Bisa dibilang menonton pertandingan sepakbola adalah bagian kesenangan dari hidup. Artinya, sepakbola bukanlah alasan yang tepat untuk dicapai seseorang dalam hidupnya, karena ia sekadar pelengkap. Toh, tak menonton bola pun tak akan membuat hidup berubah.
Namun, sepakbola adalah olahraga, dan olahraga adalah salah satu hal yang penting bagi manusia untuk bertahan hidup. Lantas, bagaimana ceritanya dengan mereka yang negerinya dilanda perang, untuk bisa beraktivitas di sepakbola?
Michel Ibrahim hanyalah seorang tukang cukur di West Vancouver, Kanada. Tak ada hal yang membedakan dirinya dengan orang-orang lain, kecuali pernak-pernik sepakbola yang tersusun rapi di tempat cukurnya. Ibrahim adalah seorang keturunan Lebanon yang memang fanatik soal sepakbola.
Lebih dari 20 tahun yang lalu, ia kembali ke Lebanon. Ia pun terkejut dengan kondisi di negara tersebut. Tenda-tenda pengungsi berdiri di tiap sudut kota. Saat itu, Lebanon tengah menghadapi perang sipil. Pengungsi ini mayoritas berasal dari Palestina yang terusir sebagai dampak perang Arab-Israel pada 1948.
Meski tinggal di kamp pengungsian, anak-anak tersebut seolah tak ingin kehilangan masa-masa kecilnya. Mereka bermain bola di jalanan yang beralaskan beton, dengan bola yang sudah rusak.
Melihat hal tersebut, Ibrahim pun tergugah untuk membantu anak-anak tersebut. Setidaknya, agar mereka bisa bermain bola. Spontan, ia pergi ke toko sepakbola terdekat dan membeli 10 bola serta jaring agar mereka bisa bermain bola.
âAku ingin melakukannya lagi dan lagi, jadi setiap anak bisa main bola,â tutur Ibrahim seperti dirilis Vancouverdesi.
Ibrahim mengatakan sepakbola itu suatu hal yang mudah tapi punya dampak yang luar biasa besar. âAnda tak perlu banyak uang (untuk memainkannya). Kumpulkan 15 anak dan biarkan mereka bermain bola. Rasa bahagia akan terpancar dari wajah mereka,â kata Ibrahim.
Sepakbola adalah permainan yang telah mendunia. Sayangnya, hal tersebut berada di luar jangkauan 10 ribu anak terlantar di pengungsian. Tinggal di tenda pengungsian membuat mereka tak sekolah. Lebih dari pada itu, mereka mesti menghadapi tragedi dalam hidup: kehilangan orang tua karena perang.
Ibrahim pun pulang ke Kanada, ia mendirikan International Soccer Exchange Society (ISES) sebagai saluran distribusi bantuan. ISES pun berkembang menjadi akademi sepakbola yang berdiri di Lebanon. Tujuannya untuk membantu dan mengajari anak-anak soal sepakbola di negara terbelakang dan negara yang dilanda perang.
Saat ini, dalam peringatan 18 tahun pendiriannya, ia membuka pintu selebar-lebarnya bagi para donator untuk menyumbangkan peralatan sepakbola baik itu baru ataupun bekas. Tujuannya sederhana: ia ingin sepakbola dimainkan oleh para pengungsi.
âBanyak dari anak-anak pengungsi tersebut yang datang ke tempat latihan. Mereka duduk dan menyaksikan kami latihan. Setelah itu, mereka pulang ke kamp,â kata Ibrahim, âPelatih bilang padaku bahwa saat ini terlalu banyak anak-anak dan mereka perlu bermain sepakbola yang layak.â
Ibrahim pun mengkhususkan diri meminta warga di Vancouver untuk menyumbangkan segala bentuk peralatan sepakbola mulai dari sepatu bola, deker, sepatu, jersey, celana, dan jaring gawang. Tahun lalu, ia mengatakan sumbangan tersebut bisa membantu sekitar 200 anak, kini, ia menargetkan bisa sampai 700-1000 anak.
Rasa suka cita dari wajah anak-anak tersebut saat mendapatkan perlengkapan âSulit diungkapkan dengan kata-kata,â sebut Ibrahim.
Tahun ini, Ibrahim berencana mengembangkan akademi sepakbola dan bantuan tersebut ke India. Ia menjelaskan hal tersebut akan jauh lebih mudah karena perusahaan penerbangan Air Canada bersedia membantu soal pengiriman bantuan.
Ada yang bersedia juga membantu?
Sumber tulisan dan foto: vancouverdesi.com
Komentar