Derby New York sudah berlangsung dua kali. Dalam lanjutan Major League Soccer (MLS) yang digelar 28 Juni 2015 tersebut, New York City yang menjadi tuan rumah lagi-lagi harus takluk dari New York Red Bulls dengan skor 1-3.
Hingar bingar pertandingan ini lebih besar dibanding pertemuan derby New York yang pertama. Pertandingan ini disaksikan 48 ribu lebih pasang mata yang memadati Yankee Stadium, hampir dua kali lipat dibandingkan pertemuan pertama. Jumlah penonton ini merupakan yang ketiga terbanyak dalam catatan sejarah MLS.
Maka kemenangan yang diraih Red Bulls dengan disaksikan lebih banyak penonton ini memiliki arti lebih. Selain membuat kesebelasan yang bermarkas di Stadion Red Bull Arena ini merangsek ke peringkat empat wilayah timur, hasil ini pun membuat penjualan minuman berenergi mereka semakin meningkat.
Eh, minuman berenergi?
Ya, Red Bull sejatinya nama sebuah perusahaan, lebih tepatnya perusahaan yang memproduksi minuman berenergi. Perusahaan ini didirikan seorang pengusaha Austria bernama Dietrisch Mateschitz pada 1987.
Merk Red Bull memang tak sepopuler Coca-cola yang menjadi merek minuman termahal di dunia. Namun lambat laun, Red Bull semakin mendunia. Saat ini, produk Red Bull telah tersebar di 164 negara dengan nilai yang ditaksir mencapai USD 11,86 milyar.
Nilai tersebut memang belum mampu mengalahkan Coca-cola yang ditaksir bernilai USD70 milyar. Namun dengan nilai yang dimiliki Red Bull saat ini, Red Bull berada di peringkat ketiga sebagai merk minuman termahal di dunia, dan peringkat pertama sebagai minuman berenergi termahal di dunia.
Via statica.com
Strategi pemasaran yang tepat tentunya menjadi faktor utama mengapa Red Bull berkembang pesat meski bisa dibilang masih berusia muda. Bandingkan dengan Coca-cola yang sudah berusia lebih dari 100 tahun. Dan sepakbola, ikut berperan menjadikan Red Bull sebagai merk minuman berenergi terkenal di dunia.
Memangnya bagaimana, sih, siasat marketing Red Bull di sepakbola?
Halaman berikutnya, Red Bull, Target Pasar dan Sepakbola
Komentar