Berbatasan dengan laut Hitam di sebelah barat, Turki dan Armenia di sebelah selatan, Azerbaijan di timur dan Rusia di sebelah utara membuat negara kecil ini luput dari pengamatan para pecinta sepakbola Eropa: Georgia.
Bahkan jika harus memaksa untuk mengingat-ingat, (mungkin) hanya nama Kakhaber Kaladze lah yang bisa kita sebutkan dari sekian banyak pemain sepakbola di negeri tersebut. Itupun Kaladze sudah lama gantung sepatu dan beralih profesi menjadi seorang politikus. Kabar terakhir menyebutkan bahwa ia kini menjabat wakil perdana menteri bidang energi negara Georgia.
Wajar saja jika pesepakbola Georgia yang terngiang-ngiang hanyalah Kaladze. Bagi penggemar liga Italia 90-an, pasti mengenal betul kiprah Kaladze yang menapaki karir bersama AC Milan selama sembilan tahun dan bersama Genoa dua tahun. Sebelas tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi pemain termahal Georgia yang pernah direkrut oleh kesebelasan asing ini.
***
Nama Georgia kembali mencuat setelah badan otoritas sepakbola tertinggi di Eropa yaitu UEFA dalam menetapkan tuan rumah Piala Super Eropa 2015. Pertandingan yang sejak 1998 selalu digelar di Stade Louis II, kota Monaco ini akhirnya mulai menggilir beberapa kota di Eropa agar merasakan atmosfir pertarungan anatar jawara liga Champions dan liga Europa.
Pada 2013 lalu, pertemuan antara Chelsea dan Atletico Madrid di Eden Arena, kota Praha, menjadi permulaan arena penyelenggara kompetisi ini selain di Monaco. Tahun lalu, Piala Super Eropa digelar di Cardiff City Stadium, Wales, di mana tahun ini kemudian digelar di Boris Paichadze Dinamo Arena, Tbilisi negara Georgia.
Bagi Georgia, ini adalah salah satu upaya mereka untuk menarik wisatawan luar negeri untuk berkunjung ke negaranya. Tak hanya itu, hal ini pun menjadi salah satu cara mempromosikan sepakbola Georgia sendiri beserta talenta-talenta muda dari Georgia. Mereka yang mengupayakan dengan cara bidding tuan rumah sejak 2011 lalu, akhirnya mendapat restu dari UEFA pada pertengahan 2012.
Sepakbola Georgia memang tak terlalu maju seperti tetangganya, Turki. Bahkan dalam lima pertandingan terakhir tim nasional mereka, hanya mengantongi sekali kemenangan pada pertandingan persahabatan saat menjamu Malta dengan skor 2-0. Perjalanannya menembus Piala Eropa 2016 pun masih tersendat karena sejauh ini mereka baru mengantongi tiga poin dari kemenangan atas Gibraltar, salah satu negara kurcaci lainnya di Eropa.
Dari kiprah klub, kesebelasan asal ibukota Georgia, Dinamo Tbilisi, sebenarnya mempunyai kesempatan emas untuk bertarung di ajang Piala Super Eropa pada edisi 1981 yang berstatus sebagai juara Winners Cup yang mewakili Uni Soviet. Tapi sang calon lawan, Liverpool FC yang bertrofikan Piala Champions 1981, ternyata menolak untuk bermain karena tidak mempunyai waktu kosong untung bertanding dua leg sesuai format kompetisi saat itu. Bahkan tiga tahun kemudian, ketika Liverpool berkesempatan bermain di ajang yang sama, mereka hanya bermain satu leg saja melawan Juventus di Turin. Alasannya sama, mereka tak menemukan waktu yang cocok untuk bertanding kala itu.
Uniknya , jika salah satu klub akan bermain di kancah Eropa, hampir seluruh warga Georgia akan mendukung kesebelasan tersebut tanpa peduli asal-muasal mereka. Hal ini pernah terjadi pada tahun 2011 lalu ketika kesebelasan Zestafoni bersua Club Brugge di partai play off liga Europa.
Kesebelasan Zestafoni yang bermain di stadion Boris Paichadze Dinamo Arena saat itu dipadati sebagian besar oleh penggemar Dinamo. Mereka bukannya tak mengenal loyalitas, tapi saat itu Dinamo Tbilisi sedang tandang ke AEK Athens, Yunani, dan mereka mempunyai waktu untuk mendukung Zestafoni. Kemudian pekan depannya, ketika Dinamo kedatangan tamu dari Yunani, sebagian besar penggemar Zestafoni ikut mendukung Dinamo bermain. Vice Versa.
Hal ini bisa dimengerti karena Dinamo Tbilisi adalah kesebelasan tersukses sepanjang sejarah persepakbolaan Georgia. Mereka sendiri sudah memenangi Liga Utama Georgia (Umaglesi Liga) sebanyak 15 kali. Pesaing terdekatnya, Torpedo Kutaisi, baru meraih gelar liga sebanyak tiga kali.
Maka wajar jika kemudian Dinamo Tbilisi adalah kesebelasan idaman para pesepakbola di sana. Kakhaber Kaladze yang malang melintang di AC Milan pun pernah bermain untuk Dinamo Tbilisi. Pun begitu dengan salah satu penggawa Valencia saat menjuarai Piala Super Eropa tahun 2004 lalu, yaitu Xisco Munoz, pernah bermain untuk Dinamo Tbilisi (kemudian menjadi satu-satunya kesebelasan asing yang pernah ia bela sepanjang karirnya).
Musim 2014-2015, akhirnya Umaglesi Liga menelurkan juara baru yaitu FC Dila Gori yang memutus dominasi Zestafoni dan Dinamo Tbilisi dalam empat musim terakhir. Yang lebih mengejutkan lagi, musim lalu dihiasi keputusan mengejutkan yaitu dicoretnya Zestafoni dari liga karena gagal menggelar pertandingan melawan FC Dila Gori.
Usut punya usut, ternyata Zestafoni menolak menyelenggarakan pertandingan pada 19 April 2015 tersebut karena merasa ditawari dengan sejumlah uang suap dari pihak yang tak dikenal. Tapi mereka yang melaporkan hal ini kepada Federasi sepakbola Georgia dan berharap pertandingannya ditunda, malah ditolak mentah-mentah oleh federasi.
Alhasil, mereka yang keukeuh menolak bertanding ternyata dihukum oleh federasi mereka sendiri dengan cara dicoret keikutsertaan mereka dari liga dengan tak lupa juga memberi sejumlah denda. Bahkan Mikheil Khutsishvili, sang direktur kesebelasan Zestafoni, harus rela dihukum selama satu tahun dari dunia persepakbolaan Georgia.
Sumber tulisan: gff.ge, fczestafoni.ge, soccerway, UEFA, Wikipedia, wsc.co.ukSumebr gambar: Zimbio
Komentar