Sepakbola, pada kenyataannya tak hanya menawarkan trofi dan gelar juara. Ia, tak jarang juga menawarkan rasa sakit yang tak tertahankan dan kepayahan yang luar biasa. Juga permaafan yang istimewa.
Permaafan yang sejati hanyalah permaafkan kepada yang tak termaafkan. Seperti itulah paradoks yang ditawarkan oleh Jacques Derrida tentang permaafan.
Filsuf post-strukturalis dari Perancis itu beranggapan bahwa memaafkan sesuatu yang dapat dimaafkan sebenarnya sama saja dengan praktik pertimbangan dan perhitungan. Dengan memaafkan mereka bisa segera menyelesaikan perkara yang tak sedap ini lalu memulai hubungan baru yang jauh lebih menyenangkan dan menguntungkan. Bagi Derrida permaafan tidak seperti ini, ia bukan hitung-hitungan untung-rugi, bukan pula pertimbangan kualitatif belaka.
Sepakbola, dalam beberapa kasus, Â mungkin pernah menghidupi konsep permaafan sejati seperti yang diperkenalkan oleh Derrida. Di dalamnya ada banyak hal yang membikin permaafan sebagai ketololan belaka, tapi toh tetap saja muncul permaafan.
Buat apa memaafkan orang yang sudah membikinmu diusir ke luar lapangan? Apa untungnya memaafkan orang yang sudah mencederai kakimu sehingga harus menepi dari lapangan untuk waktu yang panjang? Ketololan macam apa yang membuat seseorang memaafkan pemain lawan yang tekel brutalnya membuatmu harus gantung sepatu walau usiamu masih produktif?
Saya menemukan banyak berita dan cerita yang menyoal cedera-cedera paling mengerikan yang dialami oleh pesepakbola saat bertanding. Ada banyak yang saya temukan, ada puluhan tulisan yang membeberkan semengerikan apa kejadian tersebut dan separah apa akibat yang harus ditanggung si korban. Namun menemukan cerita tentang pesepakbola-pesepakbola yang memaafkan lawan yang membikin mereka menanggung cedera parah adalah kepayahan tersendiri.
Tapi untunglah permaafan itu masih ada.
Maaf Denis Irwin untuk Bosvelt
5 November 1997, Feyenoord kebagian tugas menjamu Manchester United di de Kuip pada pertandingan fase grup Piala Champion 1997. Kemenangan telak 1-3 buat Manchester United diperoleh lewat hattrick Andy Cole. Tampaknya, baik sebagai kesebelasan tandang maupun kandang Feyenoord sama-sama tak berkutik melawan United.
Beberapa menit menjelang berakhirnya pertandingan seharusnya ada keriaan di kubu MU. Kemenangan 2-1 di Old Trafford disempurnakan dengan kemenangan telak di kandang lawan. Kesempatan untuk melaju ke fase selanjutnya semakin terbuka lebar.
Namun 4 menit menjelang akhir pertandingan justru menjadi menit-menit mengerikan. Bukan karena kubu Feyenoord menyerang balik dan hampir menyamakan kedudukan, tetapi karena di menit-menit akhir itu salah satu penggawa mereka mendapat cedera yang tak main-main.
Pemain bertahan Manchester United, Denis Irwin, berhasil memotong umpan yang tadinya ditujukan kepada Paul Bosvelt. Barangkali frustasi karena kekalahan telak ditambah gagal menerima umpan akibat berhasil dipotong oleh Denis, Bosvelt yang saat itu berada di belakang pemain asal Irlandia tersebut berupaya untuk segera merebut bola. Namun kalau diperhatikan, tekelan tersebut lebih cocok disebut sebagai usaha untuk meremukkan kaki Denis dibandingkan merebut bola.
4 menit menjelang berakhirnya peluit panjang itu tak lagi menjadi menit-menit menggembirakan buat pemain MU. Biasanya, kesebelasan yang sudah unggul banyak di menit-menit akhir gemar mengulur waktu. Oper sana oper sini, semacam tak punya kebutuhan untuk menambah angka di menit-menit akhir. Barangkali memang tak ada yang perlu ditakutkan lagi, toh sisa waktu tinggal 4 menit dan lawan sudah ketinggalan 3-0.
