Ernest Douwes Dekker masuk ke dalam skuat kesebelasan Bapak Bangsa. Mengikuti formasi 3-5-2, ia diplot sebagai bek tengah. Ia, barangkali, juga menjadi cikal-bakal naturalisasi yang kerap terjadi di Indonesia, termasuk ranah sepakbolanya. Mungkin bukan "cikal bakal", melainkan sebagai prototipe: bahwa ke-Indonesia-an kita memang memeram watak hibrid dalam batang tubuhnya.
Simak editorial kami tentang sejarah Indonesia dalam 3-5-2
Keputusan mau dinaturalisasi rasanya bukan keputusan sederhana. Ia bukan hal yang bisa muncul secara ujug-ujug tanpa pertimbangan ini dan itu. Naturalisasi rasanya juga tidak sesederhana perbuatan iseng atau ikut-ikut teman. Waktu itu Indonesia, negara jajahan. Di atas kertas, tentu moyang Ernest jauh lebih berkuasa. Secara kasat mata, tentu ia akan mendapatkan lebih banyak keuntungan jika tetap menjadi seorang Belanda yang tak akan mengindahkan keinginan Indonesia buat merdeka.
Seorang pesepakbola asing, rasanya juga tak akan memutuskan mau dinaturalisasi tanpa pertimbangan. Harus ada satu-dua hal yang meyakinkannya kalau keputusan ini tidak akan berbuntut kesia-siaan belaka. Dalam beberapa wawancara, saya menemukan bahwa alasan mereka bersedia dinaturalisasi adalah keterikatan dengan Indonesia. Ikatan itu bisa saja muncul karena memang sudah lama di tinggal di Indonesia, menikahi WNI dan memiliki anak; atau bila ditelusuri lebih jauh, ia memiliki hubungan darah dengan orang Indonesia. Hal-hal semacam itu, hal-hal yang pada dasarnya berbicara kalau di dalam diri mereka ada sejumput bagian yang tak mau melepaskan diri dari negeri ini.
Namun yang perlu dipertanyakan, jika mengandai-andaikan Ernest Douewes Dekker sebagai bek tengah naturaliasi, apa yang menjadi alasan Ernest mau melewati proses naturalisasi yang jelas tak mudah dan belum tentu menguntungkan buatnya?
Jika membicarakan hal yang mengikat sekaligus menggerakkan Ernest mau �"dinaturalisasi�" dan menjadi bagian dari kesebelasan Bapak Bangsa, kita harus mengingat satu nama: Max Havelaar.
Max Havelaar memang nama fiksi, namun keberadaannya, mengutip kata Pramoedya, berhasil membunuh kolonialisme.
Sekitar tahun 1860-an, publik Belanda dikejutkan oleh kehadiran novel berjudul Max Havelaar. Novel ini, ditulis oleh seorang Belanda, Eduard Douwes Dekker, yang bernama pena Multatuli. Eduard Douewes Dekker sendiri merupakan saudara laki-laki dari kakek Ernest Douwes Dekker, Jan Douwes Dekker.
Ia berkisah tentang kondisi Indonesia (Hindia Belanda) di era tanam paksa. Konon, kebijakan ini diberlakukan karena terkurasnya kas Belanda akibat perang Jawa.
Multatuli sendiri merupakan mantan asisten residen di Lebak yang menjadi saksi hidup bengisnya penjajahan Belanda waktu itu. Sebagai orang yang tak paham benar dengan sejarah, saya menemukan dua keunikan masa penjajahan Belanda. Indonesia kala itu tak hanya dijajah oleh pemerintahan Belanda, namun juga oleh feodalisme. Agaknya, feodalisme memang sengaja tak dihancurkan tetapi digunakan untuk memeras rakyat pribumi.
