Setahun silam, tulisan saya soal Liga Spanyol yang tak akan pernah bisa menyamai Liga Inggris, memancing puluhan komentar. Ada yang mengangguk setuju, tidak sedikit pula yang keras menolak.
Dari sejumlah argumen penolakan diketahui bahwa mereka tidak membaca tulisan sampai tuntas. Malah, tidak sedikit yang tidak paham konteks tulisan karena terbakar emosi membaca dua sampai tiga paragraf awal (atau bahkan hanya membaca judulnya saja?).
Dalam tulisan tersebut, saya bicara panjang lebar soal Liga Spanyol yang berpotensi kehilangan nilai komersialnya karena pembagian hak siar yang dianggap terlalu timpang. Hal ini membuat sejumlah kesebelasan kecil sulit untuk membangun tim. Pada akhirnya mereka kesulitan melawan kesebelasan besar karena para pemain terbaik mereka dilego demi masa depan finansial klub itu sendiri.
Presiden Barcelona, Josep Maria Bartomeu, menginginkan kalau penjualan hak siar dilakukan secara kolektif. Hal ini dimaksudkan agar kesebelasan kecil sekalipun terkena imbas dari besarnya nilai hak siar tersebut. Namun, Bartomeu menginginkan kalau kesebelasan besar macam Barcelona dan Real Madrid mendapatkan presentasi yang lebih besar, karena merekalah ujung tombak prestasi maupun penjualan komersial La Liga.
Pernyataan Bartomeu memang wajar karena demikian adanya. Namun, jika melihat konsep pembagian hak siar Liga Inggris, besaran pendapatan berjalan beriringan dengan prestasi klub itu sendiri. Kalau (sekali lagi, kalau) Leicester City juara, mereka akan mendapatkan merit money yang lebih besar ketimbang Chelsea, Arsenal, Liverpool, atau Manchester United yang bergelimang sejarah. Namun, total pendapatan hak siar mereka mungkin saja sedikit lebih kecil ketimbang Tottenham Hotspur dan Arsenal. Pasalnya, jumlah pertandingan Spurs dan Arsenal yang disiarkan di Britania Raya kemungkinan lebih banyak ketimbang Leicester.
Musim ini, bisa jadi Manchester United memeroleh pendapatan hak siar yang lebih kecil ketimbang musim sebelumnya. Namun, Anda mungkin tak akan pernah mendengar MU akan merajuk karena pendapatan hak siar yang lebih kecil ketimbang klub kecil dari Leicester; karena memang begitulah sistemnya. Kalau mau mendapatkan nilai hak siar yang lebih besar, ya Anda mesti berprestasi.
Memang, masih terdapat sejumlah poin pemasukan lain, seperti dari sponsor dan penjualan tiket. Namun, pendapatan hak siar merupakan pemasukan "rutin" yang nilainya tidak kalah besar; malah buat sebagian kesebelasan itu adalah pemasukan terbesar mereka.
Kompetitif
Pendapatan hak siar ini salah satunya bisa digunakan untuk pembelian pemain baru, yang bisa menunjang performa tim itu sendiri. Hal ini yang mungkin tidak ada di liga lain yang pendapatan hak siarnya dikuasai oleh kesebelasan-kesebelasan besar. Mereka pun menjadi kesulitan untuk bersaing dengan kesebelasan besar dalam meraih gelar juara; atau dalam kata lain tidak kompetitif.
Kata "kompetitif" ini menjadi polemik, karena ada penggemar Liga Spanyol yang tidak terima disebut tidak kompetitif. Padahal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "kompetitif" berart "persaingan". Artinya, "tidak kompetitif" berarti "tidak ada persaingan". Di sisi lain, banyak yang menganggap kalau tidak kompetitif berarti buruk dan tidak berprestasi. Padahal, saya pernah menulis kalau Liga Spanyol adalah liga yang dihuni kesebelasan terbaik, dalam artian mereka menunjukkannya dengan berprestasi di kompetisi Eropa. Namun, bukan berarti kalau Liga Spanyol adalah liga terbaik.
Liga Spanyol dihuni kesebelasan terbaik. Argumen ini selayaknya kita menilai sebuah sekolah terbaik di satu kota. Sebuah sekolah dianggap baik karena prestasi mereka yang mampu memenangi lomba dan mengirimkan muridnya ke sekolah atau perguruan tinggi unggulan. Namun, kita pun tahu kalau sebenarnya cuma segelintir siswa yang memenangi lomba, bukan semuanya.
Anda bisa melihat ini pada Liga Spanyol. Saya, mungkin juga Anda, menganggap Liga Spanyol dihuni kesebelasan terbaik karena mereka mendominasi raihan gelar di tingkat internasional seperti Liga Champions, Liga Europa, dan Piala Dunia Antarklub. Malah, tidak ada kesebelasan yang bisa menyaingi Real Madrid yang telah merengkuh 10 gelar Liga Champions.
Seperti halnya sebuah sekolah, saat mereka menjuarai sebuah turnamen, bukan berarti para siswanya kompetitif. Rekan penulis yang kuliah di sebuah universtas swasta misalnya, bingung dengan segala label yang ia terima dari orang-orang terdekatnya. Mereka menganggap bahwa dirinya sama jeniusnya dengan rekan-rekannya yang memenangi lomba membuat robot di Amerika Serikat. Padahal, tidak demikian. Rekannya yang menang lomba robot di Amerika memang jenius, tapi tidak dengan dirinya dan rekan-rekannya yang lain. Meskipun demikian, masyarakat menganggap universitas tersebut adalah yang terbaik soal per-robot-an karena ada mahasiswanya yang menang lomba robot.