Alih-alih berleha-leha dengan mengoper bola ke sana ke sini; skuat United justru ditimpa kengerian. Denis tak bisa bangkit. Ia harus digotong keluar dan dilarikan ke rumah sakit saat itu juga. Fergie yang duduk di bench menjadi beringas. Entah sumpah serapah apa yang diucapkannya sambil menunjuk-nunjuk pelatih Feyenoord. Yang jelas pelatih lawan pun tak mau kalah, ia membalas Fergie dengan gestur yang serupa.
Tekel Bosvelt yang rasanya lebih tepat disebut brutal daripada keras itu membikin Irwin harus menepi dari lapangan selama 6 minggu. Ia mengalami cedera ligamen lutut kiri yang cukup serius sehingga mengharuskannya untuk berhadapan dengan meja dan pisau operasi.
Sebagian besar pesepakbola percaya kalau hidup mereka bergantung pada kaki. Makanya, jika terjadi sesuatu pada kaki mereka, ancaman yang sebenarnya menghantui bukan cuma perkara pensiun muda atau meredupnya nama besar. Bayangkan apa jadinya jika hal paling berharga yang kalian punyai hilang begitu saja. Bagi Irwin dan pesepakbola lainnya, kaki tak hanya berfungsi sebagai tumpuan tubuh -lebih dari itu, kaki adalah tumpuan hidup mereka.
Atas perbuatannya, Bosvelt tak hanya meminta maaf secara pribadi kepada Denis, tetapi juga menggelar permintaan maaf terbuka yang diliput oleh sejumlah stasiun TV.
Apapun yang menjadi alasan Denis Irwin untuk memaafkan Bosvelt, yang jelas keputusan untuk memaafkan memang bukan keputusan yang mudah. Tapi agaknya, sebagai pesepakbola, Denis juga paham kalau sewaktu-waktu ia pun bisa menjadi seperti Bosvelt. Dan untuk yang satu ini, Denis memang pernah mengalaminya 1,5 tahun yang lalu.
Maaf dari Totti untuk Richard Vanigli
Francesco Totti bukan orang baru di ranah sepakbola. Malang-melintang di level senior sejak tahun 1992 membuatnya paham sepakbola yang katanya adalah permainan indah juga bisa berubah wujud menjadi permainan yang mengerikan. Ia sebagai senior pasti sudah berkali-kali mendengar berbagai cerita seram yang menghantui pesepakbola manapun. Dan kali ini, Totti yang mendapat giliran.
19 Februari 2006, Totti melakoni laganya seperti biasa bersama AS Roma. Kala itu yang menjadi lawan adalah Empoli. Di tengah pertandingan, tekelan keras dari kubu Empoli membuat Totti tak mampu melanjutkan pertandingan. Tekel Richard Vanigli dari belakang tersebut menyebabkan keretakan pada tulang pergelangan kaki kiri dan robeknya ligamen Totti. Ia mau tak mau harus menepi dari lapangan untuk beberapa bulan. Yang membikin khawatir, waktu itu sebenarnya Italia sedang bersiap untuk menghadapi Piala Dunia 2006 di Jerman. Pemulihan Totti yang tadinya diperkirakan lebih dari 5 bulan mengancamnya tak mengikuti Piala Dunia tahun tersebut.
Yang berang bukan hanya pihak klub, kubu tim nasional Italia pun demikian. Di sejumlah wawancara mereka bergantian mengecam Vanigli atas apa yang telah diperbuatnya terhadap Totti.
Namun Totti adalah Totti; pesepakbola yang gemar menertawakan hampir semua hal. Dan kali ini, Totti menertawakan dirinya sendiri. Waktu itu ia berkata kalau sebentar lagi anak laki-lakinya yang masih balita akan segera mengambil tempatnya baik di Roma maupun tim nasional Italia.
