tegalrejo. Tahun 1963, Gus Dur menerima beasiswa untuk belajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Di sana, ia banyak menonton pertandingan sepakbola.
Barangkali, sisa-sisa pengalaman menonton sepakbola di Mesir tersebut terbawa tuntas hingga ia kembali ke Indonesia. Di sejumlah tulisan yang dimuat di media, Gus Dur memiliki perhatian lebih soal taktik yang digunakan.
Dalam tulisan berjudul âAntara Kebanggaan dan Kekecewaanâ yang terbit di harian Kompas pada Senin (18/7/1994), ia menyoroti batas antara kebanggan dan kekecewaan di sepakbola. Tidak lupa, ia melihat strategi seperti apa yang seharusnya digunakan dalam pertandingan tertentu.
Gus Dur menganggap strategi bertahan lewat serangan balik secara kreatif adalah cara bermain bola yang efektif. Ia mencontohkan kemenangan Swedia atas Bulgaria 4-0 di Piala Dunia 1994. Meski kalah dari Brasil, Gus Dur menganggap hal tersebut kerena sang kapten, Thern, ditarik keluar dari lapangan.
Keesokan harinya, atau pada Selasa 19 Juli 1994, Gus Dur kembali menulis soal kekalahan Italia atas Brasil di ajang yang sama. Ia menganalisa pertahanan ketat Italia yang membuat teknik individu pemain Brasil tak tersalurkan. Serangan Brasil mudah dimentahkan dan hanya satu dua serangan saja yang terbilang membahayakan.
Bola dibiarkan bergulir di tengah dengan tempo lambat. Para penyerang Italia dengan segera mengejar bola ketika dikuasai gelandang Brasil, sehingga bola dengan tergesa-gesa dikirimkan ke depan. Hal ini membuat serangan Brasil menjadi tak terarah.
Ia menyorot penampilan Brasil yang hanya fokus pada duet Romario dan Bebeto, padahal mereka butuh gelandang kreatif yang mampu membongkar pertahanan Italia.
Dalam tulisan sebelumnya, Shindunata dengan cerdik mengamati sistem kabinet Gus Dur di pemerintahan. Penulis Kompas tersebut menyebut Gus Dur bermain bertahan dengan strategi cattenacio atau gerendel ala timnas Italia.
Sebenarnya masih terdapat sejumlah tulisan Gus Dur soal analisa sepakbola di media seperti Tempo. Namun, dari dua tulisan itu saja kita bisa lihat bahwa Gus Dur benar-benar fasih bicara soal taktik dan strategi di sepakbola.
Nyatanya hal tersebut bukan hanya diterapkan di dalam tulisan, melainkan diaplikasikan dalam caranya memimpin pemerintahan.
Baca juga cerita lainnya:Â Presiden dan Sepakbola
Komentar