Berbeda dengan Italia, Belanda, Jerman dan Inggris, suporter sepakbola (di) Spanyol cenderung tidak terlalu muncul ke pemberitaan dalam soal kekerasan. Setidaknya di Indonesia, jarang ada pembicaraan tentang sub-kultur hooliganisme, ultras, punk football dan yang sejenisnya dengan merujuk Spanyol.
Ada sedikit rasa janggal saat akhir November lalu muncul kabar perihal tewasnya suporter Deportivo la Coruna, Romero Taboada, menjelang laga antara Depor menghadapi Atletico Madrid. Romero Taboada ditemukan dalam keadaan tewas dengan luka kekerasan di tubuhnya.
Kabar kematian itu merebak dengan cepat. Merujuk hipotesis soal kurang massifnya pemberitaan dan pembicaraan mengenai subkultur hooliganisme atau ultras Spanyol di negeri ini, tidak heran jika cukup banyak respons yang memperlihatkan keterkejutan.
Apa boleh bikin, Spanyol memang berbeda dengan negara-negara lainnya dalam soal subkultur di tribun stadion, khususnya gaya ultras. Ini tak bisa dilepaskan dari konteks sosial politik di Spanyol yang sangat mempengaruhi peta persepakbolaan di sana.
Sudah menjadi cerita klise soal bagaimana diktator Franco banyak menggunakan sepakbola untuk menancapkan kuku-kuku bengis politiknya. Dari soal dukung mendukung kesebelasan tertentu, bahkan hingga level mendanai.
Cerita-cerita mengenai ultras, hooliganisme dan kekerasan suporter sering kami tulis. Anda bisa membaca belasan cerita soal itu DI SINI.
Di tribun, hal itu juga terjadi. Kediktatoran fasis Franco memang membuat alur informasi jadi terhambat. Sensor menjadi hal biasa. Sehingga berbagai hal yang dianggap tidak cocok dengan budaya Spanyol, atau dihitung akan merepotkan rezim, dengan mudah dihambat dan dibatasi. Tidak terkecuali informasi mengenai subkultur di tribun-tribun negara lain di Eropa yang sejak awal punya bibit-bibit pergolakan dan politis.
Peran media memang menjadi penting karena, biar bagaimana pun, subkultur di tribun tak bisa dipisahkan dari pertumbuhan budaya pop (pop-culture) yang pengampunya jelas adalah anak-anak muda yang sedang tumbuh, generasi muda yang sedang banyak mencari dan karenanya terus-menerus di ambang kegelisahan.
Jika menilik bagaimana hooliganisme di Inggris, misalnya, itu tak bisa dipisahkan dari soal gaya hidup anak muda yang tumbuh dalam kebudayaan industri. Musik, film, fashion, sepatu, jaket, gaya rambut hingga mode pergaulan menjadi hal yang tak bisa dipisahkan dari pertumbuhan subkultur hooliganisme.
Sensor media yang ketat inilah yang menyebabkan pertukaran budaya antara suporter di negara lain dengan Spanyol menjadi terhambat. Rezim diktator-fasis Franco tentu saja tak senang dengan kemungkinan masuknya anasir-anasir subversif yang diselundupkan ke pikiran anak-anak muda melalui sepakbola.
Disinformasi dengan sengaja dilakukan untuk mengaburkan berbagai hal pokok yang penting, tak terkecuali dalam subkultur di tribun. Salah satunya adalah bagaimana media di Spanyol, dulu, menggunakan "ultras" semata sebagai "kekerasan". âUltrasâ, bahkan, sengaja diplesetkan menjadi âultraderechaâ atau far right wing alias politik sayap kanan yang ultra nasionalis. Pada masa itu, ultras diidentikkan dengan kelompok ultra-nasionalis Spanyol.
Perubahan akhirnya datang, kadang kala, melalui pertemuan dan perjumpaan berbagai orang dari ragam latar belakang budaya. Lagi-lagi sepakbola mengalami diktum itu. Dan sepakbola memang menyediakan kemungkinan itu melalui laga-laga internasional, khususnya Piala Dunia.
