Pergerakan pemain Brasil bernomor punggung tujuh tersebut terbilang gesit. Larinya juga lumayan kencang. Begitu pun dengan kemampuan dribel yang tak jarang membuat pemain lawan hanya bisa menunggu momen untuk dipermalukan. Tak heran banyak penonton mengelu-elukan namanya, “Jefinho! Jefinho!”
Jefinho bukan nama asli pria ini. Seperti orang Brasil lain, memendekkan nama sudah menjadi tren, dan dia memilih Jefinho untuk memendekkan nama aslinya, Jeferson da Conceicao Goncalves.
Deskripsi yang saya tulis di atas menggambarkan bagaimana Jefinho bermain sepakbola. Tapi, bukan sepakbola lapangan besar atau pun futsal, tapi 5 a side football atau lima vs lima yang saat ini tengah banyak diperbincangkan, karena digelar di Paralimpiade Rio 2016 dan dimainkan orang yang berkebutuhan khusus. Seperti Jefinho yang kemampuan melihatnya di bawah orang normal atau biasa disebut tunanetra.
Jefinho sendiri tengah menjadi idola di turnamen tersebut. Pemain yang mengenakan nomor punggung tujuh di timnas Brasil dalam keikutsertaannya di Paralimpiade tersebut mampu menyihir penonton yang datang dengan dribel-dribelnya yang mirip pemain non tuna netra.
Oleh karena itu, tak perlu heran melihat Jefinho meliuk-liuk di lapangan. Tak perlu heran juga melihat timnas Brasil yang ia bela bisa melaju hingga babak final sepakbola lima vs lima Paralimpiade Rio 2016.
Paralimpiade, Pesta Olahragawan Berkebutuhan Khusus
Tak jauh berbeda dengan Olimpiade yang digelar demi menyatukan banyak negara dalam kompetisi olahraga berskala besar, Paralimpiade juga demikian. Meski demikian, keduanya berbeda lantaran Paralimpiade digelar untuk orang berkebutuhan khusus.
Ragam peserta untuk Paralimpiade cukup besar. Sebab, turnamen tak diselenggarakan untuk tunanetra seperti Jefinho saja, tapi juga untuk orang yang memiliki gangguan pada kekuatan fisik hingga gangguan intelektual.
Berdasarkan situs resmi Paralimpiade, kompetisi ini pertama kali digelar pada 1948 sebagai acara untuk memersatukan veteran perang dunia kedua yang mengalami disabilitas. Beberapa veteran yang bermain di kompetisi tersebut pun banyak yang bermain dengan kondisi anggota tubuh tak lengkap.
Perkembangan kompetisi antar negara dengan peserta yang menyandang status difabel pun semakin meningkat ketika dipegang oleh dokter Jerman yang tinggal di Inggris, Sir Ludwig Guttman. Guttman yang berpengalaman menangani veteran perang dunia kedua ini menjadikan Paralimpiade sebagai sebuah cara untuk menambah angka harapan hidup kaum disabilitas.
Seiring berjalannya waktu, Paralimpiade mulai banyak melakukan inovasi. Olahraga yang digelar juga tidak itu-itu saja. Hingga Paralimpiade Rio 2016, sudah 22 ajang olahraga yang digelar, termasuk sepakbola yang digelar dalam format 5 a side atau lima dan 7 a side .
Memainkan Sepakbola Lima vs Lima di Paralimpiade
Komite Paralimpiade Internasional (IPC) membagi sepakbola menjadi dua. Pertama lima vs lima, sementara yang kedua tujuh lawan tujuh. Pembagian ini tidak serta merta hanya membedakan jumlah peserta tiap tim, tapi juga mengelompokkan peserta ke disabilitasnya.
Untuk sepakbola tujuh vs tujuh, peserta dibatasi hanya yang mengalami celebral palsy atau kelainan neurologis. Sementara untuk lima lawan lima, peserta dibatasi dari yang tunanetra.
Sepakbola lima vs lima sendiri lebih disukai ketimbang tujuh vs tujuh. Tidak ada alasan yang diketahui, namun yang jelas penggemar sepakbola lima vs lima di Paralimpiade jauh lebih banyak ketimbang tujuh vs tujuh. Selain itu, sepakbola lima vs lima sudah digelar sejak 1980.
Jenis sepakbola ini dimainkan dalam lapangan yang berukuran mirip lapangan futsal dan dikelilingi pembatas, yang memungkinkan tidak terjadinya out. Setiap tim terdiri dari lima pemain, termasuk satu orang penjaga gawang yang diperbolehkan tidak mengalami tunanetra dan dimainkan dalam waktu 2x25 menit dengan istirahat per babak 10 menit. Namun untuk posisi penjaga gawang, pemainnya dibatasi tak boleh terdaftar di FIFA selamat 5 tahun, agar mencegah pemain profesional ikut serta.
Lalu mengapa ketika kita melihat di televisi mereka begitu lihai dan tampak seperti sudah tahu arah gawang? Nah, hal ini dikarenakan modifikasi dari asosiasi olahraga tunanetra internasional atau IBSA demi menciptakan kesetaraan antar pemain yang memiliki tunanetra.
Sejatinya peraturan dari sepakbola tunanetra lima vs lima begitu mirip dengan futsal. Namun, IBSA mengubah beberapa peraturan dasar terkait pertandingan. Seperti mempermudah pemain tunanetra untuk tahu arah gawang dan pemain lawan lewat keberadaan pemandu yang berada di belakang gawang lawan.
Selain itu, IBSA juga mempermudah setiap pemain untuk menentukan posisi bola lewat suara yang akan berbunyi dari dalam bola jika bola tersebut bergerak. Tidak hanya itu, IBSA juga melarang penonton untuk berteriak demi memudahkan pemain dan ofisialnya saling berbicara. Penonton baru boleh berteriak saat gol terjadi.
Keadilan juga ditegakkan oleh IBSA lewat penggunaan penutup mata. Pasalnya jenis tunanetra setiap pemain bisa berbeda tergantung tingkat penglihatannya.
Dengan adanya persamaan ini, setiap pemain pun memiliki potensi untuk mengejutkan satu sama lain dan juga menunjukkan sisi fair play.
Komentar