Sepakbola dikenal begitu dekat dengan kaum marjinal. Sebagai olahraga yang tak membutuhkan banyak uang, sepakbola begitu murah dan mampu menjadi pelipur lara kaum yang bahkan untuk menghirup udara segar ini saja sulit.
Prancis adalah satu dari beberapa negara di Eropa yang sepakbola-nya memiliki hubungan begitu rekat dengan kaum marjinal. Beberapa pemain besar yang pernah dihasilkan, dari Zinedine Zidane hingga Franck Ribery, hidupnya tak jauh dari kerumitan sebelum sepakbola memewahkan mereka.
Berbeda dengan nasib buruk yang melanda pemain asal Prancis lain, Patrice Evra hidup dari golongan mapan. Evra lahir dari darah seorang diplomat Guinea. Pekerjaan tersebut membuat ia mau tidak mau harus mengikuti pekerjaan ayahnya untuk berpindah negara, hingga menuntunnya ke Les Ulis, Paris Selatan.
Kesukaan Evra pada sepakbola terlihat sejak ia kecil. Berbeda dengan saudaranya yang kerap belajar sepulang sekolah, ia justru memilih bermain sepakbola di jalan. “Dia memiliki intelegensi yang kuat. Selain itu, ia gemar memilih jalan yang berbeda ketimbang saudaranya yang lain sejak masih kecil,” ujar Mary Magdalene, kakak tertua Evra, seperti dikutip dari Le Parisien.
Bersama kawan dekatnya, Tshymen Buhanga, Evra pun bergabung dengan CO Les Ulis, kesebelasan lokal di usia 11 tahun. “Saya bawakan Romario baru,” kata Jean-Claude Giordanella, pelatih Les Ulis saa menirukan ucapan Buhanga mengenai Evra yang saat itu bermain sebagai penyerang. “Saat itu ia berbeda dengan anak sebayanya. Malu-malu, pendiam, selayaknya anak yang benar-benar diperhatikan oleh orang tuanya,” tambah Giordanella.
CO Les Ulis yang dikenal sebagai salah satu penghasil pemain berbakat membuat banyak yang mengetahui bakat Evra. Beberapa kesebelasan papan atas sepakbola Prancis, seperti Rennes dan Lille, disebut Giordanella pernah mengirim pemandu bakatnya untuk melihat Evra, namun pada akhirnya Evra tidak jadi dilirik karena tinggi badannya dianggap terlalu pendek untuk ukuran penyerang.
Meski aktif di sepakbola, Evra tak pernah melupakan sekolahnya. Oleh karena itu, pada usia 12 tahun, ia memilih bermain di kesebelasan amatir yang berada di dekat rumahnya, CSF Brétigny, demi meluangkan hasrat bermain sepakbola sekaligus agar tetap dapat sekolah.
Di Bretigny, Evra lagi-lagi mendapat kesempatan unjuk gigi. Kali ini ia mendapat kesempatan dari dua kesebelasan Ligue 1 lain, Paris Saint-Germain dan Toulouse, di usia yang baru menginjak 16 tahun. Kesempatan untuk merumput di level junior pada akhirnya ia terima dari Paris Saint-Germain, meski pada akhirnya ia dilepas oleh manajemen Paris Saint-Germain tanpa alasan yang jelas.
Kecintaan Evra pada sepakbola terus ditunjukkan hingga ia memasuki masa remaja. Bukannya memilih untuk melanjutkan pendidikan di Ecole Polytechnique atau Sorbonne yang terkenal itu, Evra justru melanjutkan kariernya meski ia tak kunjung mendapat kesempatan di kesebelasan profesional.
Berkah datang ketika ia mengikuti turnamen futsal di Juvisy-sur-Orge, Paris tenggara. Penampilan apik Evra di turnamen tersebut dilihat oleh salah satu pemandu bakat paruh waktu asal Italia. Pemandu bakat tersebut pun menawari Evra kesempatan untuk mengikuti trial di Torino.
Beberapa pekan mengikuti trial di Torino, Evra rupanya kembali gagal. Namun, ia justru mendapat berkah ketika ia dilirik oleh kesebelasan C1 Italia, Marsala, dan menawarinya kontrak profesional dan satu tempat di posisi gelandang sayap.
“Ada satu saat yang akan terus saya ingat di sepakbola. Bukan saat saya menjuarai liga atau Liga Champions, melainkan ketika saya berusia 17 tahun dan berhasil menandatangani karier sebagai pesepakbola profesional,” ujar Evra mengenai kegembiraannya dikontrak oleh Marsala.
Tak ingin tampil mengecewakan, Evra pun mulai belajar bahasa Italia untuk lebih mendalami instruksi pelatihnya. Hasilnya, Evra mampu tampil dalam 27 pertandingan dan mencetak enam gol sebagai gelandang sayap.
Sejak saat itu, nama Evra terus melanjak di kompetisi level bawah Italia. Setahun berikutnya, ia hijrah ke kesebelasan Serie B, Monza, dengan nilai transfer 250 ribu euro. Di akhir musim 1999/00, Evra memutuskan keluar dari Monza karena tidak mendapatkan tempat sebagai pemain inti.
Tak butuh waktu lama, Evra diajak bergabung oleh OGC Nice yang saat itu berada di Ligue 2. Semusim tampil di tim cadangan, Evra mulai mendapatkan kesempatan di tim senior sebagai striker dan mendapatkan nomor punggung 17.
Baca juga: Mereka yang Kareirnya Terselamatkan OGC Nice
Musim 2001/02 menjadi musim yang tak akan dilupakan oleh Evra. Cederanya dua bek kiri Nice, Jean-Charles Cirilli dan José Cobos, membuat Evra mendapatkan kesempatan bermain di sisa laga sebagai bek kiri.
Baiknya penampilan Evra di laga tersebut membuat pelatih Nice, Sandro Salvioni, melantik Evra sebagai bek kiri baru timnya. Bukannya senang, Evra justru marah mendapat kesempatan tersebut. Tak terima pemainnya marah, Salvioni justru balik memarahi Evra.
“Jika Anda ingin berada di lapangan, Anda harus menerima untuk bermain di sini!” ujar Evra menirukan ucapan Salvioni. Keputusan tersebut pun membuat Evra terus dipercaya sebagai bek kiri. Baiknya penampilan yang ia tunjukkan sebagai bek kiri pun membuat namanya masuk ke dalam Ligue 2 Team of the Year 2001/02.
Saat pindah ke AS Monaco, Evra pun sebenarnya ingin bermain lebih menyerang, winger kiri. Namun pelatih Monaco saat itu, Didier Deschamps, menyarankannya agar tetap bermain di posisi bek kiri. Polesan Deschamps pun membuat Evra semakin matang bermain di bek kiri.
Evra juga dikenal sebagai pemain yang pintar kala menguasai bola. Paul Scholes, mantan rekan setimnya di Manchester United, pernah menyebutnya sebagai salah satu pemain yang memiliki intelegensi dalam sepakbola terbaik selain Andrea Pirlo. Berkat kepintarannya itulah Evra menjadi salah satu bek kiri yang masih diandalkan Juventus saat ini, meski usianya telah menginjak 35 tahun.
Komentar