Dalam hal perkembangan ultras di tribun, Spanyol mengalami perubahaan saat berlangsung Piala Dunia 1982 yang memang berlangsung di Spanyol. Dalam status dan posisi sebagai tuan rumah, Spanyol tentu saja menjadi halaman tempat berdatangannya para suporter dari negara lain. Mereka datang bukan hanya dalam bentuk kuantitas orang, tapi dalam bentuk "kualitas" yaitu gaya hidup, budaya, subkultur.
Suporter Spanyol, terutama dari kelompok generasi muda, merasakan langsung interaksi dengan suporter dari berbagai negara. Mereka berjumpa dan melihat langsung polah dan kelakuan suporter dari Eropa Timur seperti Yugoslavia atau dari Eropa Barat yang sudah kondang dengan perilaku gila suporternya seperti Irlandia Utara, Inggris hingga Jerman Barat.
Ultras memang identik dengan dua hal: kekerasan dan tendensi politik. Kami banyak menuliskan cerita mengenai ultras dan dua aspek tersebut. Simak cerita-cerita lainnya:Kekerasan Suporter Malaysia, Tiruan Terburuk dari Film-film Ultras
Dirijen Ultras Red Star Belgrade Tewas Tertembak
Singkirkan Rivalitas, Ultras Serbia Bersatu Bantu Korban Banjir
Kekerasan yang Selalu Identik dengan Ultras di Rusia
Ultras Olympiakos yang Mampu Memenangkan Pemilihan Walikota
Ketika Kelompok Ultras Kompak Mendukung Perjuangan Palestina
Tragedi MH-17, Crimea, dan Ultras Ukraina
Ultras Raja Casablanca Serukan Jihad dan Dukungan untuk ISIS
Ultras Hungaria Demo Karena Pemain Liga Bermain Buruk
Juan Segura Palomares, salah seorang wartawan Spanyol, menggambarkan situasi di tribun saat itu:
"Ribuan orang Italia, dengan teriakan dan benderanyaâmerah, putih, dan hijauâmenjawab ribuan (fans) Brasil yang menggunakan jersey kuning dengan bendera hijau dan bola dunia di tengahnya. (Fans Brasil) berdansa samba sekuat tenaga, sensual, dan terus menerus. Itu seperti pemandangan halusinasi. Banyak socios Espanyol yang hadir menangis karena emosi melihat Sarria (Stadion Espanyol) yang mereka cintai berubah menjadi pusat pesta dunia yang disiarkan oleh televisi ke seluruh dunia."
Sebagaimana Inggris mengubah taktik dan gaya bermainnya yang sudah kuno karena perjumpaan dengan Hungaria pada 1953, di mana mereka merasakan kedahsyatan gaya main Hungaria dan akhirnya menyadari kunonya formasi W-M yang mereka pakai, perubahan subkultur di tribun stadion di Spanyol juga karena interaksi kebudayaan macam ini. Piala Dunia 1982 menjadi momentum perjumpaan antar budaya yang membuka mata generasi muda suporter sepakbola di Spanyol.
Ramon Spaaij dan Carles Vinas, peneliti yang menuliskan karya berjudul âPassion, Politics, and Violence: A Socio-historical Analysis of Spanish Ultrasâ, menjelaskan dampak Piala Dunia 1982 ini bagi subkultur tribun di Spanyol. Katanya, kehadiran ultras pertama di Spanyol muncul di kota-kota yang menyelenggarakan pertandingan Piala Dunia 1982 seperti Madrid, Barcelona, Sevilla, Bilbao, Gijon dan Valencia.
Tentang fenomena dan sejarah ultras di Spanyol, simak tulisan kami lainnya di sub-kanal About the Game-nya Detiksport: Budaya Tanding dan Jatuh Bangun Ultras di Spanyol.
Komentar