Sepakbola Sebagai Jalan Sukses Minuman Berenergi

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi 40787 Pilihan

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Sepakbola Sebagai Jalan Sukses Minuman Berenergi

Red Bull dan Target Pasar

Sejak awal berdiri, Red Bull sebenarnya telah mendapat tempat di hati para konsumen penyuka minuman ringan. Pada tahun pertama Red Bull dijual di Austria, penjualan Red Bull langsung meledak. Penjualannya kemudian terus bertambah dua kali lipat setiap tahunnya.

Dengan pertumbuhan tersebut, Red Bull mengembangkan perdagangannya ke Jerman pada 1994, atau tujuh tahun setelah berdirinya Red Bull. Dengan pendapatan yang terus meningkat, tiga tahun berselang, Red Bull pun mulai disebar ke berbagai negara dan lintas benua, tak terkecuali Amerika Serikat.

Masuknya Red Bull ke Amerika Serikat membuat pendapatan Red Bull semakin meningkat pesat. Pada tahun pertamanya, Red Bull berhasil mendapatkan 75% pasar minuman di negeri Paman Sam tersebut. Namun keberhasilan itu tak membuat Red Bull lekas berpuas diri.

Pada akhir dekade 1990an, Mateschitz mencoba mengubah konsep pemasaran Red Bull. Red Bull yang awalnya merupakan minuman untuk kelas pekerja di Thailand dengan nama Krating Daeng, diubah mindset-nya menjadi minuman untuk pelaku-pelaku olahraga ekstrim yang saat itu sedang berkembang di Amerika. Red Pull pun kemudian menjadi sponsor untuk ajang-ajang olahraga ekstrim macam panjat tebing, BMX, ski, skateboard, dan masih banyak lagi.

Tak hanya olahraga ekstrim, olahraga lain pun mulai disambangi Red Bull untuk memasarkan namanya. Maka Red Bull pun kemudian menjadi sponsor untuk tim Supercars, Mobil Rally, Moto GP, Superbike, Motorcross, Formula One, NASCAR, dan olahraga-olahraga lainnya.

Mateschitz lalu merasa hal itu belum cukup untuk mengorbitkan Red Bull. Cara lain yang dilakukan Mateschitz berikutnya adalah dengan menyeponsori atlet-atlet olahraga seperti Dani Pedrosa (Moto GP), Marc Marquez (Moto GP), Brian Vickers (NASCAR), dan Chrstian Klien (F1).

Hal ini tak dilakukan merk minuman lain yang kebanyakan lebih memilih menyeponsori artis-artis Hollywood atau penyanyi terkenal. Mateschitz memang terus mencari cara yang berbeda dengan merek lain untuk memasarkan Red Bull.

Ia pun kembali melebarkan target pasarnya. Jika sebelumnya target pasar Red Bull adalah pelaku olahraga ekstrim, langkah berikutnya adalah menjadikan seluruh kalangan sebagai target pasar yang lebih besar.

Mateschitz yang kemudian dikenal sebagai pengusaha jenius ini memang menjadikan target pasar sebagai hal penting untuk memasarkan mereknya. Target pasar ini kemudian dikemas dengan cara berbeda yaitu dengan membawa konsumennya untuk ikut terlibat dalam pemasarannya. Maka diresmikanlah tim pemasaran khusus bernama Red Bull Media House pada 2007.

“Red Bull Media House dibentuk bukan untuk fokus pada pemasaran,” tulis Allison Banko yang mewawancarai Red Bull Media House dalam marketingsherpa.com. “Sejak awal, kualitas pemasaran yang dibuat agar konsumen terlibat menjadi fokus utama.”

Ikut terlibat di sini memiliki arti jika konsumen Red Bull menjadi bagian dari pemasaran itu sendiri. Konsumen didesain sedemikian rupa untuk mencintai Red Bull tanpa paksaan. Dan cara paling spektakuler mereka adalah dengan mengakuisisi penuh kepemilikan berbagai tim olahraga di dunia. Selain tim NASCAR, F1, dan Ice Hockey, sepakbola menjadi salah satu cara Red Bull melibatkan konsumennya dalam pemasaran.

Red Bull dan Sepakbola

Sepakbola menjadi salah satu alat utama Red Bull untuk memasarkan produknya. Langkah ini sudah dilakukan Red Bull sebelum membeli kepemilikan penuh New York/New Jersey Metrostars pada 2006. Setahun sebelumnya, sebuah kesebelasan asal Austria, SV Austria Salzburg, telah berubah nama menjadi FC Red Bull Salzburg setelah Red Bull membeli penuh kepemilikan dari manajemen sebelumnya.

Red Bull kemudian membuat sebuah kesebelasan baru di Ghana dengan Red Bull Ghana pada 2008. Setahun kemudian, dua kesebelasan bernama Red Bull lahir di Jerman (Red Bull Leipzig) dan Brasil (Red Bull Brasil). Hal ini tentu saja bertujuan untuk meningkatkan pemasaran Red Bull di negara tersebut. Seperti yang pernah dikatakan langsung oleh sang boss Red Bull, “Jika kita tak memiliki pasar, maka kita harus membuatnya.”

Membuat dalam pemahaman Mateschitz berarti benar-benar membuat sesuatu yang baru. Saat Red Bull membeli sebuah klub, maka klub tersebut akan benar-benar direkonstruksi ulang. Warna seragam diganti menjadi putih merah yang identik dengan warna merek Red Bull. Sejarah klub tersebut pun dianggap tidak ada. Intinya, para pendukung kesebelasan tersebut harus menjadi pendukung Red Bull dengan memaksa mereka secara halus.

Cara ini tentunya mendapat perlawanan dari berbagai kalangan. Di Salzburg, misalnya, mulai lahir para pendukung SV Austria Salzburg yang tak setuju penggantian nama, warna seragam, sejarah, serta stadion. Ketidaksetujuan ini melahirkan SV Austria Salzburg yang baru, yang terinspirasi dari terbentuknya FC United of Manchester di Inggris, yang menentang kebijakan manajemen Manchester United yang baru pasca diakuisisi keluarga Glazer.

Meskipun begitu, Red Bull memberikan keuntungan tersendiri bagi kesebelasan yang dibelinya. Red Bull Salzburg, New York Red Bulls, dan Red Bull Leipzig dibuatkan stadion baru yang tentunya lebih mewah dan berkapasitas lebih besar dari stadion mereka sebelumnya.

Pada 2010, Red Bulls resmi menjadikan Red Bull Arena sebagai markas baru mereka, meninggalkan Giant Stadium yang sebenarnya merupakan stadion Football America. RB Leipzig pun demikian, kandang mereka, Zentralstadion, direkonstruksi ulang dan berganti nama menjadi Red Bull Arena sehingga menjadi lebih mewah.

Lebih dari itu, Red Bull Arena Leipzig sering juga digunakan sebagai tempat konser musik dengan kapasitas 50 ribu penonton (44 ribu untuk pertandingan sepakbola). Paul McCartney, AC/DC, Coldplay, dan Genesis adalah sedikit nama artis terkenal yang pernah mengadakan konser di stadion yang juga digunakan untuk Piala Dunia 2006 ini.

Bersambung ke halaman berikutnya...

Komentar