Ada dua berita kepergian yang muncul ke permukaan dua pekan jelang digulirkannya Serie A. Pertama, mengenai rumor kepindahan Paul Pogba dari Juventus ke Manchester United yang mulai menemui titik terang. Sementara kabar kedua, rumor mengenai pemecatan Roberto Mancini.
Rumor pemecatan Mancini dari Inter mulai terlihat sejak Inter diambil alih oleh Suning Holdings Group per Juni 2016. Suning disebut tidak menyukai rencana Mancini yang ingin mendatangkan pemain-pemain matang salah satunya adalah Yaya Toure.
Namun, perlahan, rumor tersebut mulai hilang akibat pergerakan-pergerakan Inter di bursa transfer. Terakhir, kedatangan Antonio Candreva membuat nasib Mancini disebut mulai berada di zona aman.
Permasalahan mengenai nasib Mancini kembali muncul dua hari terakhir. Menurut Gazzetta World, Mancini enggan menandatangani kontrak baru yang sejatinya akan habis musim panas tahun depan. Masih dari Gazzetta, Mancini menolak karena perpanjangan kontrak yang ditawarkan oleh manajemen didasari pada prestasi Inter musim depan.
Tak setujunya Mancini membuat telinga Suning panas. Ditambah dengan kekalahan Inter dari Tottenham 1-6 dalam uji tanding terakhir di Oslo, Sabtu (6/8) dini hari WIB, Suning disebut mulai mencari jalan keluar agar Mancini segera angkat kaki. Beberapa media Italia menyebut, Mancini bersedia menandatangani surat pengunduran diri sementara Suning bersedia membayar biaya kompensasi senilai dua juta euro.
Kabar tersebut langsung menjadi tajuk utama beberapa media Italia. Namun, apakah rencana Suning mencopot pelatih yang akrab disapa Mancio sudah benar?
Mancini tumbuh seperti pelatih Italia lain yang begitu mengedepankan aspek taktikal ketimbang keunggulan fisikal. Meski demikian, taktik yang ia gunakan tak melulu untuk mengincar banyak gol karena ia lebih mementingkan kemenangan. Pernah dalam suatu wawancara ia berkata, “Saya menyukai kemenangan 1-0. Saya bahkan lebih menyukai kemenangan 1-0 dan bermain membosankan dalam beberapa pertandingan.”
Prinsip tersebut memang begitu dipegang oleh Mancini. Dalam beberapa pertandingan melawan kesebelasan yang (kini) lebih besar, seperti Napoli dan AS Roma, Mancini bahkan begitu rela melihat kesebelasannya dibombardir oleh lawan.
Laga melawan AS Roma dan Napoli musim lalu contohnya. Betapa tidak, dalam dua laga tersebut, Samir Handanovic dkk, harus rela dibombardir oleh lawan. Di laga melawan Roma, meski Inter menang, Handanovic harus rela 15 kali diteror oleh lawan. Sementara di laga melawan Napoli, Inter bermain begitu dalam demi menjaga kemenangan 2-0 di babak pertama.
Apa yang dilakukan Mancini – rela bertahan dan menjaga kemenangan – meski banyak dikritik, tapi memiliki satu makna yang dalam yaitu memberikan kemenangan untuk Inter dengan skuat “seadanya”. Seadanya. Ya, kata tersebut adalah pembelaan kedua untuk Mancio. Berbekal skuat yang begitu timpang jika melihat nama Inter serta dibandingkan kesebelasan papan atas Serie A musim lalu, seperti Roma dan Napoli, Inter bisa memberikan perlawanan, utamanya di putaran pertama.
Masih ingatkah Anda, dengan delapan pekan di puncak klasemen Serie A yang diberikan oleh Mancini musim lalu? Bahkan Inter dua kali mencatatkan posisi puncak lebih dari dua pekan. Seperti pada pekan ketiga hingga kelima dan pekan ke-15 hingga ke-18. Namun sayang, skuat seadanya Inter tak mampu tampil konsisten dan musim 2015/16 hanya mampu mereka akhiri di peringkat keempat.
Melihat kenyataannya, sumbangsih yang diberikan oleh Mancini musim lalu memang bagaimana pun begitu besar. Tengok upaya Mancini menjaga stabilitas timnya meski hanya memiliki Assane Gnoukouri di stok gelandang cadangan. Tak usah diperbandingkan dengan Juventus, bandingkan dengan Roma yang bahkan memiliki nama Seydou Keita, William Vainqueur, dan Kevin Strootman, sebagai pelapis.
Alasan lain untuk memaafkan Mancini tentu adalah Mauro Icardi. Meski keduanya tidak memiliki hubungan yang benar-benar dekat layaknya bapak dan anak, namun Mancini disebut begitu mempercayai Icardi. Salah satu contohnya tentu adalah upaya Mancini menjaga Icardi dengan melepas Dani Osvaldo.
Keputusan Mancini saat itu muncul lantaran Icardi bersitegang dengan Osvaldo ketika Inter menghadapi Juventus pada musim 2014/15. Kemarahan Osvaldo muncul akibat rasa tak puas kepada Icardi yang lebih memilih melepas tembakan ketimbang memberikan umpan kepada dirinya. Pada akhirnya Mancini melepas Osvaldo ke Boca Juniors pada Februari 2015.
Contoh kedua upaya Mancini yang semakin membuat Icardi merasa nyaman tentu adalah keputusannya memberikan ban kapten kepada eks pemain Sampdoria tersebut pada musim 2015/16. Ya, meski masih ada beberapa pemain lain yang lebih lama berada di Inter, seperti Davide Santon dan Yuto Nagatomo, Mancini tak ragu memilihnya.
Beberapa media Italia beralasan bahwa keputusan tersebut didasari oleh permainan buruk Andrea Ranocchia pada musim 2014/15. Akibat hal tersebut, Mancini disebut sudah tidak merasa senang dan siap memberikan jabatan kepada pemain lain. Dari beberapa nama yang masuk daftar, seperti Yuto Nagatomo dan Fredy Guarin, Mancini disebut lebih memilih Icardi karena ia diharapkan bisa bertahan di Inter lebih lama.
Alasan-alasan di atas menggambarkan bagaimana Mancini memiliki peran yang begitu besar terhadap Inter hari ini. Meski demikian, sebagai manusia, keputusan Mancini untuk kecewa pada manajemen cukup wajar mengingat dia tahu apa yang diinginkan oleh pendukung.
Mengenai keputusan Suning untuk memilih Inter berkonsentrasi mendatangkan pemain muda juga bukan tindakan yang buruk. Tapi, melihat Inter yang musim ini akan kembali bermain di Liga Europa, Suning juga perlu menyelaraskan tindakan mereka dengan rencana Mancini.
Interisti tentu berharap, langkah cepat Suning seperti ini akan jadi yang terakhir kalinya. Sebab, jika Suning terus cepat mengetok palu seperti ini, jangankan mengejar Juventus, menyalip Roma atau Napoli bisa saja masih akan hanya menjadi harapan.
Komentar