Inggris adalah negara tempat di mana banyak sekali manajer-manajer dengan rezim yang panjang bertakhta. Tentunya kita sudah sangat tahu dengan kisah Sir Matt Busby dengan Busby Babes nya, yang sempat mengalami kisah tragis dalam tragedi Munchen pada 1958. Sir Matt Busby harus membangun tim Manchester United dari level paling bawah, sebelum kembali membawa United ke level atas Inggris.
Ada juga kisah Bill Shankly dari Liverpool. Datang saat Liverpool sedang terjerembab di level terbawah Inggris, Shankly dengan luar biasa membangun Liverpool hingga Liverpool menjadi salah satu kekuatan sepakbola di Inggris, bahkan Eropa. Beberapa gelar prestisius ia datangkan ke Anfield, sehingga ia diganjar sebuah penghargaan berupa namanya yang diabadikan menjadi nama gerbang yang berlokasi di Anfield Road, Shankly Gates.
Yang terbaru dan masih fresh tentunya kisah kepemimpinan manajer legendaris Manchester United, Sir Alex Ferguson selama 27 tahun di Old Trafford. Membawa Manchester United meraih treble pada tahun 1999, juga membawa Manchester United meraih gelar Liga Primer Inggris sebanyak 13 kali, yang membuat koleksi gelar Liga Primer Inggris milik United melebihi Liverpool. Awal musim kepemimpinan yang sulit sepeninggal Matt Busby ia gantikan dengan membangun sendiri rezim kekuasaannya di Old Trafford.
Semua di atas adalah kisah luar biasa tentang sebuab rezim manajer di dalam sebuah klub. Tapi, yang perlu dicatat adalah, semua kisah kesuksesan di atas tidak diraih dalam waktu yang sebentar. Para manajer luar biasa di atas membutuhkan waktu yang lumayan panjang sebelum mengantarkan kesebelasan yang mereka asuh meraih kejayaan. Bahkan, ada yang sampai membutuhkan waktu empat atau enam tahun agar kejayaan tersebut bisa diraih. Intinya, mereka adalah orang-orang yang menghargai proses.
Hanya saja, hal itu mulai jarang terlihat di dunia sepakbola masa kini. Di zaman ketika hasil instan menjadi sesuatu yang dikejar, proses bukan lagi menjadi sesuatu yang berharga. Satu atau dua tahun tidak menghasilkan sesuatu, maka bersiaplah untuk mendapatkan surat pemecatan dari petinggi klub. Lihat saja kebiasaan Maurizio Zamparini yang sering gonta-ganti manajer jika Palermo tidak meraih prestasi yang bagus.
Bukan hanya Zamparini yang ternyata kerap gonta-ganti manajer. Kebiasaan ini mulai menular ke kompetisi level ketiga dan keempat Inggris, yaitu Football League One dan Football League Two. Salah satu korbannya adalah Jamie Fullarton, yang dipecat oleh Notts County, hanya dua bulan setelah Fullarton menggantikan tugas dari Ricardo Moniz. Hal yang sama juga terjadi kepada Mark Cooper, yang dipecat oleh Swindon Town sehari setelah Jamie Fullarton dipecat.
Kebiasaan gonta-ganti manajer ini ternyata bukan hanya terjadi sesekali saja. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh League Managers Association (LMA), total sudah 47 manajer yang mengalami pemecatan selama musim 2015/2016 ini di Football League One, dan League Two, terbesar kedua setelah kasus yang sama terjadi di musim 2001/2002 dengan total 53 manajer yang dipecat. Ini belum terhitung dengan banyaknya pemecatan manajer dalam rentang waktu 2002 sampai 2015.
"Ini adalah hal yang memprihatinkan. Memecat manajer tanpa memberikan mereka waktu untuk bekerja secara baik akan membuat para manajer muda di Inggris berpikir dua kali untuk menjadi manajer. Jika ini terjadi, Inggris akan kekurangan sumber daya manajer handal dalam beberapa tahun ke depan," ujar ketua eksekutif LMA, Richard Bevan.
Menjadi manajer memang adalah hal yang sulit. Dengan tekanan yang tinggi dan juga ekspektasi yang tinggi dari para petinggi klub, membuat manajer menjadi sebuah pekerjaan yang sangat rapuh. Salah-salah sedikit, bukan tidak mungkin teror akan mampir. Bukan hanya diri sendiri, teror akan menyelusup kepada keluarga, kepada istri, anak, orang tua, ataupun orang-orang terdekat di sekitar.
Inilah yang sekarang sedang marak terjadi di Inggris. Dave Robertson, manajer yang dipecat oleh Peterborough United karena awal yang buruk di Football League One memberikan kesaksiannya bahwa dipecat dari sebuah klub secara tidak langsung memberikan dampak psikis yang cukup dalam bagi diri dan keluarganya.
"Saya dan keluarga tinggal di Peterborough. Saya sudah bersama klub ini selama 10 tahun. Dua anak saya bersekolah di Peterborough, dan ketika Peterborough kalah, tekanan itu datang. Saya tidak sanggup untuk mendengar ketika anak saya yang masih berusia 12 tahun dan enam tahun pulang dari sekolah, menangis, karena diejek oleh orang-orang yang mengatakan 'ayahmu adalah manajer sampah'. Sungguh, Anda takkan sanggup mendengarnya," ujar Robertson.
Semua kesedihan itu terjadi karena klub yang terkadang terlalu impulsif dan memasang target yang begitu muluk. Pemilik klub yang berkompetisi di Football League One dan Football League Two kerap tidak sabaran dan ingin segera timnya untuk naik level ke kompetisi yang lebih tinggi. Karenanya, tidak heran bahwa angka pemecatan manajer di kompetisi ini begitu tinggi, seperti yang dituliskan oleh LMA di atas.
Salahnya lagi, semua ekspektasi itu dibebankan kepada manajer seorang. Sebenarnya, kesuksesan sebuah klub bukan hanya diukur dari manajernya saja. Semua sumber daya yang ada di dalam klub harus saling bersinergi dan mendukung satu sama lain. Ketika sinergi antar elemen dalam klub sudah terjadi, maka klub akan meraih sukses dalam jangka panjang.
Inilah yang dilakukan manajer-manajer macam Busby, Shankly, dan Ferguson. Mereka berhasil meyakinkan petinggi klub agar semua pihak klub bersinergi, memberikan mereka waktu, dan biarkan mereka bekerja dengan cara mereka sendiri. Hasilnya? Puluhan trofi dan gelar berdatangan ke dalam lemari piala klub dan membuat klub menjadi masyhur.
Oleh karenanya, seperti yang ditekankan oleh David Weir, maanjer yang dipecat oleh Sheffield United di tahun 2013 dan sekarang menjadi asisten manajer di Mark Warburton di Glasgow Rangers mengatakan bahwa pemilik klub harus percaya kepada parameter yang sudah ditetapkan oleh manajer.
"Biarkan para manajer bekerja sesuai cara mereka, sesuai dengan parameter yang sudah mereka tetapkan. Jangan mengganggu mereka. Dengan itu, kesuksesan akan datang dengan sendirinya," ujar Weir.
Yah, mungkin, intinya yang ingin dikatakan Weir adalah, hargailah proses, karena proses tidak akan membohongi hasil, wahai para pemilik klub di Football League One and Football League Two. Kira-kira seperti itu. Toh, manajer besar macam Shankly, Busby, dan Ferguson juga butuh waktu panjang untuk mencapai sukses, kan?
(sf)
Sumber: The Guardian
foto: football-league.co.uk
ed:Â fva
Komentar