Totti pulalah yang menegaskan kalau sebenarnya ia sudah memaafkan Vanigli, bahkan sejak mengetahui kalau di akhir pertandingan pemain itu menangis menyesali perbuatannya. Pesepakbola Tuscany itu sebenarnya juga sudah menghubungi Totti secara pribadi untuk meminta maaf. Ia bilang ia benar-benar kecewa atas akibat dari tekel brutalnya tersebut.
Namun bagi Totti, apa yang menimpanya itu memang bagian wajar dari sepakbola. Entah apa yang menjadi penyebabnya, yang jelas Totti begitu yakin kalau saat itu apa yang ada di benak Vanigli cuma merebut bola. Ia tak pernah sekalipun bermaksud meremukkan kaki pesepakbola kesayangan Stadio Olimpico itu.
Maaf dari Battiston untuk Toni Schumacher
Tiga gigi patah, tulang rusuk retak, tulung punggung rusak, 1,5 jam koma. Cedera yang rasanya lebih pantas terlihat beberapa saat setelah kecelakaan lalu lintas. Tapi sialnya, cedera ini terjadi saat pertandingan sepakbola berlangsung. Ini bukan cedera kecelakaan mobil, ini cedera sepakbola.
Hal-hal itulah yang dialami oleh Patrick Battiston; pemain tim nasional Prancis pada partai semifinal Piala Dunia 1982 di Sevilla.
Waktu itu tanggal 8 Juli 1982, Prancis berhadapan dengan Jerman Barat, skor masih imbang 1-1. Michel Platini melesatkan umpan panjang ke arah titik pertahanan Jerman Barat.. Battiston yang bebas dari kepungan skuat Jerman Barat menerima bola tersebut. Ia berlari kencang hampir mencapai kotak penalti. Namun penjaga gawang Harald âToniâ Schumacher juga tak mau tinggal diam. Ia berlari ke arah Battiston dengan maksud menerjang bola agar tak berhasil disepak Battiston ke arah gawang.
Alih-alih mematahkan serangan, terjangan Toni justru membikin satu orang pesepakbola di ambang batas hidup dan mati.
Setelah menerima terjangan Schumacher, Battiston tergeletak tak berdaya di lapangan. Wajahnya pucat, badannya tak sedikit pun bergerak. Rekan-rekan setimnya dan beberapa orang pemain Jerman berteriak memanggil tim medis. Platini sempat berbicara dengan nada frustasi, katanya; "Denyut  nadinya tak ada, wajahnya benar-benar pucat."
Atas terjangan brutalnya, wasit tak mengganjar Schumacher dengan kartu kuning atau merah. Ia dibiarkan saja. Pasca Battiston dilarikan ke rumah sakit, pertandingan berlanjut seperti tak terjadi apa-apa.
Pelatih Perancis berang. Ia tak terima kalau anak asuhnya diterjang sedemikian parahnya sampai tak sadarkan diri sementara orang yang menerjang tak dihukum apapun. Baginya ini ketidakadilan yang mendalam.
Tentang insiden yang menimpa Battiston tersebut, Schumacher berkata begini dalam sebuah wawancara; "Saya sama sekali tidak ingin menyakiti dia. Namun saya harus mengakui kalau kejadian seperti itu terulang lagi (serangan semacam yang dilakukan Battiston sebelum kejadian), saya akan melakukan hal yang sama. Itu satu-satunya cara untuk mendapatkan bola."
Atas tindakannya yang membahayakan nyawa Battiston tersebut, Schumacher memang mendapat banyak kecaman. Namun bukan hal itu yang menjadi penyesalan terbesarnya. Katanya, Â ia menyesali karena skuat Jerman Barat termasuk dia, tidak menjenguk dan menemui Battiston secara langsung di rumah sakit.
Battiston sendiri paham akan ketakutan Schumacher. Ia mengerti bahwa Schumacher memang pesepakbola dengan tipe ingin menang di segala hal. Dan tanggal 8 Juli 1982 itu, ia benar-benar memilih caranya sendiri untuk menang.