Hal ini juga yang mungkin dirasakan SD Eibar atau AD Alcorcon. Banyak yang menganggap liga mereka sebagai yang terbaik, padahal mereka sendiri merasa bukanlah apa-apa di kompetisi Eropa. Kalau bicara soal prestasi mungkin masih bisa diadu, misalnya Eibar menghadapi Sunderland. Namun, bagaimana dengan infrastruktur penunjang klub sampai pemasukan? Tentu mereka tak bisa dibandingkan. Memenangi Liga Champions pun tak akan membuat pemasukan Eibar setara dengan Sunderland yang degradasi, misalnya.
Pendapatan yang besar, membuat kesebelasan semenjana sekalipun bisa mendatangkan pemain top. Misalnya saja Shinji Okazaki yang hijrah ke Leicester. Padahal, musim sebelumnya Leicester adalah kesebelasan yang berjuang di zona degradasi. Selain itu, ada nama Xherdan Shaqiri yang pernah main di Bayern Munchen, tapi kini justru bermain untuk Stoke City. Selain tentunya karena gaji yang lebih besar, bisa jadi alasannya karena atmosfer persaingan di liga itu sendiri. Siapa yang membayangkan kalau Leicester bisa ada di puncak klasemen? Jikapun ada, mungkin bukan sekarang, tapi tahun 2018.
Terlalu Mudah
Soal ini, yang paling nyaring tentu komentar dari Jose Mourinho soal masa depannya. Mei tahun lalu, Mourinho bilang kalau La Liga terlalu mudah buat Real Madrid dan Barcelona.
"Aku pernah di Spanyol, tapi aku tak menikmatinya," kata Mou kepada Talksport, "Aku tak menikmatinya karena aku memenangi gelar dengan sebuah rekor di Spanyol; 100 poin dan 121 gol. Namun, kami hanya bermain tiga atau empat pertandingan (penting) sepanjang musim."
"Aku kehilangan gelar dengan 92 poin. Namun lagi-lagi, kami bermain empat atau lima pertandingan (penting) dalam semusim. Anda merasakan tekanan bahwa Anda mesti memenangi setiap pertandingan, karena kalau tidak Anda bukanlah juara. Anda harus menang, menang, dan menang. Namun, ada jurang lebar antara tim kuat dan yang lainnya," tutur Mourinho.
Ini pula yang membuat Mou bisa melakukan rotasi pemain saat tidak melawan kesebelasan besar lain. Hal ini menjadi tidak mungkin dilakukan di Liga Inggris, karena tim penghuni zona degradasi pun kerap memberi perlawanan seimbang.
"Musim ini (musim 2014/2015), aku mengistirahatkan sejumlah pemain saat melawan Bradford dan aku kalah. Inilah sepakbola Inggris. Anda menang 2-0 dan Anda kebobolan satu gol, dan menjadi imbang 2-2 yang membuat kehilangan dua poin. Inilah realita Liga Inggris. Anda tak punya waktu. Ini bukan soal jumlah pertandingan, tapi intensitas. Bukan cuma fisik, tapi juga mental," ucap pelatih yang sedang dihubung-hubungkan dengan Manchester United tersebut.
Setahun berselang, usai dipecat Chelsea, Mourinho menekankan kalau ia masih akan berkarier di Liga Inggris. Ia mengulang pernyataannya kalau ia tak akan kembali ke La Liga karena dianggapnya tidak kompetitif.
"Aku selalu bilang kalau aku butuh kompetisi dan aku butuh kompetisi setiap pekan. Di Spanyol, aku bersama kesebelasan hebat dan aku cuma punya empat pertandingan setahun: Barcelona v Real Madrid, Real Madrid v Barcelona. Setelah pertandingan itu, kami menang 4-0, 5-0, 4-1, 6-1," tutur Mourinho.
"Sulit untuk memenangi liga karena kamu tengah berkompetisi dengan kesebelasan yang juga menang terus seperti yang kamu lakukan. Jadi, pada akhirnya aku juara di Spanyol dengan 100 poin dan gagal di liga dengan 91 poin. Di Inggris, Anda bisa memenangi liga dengan 75 poin, atau bahkan kurang. Jadi aku butuh kompetisi," kata Mou.
Apa yang diungkapkan Mou sejatinya menjelaskan makna dari "kompetitif" dari tulisan-tulisan saya sebelumnya. Dalam tulisan ini saya tidak mengajak dan memaksa Anda untuk setuju kalau Liga Spanyol tidak kompetitif, karena Liga Inggris, kata Zlatan Ibrahimovic muda hanyalah sampah.
Jadi, Liga Spanyol itu terlalu mudah? Tentu tidak. Mourinho hanya membual. Mengapa? Kalau terlalu mudah, mengapa dari tiga musim melatih Madrid dia cuma sekali menjadi juara Liga Spanyol? Mengapa pula kekalahan di final Copa del Rey 2013 membuatnya menyebut kalau itu adalah musim terburuk dalam kariernya?
PS: Kini, Zlatan Ibrahimovic yang sudah matang menyatakan siap berlaga di Premier League.
Komentar