No player is bigger than a club. Sudah sewajarnya dan sudah sepatutnya kalimat tersebut tak hanya diketahui namun juga diyakini oleh banyak orang di dunia. Terutama mereka yang berkecimpung di dunia olahraga. Kalimat yang sama, bagaimanapun, tak berlaku untuk Zlatan Ibrahimovi?.
Jangan jadikan jumlah hasil pencarian di Google sebagai patokan; jika itu acuannya, Ibra lebih kecil ketimbang PSG. Walaupun, secara tidak mengejutkan, perbedaannya relatif tidak terlalu besar. Anda periksalah sendiri jika masih penasaran.
Jika pernyataan tersebut masih terasa terlalu arogan (dan memang sewajarnya demikian), jika Anda masih berkeras bahwa Ibra tidak lebih besar dari PSG, cobalah kalimat ini: One man can be a crucial ingredient on a team, but one man cannot make a team. Sebuah kalimat yang meluncur dari mulut salah seorang legenda NBA bernama Ferdinand Lewis Alcindor Jr. alias Kareem Abdul-Jabbar.
Bolehlah Anda memegang teguh pandangan yang menyebutkan bahwa Ibra tidak lebih besar dari PSG. Namun Anda tidak akan bisa menghindari fakta bahwa pemain berkebangsaan Swedia tersebut adalah bagian yang sangat penting, yang tak bisa dipisahkan dari PSG. PSG adalah Ibra, dan Ibra adalah PSG itu sendiri. Anda bisa lari, namun Anda tidak bisa bersembunyi.
Dan Anda memang tidak perlu bersembunyi. Untuk apa Anda bersembunyi jika Laurent Blanc, manager PSG, saja tidak repot-repot melakukannya? âJelas sekali bahwa PSG tampil jauh lebih baik ketika Ibra bermain ketimbang ketika Ibra absen.,â pernah sekali ia berucap demikian.
âTentu saja kami begitu. Saya tidak mengerti mengapa orang-orang nampak begitu terkejut karena hal tersebut,â lanjut Blanc, seolah menyadarkan dunia bahwa tidak ada salahnya bergantung kepada Ibra. Atau, meminjam judul sebuah tulisan karya Matthew Spiro, no shame in relying on Ibraâs unique talent.
Tidak perlu malu. Contohlah presiden Montpellier Hérault Sport Club, Louis Nicollin. Ia mengaku tidak takut berhadapan dengan PSG. Tapi ia takut berhadapan dengan âsi Kuncir Kudaâ. Jean-Pierre Papin, peraih gelar Pemain Terbaik Eropa 1991, bahkan sempat berujar bahwa Ibra tidak perlu bermain untuk PSG. Adalah PSG, menurut Papin, yang harus melayani sang dewa.
âIbra selalu membutuhkan sebuah tim yang bermain untuknya. Jika PSG melakukan itu, Ibra akan mencetak gol dan PSG akan baik-baik saja. Namun ketika Ibra tidak ada, mereka memiliki masalah,â ujar Papin. Dan ia terbukti benar.
Ibra memang besar. Bukan karena tinggi badannya hanya 49 cm lebih rendah dari tiang gawang. Tetapi karena ia terbukti mampu mengangkat derajat sebuah klub namun juga sebuah liga. Beberapa pekan setelah Ibra resmi menjadi pemain PSG (18 Juli 2012), Spiro melihat sebuah fenomena menarik: di manapun, lebih mudah menemukan orang-orang yang mengenakan jersey PSG.
âZlatan dipuja oleh para pemuda di sini. Selain Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, tak ada yang dapat menangkap perhatian sebuah negara seperti Ibra. Jangan salah, kedatangan Ibra akan membuat anak-anak kembali menyaksikan Ligue 1,â ujar Spiro dalam tulisannya.
Memang begitulah adanya efek Ibra di Ligue 1, di Perancis. Tak seharusnya kondisi tersebut nampak mengherankan karena Ibra sendiri memang seorang pemain yang diistimewakan. Sehingga walau belum sembuh benar dari cedera, ia tetap diberi kesempatan bermain di panggung terakbar sepakbola Perancis: Le Classique.
Keputusan Blanc untuk memainkan Ibra di menit ke-66 bukan demi PSG, melainkan demi Ibra. Blanc pada awalnya tidak ingin menurunkan pemain berusia 33 tahun tersebut di pertandingan melawan Olympique de Marseille, namun ia berubah pikiran karena Ibra adalah Ibra. Dan Ibra pantas diberi kehormatan bermain di laga super akbar.
Di Perancis sendiri berita absennya Ibra di pertandingan antara Swedia dan Les Bleus bahkan lebih heboh ketimbang kabar mengenai keberhasilan Alexandre Lacazette, top skorer sementara Ligue 1, kembali masuk tim nasional Perancis.
Komentar