Dan atas nama pemahamannya akan situasi Schmacer, Battiston bilang ia sudah memaafkan perbuatan penjaga gawang tersebut. Namun agaknya ada yang belum selesai dalam permaafan Battiston, karena sampai saat ini ia mengakui kalau ia tidak akan pernah mau bertemu lagi dengan Schumacher.
Maaf dari David Bust untuk Brian McClair
Tekel keras yang membuat Irwin sempat berhadapan dengan ancaman pensiun dini adalah perihal yang diakrabinya. Pasalnya, sekitar 1,5 tahun yang lalu Irwin juga berhadapan dengan hal serupa. Hanya saja waktu itu, tepat tanggal 8 April 1996, cedera yang diakibatkan oleh tekel Irwin lah yang membikin seorang pemain Coventry bernama David Busst gantung sepatu di usia produktif: 29 tahun.
Dalam wawancaranya Busst bercerita kalau tabrakan itu terjadi 80 detik setelah ia memasuki lapangan. Waktu itu kesebelasannya memenangkan tendangan pojok. Busst terlihat berlari naik dari pusat pertahanan. Bola bergulir. Penyerang Coventry, Noel Whelan melesatkan sundulan ke arah gawang. Peter Schmeichel yang sejak awal pertandingan bersiaga penuh atas setiap serangang mampu menangkis tembakan tersebut. Busst yang posisinya lebih ke atas berlari, lantas meluncur demi menguasai bola.
Sadar akan kewajibannya untuk menjaga lapangan belakang United sekuat-kuatnya, Denis Irwin dan Brian McClair berupaya mencegah Busst menguasai bola. Denis berusaha merebut dari sebelah kiri, sedangkan McClair dari sebelah kanan.
Bayangkan apa yang terjadi. Bagian bawah kaki kanan Busst dihantam sekaligus oleh 2 tekel pemain bertahan. Akibatnya benar-benar mengerikan. Bagian bawah kaki kanannya terputar sampai kira-kira 90 derajat, tulangnya merobek kulit dan darahnya harus dibersihkan selama 12 menit dari lapangan. Tak hanya itu, tibia (tulang kering) dan fibula (tulang betis) miliknya pun patah. Jangankan menonton rekaman video insiden tersebut, membaca berita dan menuliskannya kembali pun membikin ngilu, rasanya seperti ada yang salah dengan kaki saya sendiri.
Bersamaan dengan tabrakan tersebut, Busst meraung di tengah lapangan. Istrinya hanya bisa terduduk lemas di tribun penonton. Kata Busst, saat ia digotong keluar lapangan untuk segera dilarikan di rumah sakit, ia melihat ribuan penonton berdiri, memberikan tepuk tangan penanda dukungan buat kesembuhannya. Namun katanya, ia tidak bisa mendengar gemuruh tepuk tangan tersebut, yang ia dengar hanya erangannya karena menanggung sakit yang tak tertahan.
Yang harus dihadapi Busst pasca insiden tersebut tak hanya 22 meja operasi, tapi juga ancaman amputasi kaki yang syukurlah tak pernah jadi kenyataan. Lantas, di atas segala kengerian meja operasi dan amputasi, ada hal lain yang jauh lebih menyeramkan. Segala tindakan dan operasi ortopedi oleh para ahli boleh diberikan pada Busst, namun pada kenyataannya tak satu pun dari operasi dan tindakan tersebut yang mampu menyelamatkan karirnya sebagai pesepakbola.
Seruntuh apapun dunia Busst -yang jelas, di pertandingan testimonialnya yang mempertemukan Manchester United dan Coventry, Busst berhasil mencetak gol sebagai eksekutor tendangan penalti. Tak ada perayaan gol, ia hanya berlari kecil ke tengah lapangan. Baik rekan-rekan setimnya maupun Manchester United sama-sama bertepuk tangan untuknya.
Walau tak ada perayaan gol yang meriah, air mukanya tak bisa menipu kalau waktu itu ia benar-benar gembira. Kegembiraan yang sepantasnya, yang rasanya muncul karena ia bisa menang di dalam kotak penalti walaupun ia pernah takluk di dalam kotak penalti.