Konon, sewaktu masih menjabat sebagai asisten residen di Lebak, ia melihat bagaimana sang Bupati yang dengan seenaknya memeras rakyat atas dukungan kolonialisme. Kata Multatuli, praktik pemerasan ini jelas bertentangan dengan slogan Revolusi Perancis (persamaan, kebebasan, persaudaraan) yang menjadi acuan standar moral Eropa. Maka, diadukanlah tingkah polah sang bupati kepada atasan. Alih-alih ikut tergerak, sang atasan justru mencopot jabatan Multatuli. Mau tak mau, dengan kekecewaan luar biasa, Multatuli pulang ke Belanda. Dan di sinilah novel legendaris Max Havelaar lahir.
Karya yang ditulis selama masa-masa sulit itu membeberkan nasib tragis orang-orang yang diperas agar diketahui masyarakat Belanda dan Eropa. Salah satu bagian dalam Max Havelaar yang sering dikupas hingga saat ini adalah Saija dan Adinda, yang dengan jernih menggambarkan kondisi rakyat Hindia Belanda pada masa itu. Yang dirampas dari rakyat pribumi bukan cuma harta, tapi kemerdekaan mereka sebagai manusia.
Perjuangan Multatuli dalam menulis dan menerbitkan Max Havelaar bukannya tak mudah. Ada banyak pihak yang berusaha membungkam Max Havelaar. Entah bagaimana caranya, seorang ahli hukum Belanda yang bernama Van Hansselt berhasil mendapatkan Max Havelaar beberapa hari setelah buku selesai ditulis. Van Hansselt pun berhasil membujuk pihak penerbit untuk sebisa mungkin memangkas kalimat-kalimat penting. Bukan hanya itu, kabranya, pihak penerbitan juga mendistribusikan Max Havelaar dalam jumlah sedikit dan harga tinggi. Apapun dilakukan, asalkan buku tersebut tak bisa bersuara dengan lantang.
Pasca penerbitan, buku ini langsung diperdebatkan oleh banyak pihak. Karena termasuk berani mengungkap aib negara sendiri, Max Havelaar lebih dianggap sebagai bentuk gerakan politik daripada karya sastra. Apalagi konon, di masa penerbitan Max Havelaar, negeri Belanda sedang dilanda konflik antara kelompok konservatif dan liberal. Mereka yang menentang Max Havelaar adalah kelompok konservatif, sebaliknya, yang mendukung Max Havelaar adalah kelompok liberal. Lantas, dengan dihapuskannya tanam paksa, kelompok liberal menyatakan diri kalau mereka berhasil mengalahkan kelompok konservatif.
Apa yang dilakukan Multatuli memang tak biasa. Ia seorang Belanda yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa sebenarnya mereka tak hanya dijajah oleh kolonialisme, tetapi feodalisme. Saya sendiri tak tahu pasti, apakah Ernest sempat atau pernah membaca buku yang ditulis oleh kakeknya (walau bukan kandung) itu, namun jika mempertanyakan apa saja yang ada di balik perjuangannya tersebut, rasanya selalu ada tempat bagi perjuangan kakeknya tersebut.
Sebagian orang memang menganggap kalau naturalisasi, termasuk di ranah sepakbola, sebagai hal yang membahayakan nasionalisme yang kerap digadang-gadangkan. Namun kalau mau jujur, hal-hal besar di negeri ini juga tak jarang didahului oleh keringat dan kerja keras mereka, yang kita anggap orang asing.
Ada yang "asing" dalam diri Indonesia, jika Indonesia kemudian ingin disederhanakan semata sebagai asli atau tidak asli, pribumi atau non-pribumi. Hibriditas, percampuran, silang dan kawin budaya, adalah kenyataan historis Indonesia. Bahkan nama Indonesia pun "asing".
�"Multatuli adalah seorang besar, humanis Belanda paling hebat yang menyatakan bahwa tugas manusia adalah menjadi manusia" -- begitulah Pramoedya pernah berbicara tentang Multatuli.
Komentar