Oleh Deray
750 pertandingan dan 22 gelar setidaknya menggambarkan seorang Xavi Hernandez untuk Barcelona. 17 tahun ia mengenakan seragam Blaugrana, julukan Barcelona, sejak debutnya pada tahun 1998.
Jika Barcelona adalah âMes que un Clubâ (lebih dari sekedar klub) maka Xavi adalah âMes que un Jugadorâ atau lebih dari seorang pemain. Xavi adalah sebuah sistem. Mereka tidak akan pernah sama tanpa seorang Xavi di dalam lapangan.
âReality is better than my dreams.â â Xavi Hernandez
Kata yang diucapkan Xavi dalam sebuah wawancara untuk Barca Magazine saat dia resmi menjadi pemain dengan penampilan terbanyak untuk Barcelona tahun lalu. Sebuah kata singkat namun menjelaskan semuanya. Berawal dari seorang anak berusia 11 tahun yang menangis setelah menjalani tes untuk masuk akademi La Masia sampai menjadi salah satu pemain terbaik dalam sejarah klub.
Sebagai seorang anak yang lahir di Katalan, menjadi seorang Cule memang seperti sudah ditakdirkan. Xavi yang lahir di Terrassa, sebuah wilayah di Barcelona, memang sejak kecil sudah memimpikan untuk menjadi pemain sepakbola profesional di Barcelona. Pada usia 11 tahun, Xavi mengikuti tes masuk akademi sepakbola Barcelona yang dikenal dengan La Masia.
Sepulangnya dari tes, dia menangis diperjalanan karena merasa tampil buruk dan takut tidak akan lulus dari seleksi. Namun ternyata, pihak Coaching staff menerima Xavi di La Masia setelah dinilai memiliki bakat yang spesial.
Meski tumbuh dengan melihat pemain seperti Michael Laudrup sampai Pep Guardiola sebagai jendral lapangan tengah Barcelona, Xavi ternyata tidak menjadi senior-seniornya tersebut sebagai panutan untuk menjadi seorang playmaker. Xavi muda justru menjadikan pemain dari Southampton, Matt Le Tissier sebagai panutannya sebagai seorang playmaker.
Bakatnya yang istimewa membawanya bisa cepat promosi dan bermain di tim senior. Dia berhasil masuk ke tim senior Barcelona saat masih berusia 18 tahun. Meski masih sulit bagi Xavi untuk menggeser seorang Guardiola yang ketika itu adalah seorang ikon di tim senior Barcelona.
Baca juga:11 fakta El Clasico yang perlu anda tahu
Melihat situasi ini, Adriano Galliani datang menemui ayahnya dan memberikan tawaran untuk pindah ke AC Milan. Mendapatkan tawaran yang lebih besar membuat sang ayah tergoda, namun tidak dengan ibunya yang memang cuma ingin melihat Xavi sukses bersama Barcelona. Kesepatakan Galliani dengan ayah Xavi akhirnya kandas karena sang ibu mengancam akan menceraikannya jika menerima tawaran dari AC Milan.
Hanya duduk di bangku cadangan dalam pertandingan final Liga Champions 2006 mungkin menjadi salah satu momen yang membuatnya frustasi di Barcelona. Meski sukses meraih double Champions, La Liga dan Liga Champions, Xavi melewatkan musim itu dengan cedera panjang yang membuatnya absen hampir selama 5 bulan. Hal yang membuatnya sempat kehilangan kepercayaan diri.
Namun di sinilah seorang Luis Aragonés berperan penting. Pelatih timnas Spanyol ini selalu memberikan dukungan dan mengajak Xavi berdiskusi tentang apa yang dia inginkan di timnas. Sejak saat itu Spanyol bermain dengan sistem yang diinginkan Xavi.
Gelar Juara Eropa 2008 adalah titik balik kebangkitan karir sepakbola Xavi yang mengalami musim buruk bersama Barcelona sebelumnya. Ditunjuknya Guardiola menjadi pelatih Barcelona membawa perubahan kedalam tim.
Dia membuang Ronaldinho dan Deco yang mulai sering tidak disiplin dan mengganggu suasana tim. Guardiola yang sudah sangat mengenal kemampuan dan gaya bermain Xavi, mengembalikan gaya klasik Barcelona dengan menjadikannya sebagai sistem utama. Disinilah petualangan untuk membuat Barcelona era Guardiola menjadi salah satu tim terbaik yang pernah ada dalam sejarah sepakbola dimulai.
âXavi is one of the best midfielder in the last decade because he changed a little bit how to play football. Before, everyone is running and running and running and running. Xavi never runs. The ball runs, he stays.â â Gerard Pique
Xavi memang tidak memiliki kecepatan, hal ini juga yang membuat posisinya ketika di La Masia berubah . Xavi yang ingin jadi seorang penyerang dinilai tidak punya kecepatan oleh pelatihnya dan ditempatkan menjadi pemain tengah. Kemampuannya membaca permainan dengan akurasi umpan yang bisa memudahkan rekan satu tim menjadi senjata utama Xavi.
Saat hendak menerima bola, di waktu yang bersamaan Xavi melihat sekelilingnya dengan cepat dan membuatnya sudah tahu apa yang harus dilakukan saat bola sudah berada dikakinya. Melakukan umpan lebih dari 100 kali dalam pertandingan mungkin bagi banyak orang kadang membosankan, namun tidak untuk Xavi. Ini adalah sistem yang dianutnya. Sistem yang membuat Barcelona dan timnas Spanyol menggoreskan tinta emas dalam sejarah sepakbola.
Di usianya yang sudah memasuki 35 tahun ini kemampuan Xavi tentu sudah tidak sebaik dulu. Apa yang dialami Barcelona dimusim 2013-14 dan timnas Spanyol di Piala Dunia 2014 menjadi contoh nyata penurunan performanya.
Xavi akhirnya pensiun dari timnas dan posisinya kini diisi oleh pemain-pemain lain yang lebih muda. Barcelona juga melakukan pembelian pemain baru seperti Ivan Rakitic untuk menggantikan perannya di lini tengah barcelona.
Dan kabarnya Xavi pun memutuskan untuk hengkang ke klub Liga Qatar, Al Sadd. Dia menolak tawaran dari salah satu klub Amerika, New York City FC, yang di situ terdapat mantan rekan setimnya di Barcelona dan tim nasional Spanyol, David Villa.
Barcelona pun harus kehilangan sosok seorang Xavi di musim depan. Perannya di lapangan mungkin bisa digantikan oleh pemain-pemain muda Barca yang memiliki talenta tidak kalah dari Xavi. Namun, klub manapun pasti akan kehilangan sosok pemain yang telah memberikan segalanya kepada klub seperti Xavi Hernandez.
 *Dikirim oleh Deray. Pecinta La Liga dan J-League. Pengelola akun twitter https://twitter.com/D_Shiryu13" target="_blank">@d_shiryu13
Komentar