Tak ada satu berita pun yang mengungkapkan kalau David Busst memang telah berdamai dengan Brian McClair dan Denis Irwin. Tak ada permintaan maaf secara terbuka. Tak ada foto jepretan paparazzi yang berhasil menangkap momentum McClair dan Irwin yang sedang berjalan ke rumah sakit untuk menjenguk Busst. Rasanya ranah sepakbola menganggap kalau mematahkan kaki lawan dan menghancurkan karirnya seketika adalah perkara wajar.
Namun pemain Manchester United pertama yang menyalami Busst pasca golnya di menit-menit akhir itu adalah McClair. Lucunya, Busst yang tadinya berada di bangku cadangan juga berkat ulah Brian McClair yang membikin pelatih Coventry mengganti Gordon Strachan dengan David Busst.
Sebagai orang yang tak pernah menggeluti sepakbola, saya tidak tahu pasti tentang permaafan yang seharusnya muncul setiap kali kejadian tak sedap seperti apa yang dialami Busst. Apakah permintaan maaf terbuka memang diperlukan atau sama sekali tak memerlukan permintaan maaf â karena bagaimanapun juga apa yang terjadi di lapangan adalah bagian dari pekerjaan yang mau tak mau harus diambil juga.
Apapun jawabannya, rasanya David Busst tak akan mungkin membiarkan Brian McClair ada di pertandingan testimonial yang notabene merupakan pertandingan terakhir yang khusus ditujukan buatnya, jika ia belum memaafkan Brian McClair.
Memaafkan yang Tak Termaafkan
Pada prinsipnya, permaafan sejati itu tak punya batas. Ia tak dipersulit dengan aturan dan persyaratan. Permaafan tak butuh pertimbangan pemulihan diri ataupun manfaat lainnya. Permaafan itu tidak pernah menjadi serupa dengan ganti rugi. Kita, manusialah yang merancangnya sebagai ajang menuntut ganti rugi. Padahal setiap kali permaafan memiliki tujuan, baik religius, ekonomi, norma, politis atau apapun (yang sebenarnya tak salah dan sah-sah saja), maka ia tak lagi menjadi murni.
Permaafan juga membebaskan orang yang dimaafkan dari berbagai tuntutan. Jika dikaitkan dengan kasus cedera-cedera mengerikan para pesepakbola, maka lewat keputusan âkatakanlah- seperti Denis Irwin yang memaafkan Paul Bosvelt atas tekel horor dalam laga Feyenoord kontra United itu tidak perlu dipersulit dengan tuntutan bahwa Bosvelt harus berubah, tidak boleh menekel dari belakang lagi dan sebagainya.
Apalagi yang harus dimaafkan jika Bosvelt atau penjaga gawang Jerman Barat era Piala Dunia 1982; Toni Schumacher berubah menjadi pesepakbola yang lebih santun?
Konsep permaafan yang diperkenalkan oleh Derrida memang terkesan tak masuk akal; apalagi jika mengingat-ingat kembali sepayah apa pesepakbola-pesepakbola itu (dan barangkali kita juga) menata hidupnya kembali akibat hal-hal tak sedap yang diperbuat orang lain. Permaafan yang demikian menjadi perihal yang membingungkan karena tak ada satu hal pun yang bisa kita dapatkan.
Namun, permaafan demikianlah yang dilakukan oleh David Busst, Denis Irwin ataupun Francesco Totti. Permaafan yang berbeda, yang melampaui batas dan normalitas pemberian maaf itu sendiri. Permaafan yang seperti ini memang susah dimengerti, namun agaknya pesepakbola-pesepakbola yang terbiasa bersusah payah di lapangan itu percaya kalau permaafan yang tak masuk akal itu adalah permaafan yang menyelamatkan dan membebaskan mereka dari beban berupa kebencian yang tak terselesaikan.
Sumber foto:Â www.telegraph.co.uk
Komentar