Cerita Pendek Karya Marina Burana
Nenekku bukanlah seorang nenek idaman. Kebanyakan orang punya seorang nenek yang, setidaknya, ketika kita menyebutkan kata “nenek”, sesuai dengan bayangan banyak orang, yaitu bayangan tentang seorang perempuan yang lembut dan penuh cinta. Aku bukanlah orang yang banyak menghabiskan waktu bersama keluarga sembari meminum coklat panas di malam hari, melanggar aturan yang dibuat oleh orang tua, dan merasa tertarik akan aturan-aturan baru; aturan-aturan yang hanya bisa kau temukan (dan aku bayangkan) dalam sebuah dunia yang diciptakan oleh perempuan yang berbeda.
Aku juga tidak tahu apa hebatnya sosok seorang nenek, karena jika dipikir-pikir, sebelum menjadi nenek mereka adalah seorang ibu juga. Bagaimana bisa mereka berubah dari sosok yang begitu protektif dan menyebalkan menjadi sosok yang begitu manis ketika memang keadaan tidak mengharuskan mereka untuk melakukan hal tersebut?
Yah, lagipula, perempuan lembut semacam itu bukanlah nenekku. Nenekku adalah seorang suporter sepakbola. Bahkan di usianya yang sekarang hampir memasuki angka 90 tahun, ia masih sering tidak mengacuhkanku, apalagi ketika tim kesayangannya bertanding. Saking asyiknya ia menonton atau menyaksikan tim kesayangannya langsung ke stadion, ia kerap tidak ada di rumah ketika aku berkunjung ke rumahnya. Ia juga sering kali tidak membukakan pintu ketika ia sedang menonton bola. Melihat kebiasaannya ini, kadang aku khawatir nenekku ini sewaktu-waktu terkena segala risiko yang bisa saja muncul ketika ia menonton bola, seperti stroke, sakit jantung, kematian tiba-tiba, atau penyakit sejenis yang lain. Beberapa kali aku mendapatkan panggilan dari ibu dan ayah bahwa nenek berada di rumah sakit, dan itu membuatku khawatir tak karuan. Rasa takut ini (kau bisa menganggapku sebagai seorang yang siaga) benar-benar begitu terasa, sampai akhirnya ketika aku tumbuh dewasa, aku sudah mulai terbiasa, walau rasa takut itu tidak sepenuhnya hilang.
Eliza adalah nama dari nenekku. Ia suka menyentuh apapun yang ia lihat (mungkin itu adalah salah satu caranya untuk mengenali sekitarnya). Ia juga benci memasak, selalu mengeluh, benci akan kata “sudah jelas”, dan tidak pernah mendengarkan ketika orang lain bicara. Tapi ia memang seorang yang pendiam. Kau takkan pernah bisa menebak apa yang ada di dalam benak nenekku ini ketika ia diam. Satu hal yang kami tahu, dan itu pasti: sepakbola baginya adalah hal yang paling penting di dunia dan ketika ibuku (anaknya sendiri) mengundangnya untuk ikut makan bersama pada hari Minggu, ia akan menolak ajakan tersebut, disertai dengan sebuah sinar di matanya dan ucapan bahwa “Minggu adalah waktunya untuk sepakbola. Sepakbola Hari Minggu”.
Eliza juga memiliki sebuah kemampuan yang unik. Ia bisa meramalkan masa depan.
Ayahnya (buyutku), seorang pria keras kepala dari Galicia, Spanyol, suatu hari pernah berkata bahwa “esok aku akan mati”, lalu ia benar-benar mati. Banyak orang percaya bahwa ia adalah orang bertekad kuat, dan kematian itu adalah pilihannya sendiri. Namun ada juga orang yang percaya bahwa pria ini punya firasat yang kuat, bukan sekadar tekad yang kuat. Meski aku memang tidak pernah tahu rupa dari buyutku ini, aku setuju bahwa buyutku punya firasat yang sangat kuat. Hal ini bisa kulihat dari sosok Eliza yang senang memberitahu orang-orang, terutama keluarganya sendiri, tentang apa yang akan terjadi esok hari. Hebatnya, ia tak pernah salah. Mungkin ini adalah sebuah warisan tersendiri, yang tidak pernah diakui atau dibantah oleh nenekku. Nenekku ini, adalah seorang perempuan penggila bola sekaligus sosok yang penuh dengan misteri.
Ketika perayaan ulang tahunnya yang ke-80, kami merayakannya di sebuah tempat yang indah di pedesaan. Teman-temannya yang “sedikit” ("sedikit" karena kebanyakan teman dari Eliza sudah meninggal) beserta keluargaku hadir dalam acara perayaan tersebut. Namun pada akhirnya pesta perayaan tersebut menjadi sebuah pesta yang aneh. Aku merasa kalau Eliza tidak menyukai pesta ini dan ia tidak merasakan apa yang kami rasakan; mungkin ini adalah hari ulang tahunnya yang terakhir di dunia, momen-momen terakhir kami bersamanya. Pesta ini sendiri menjadi aneh, dengan seorang perempuan berusia 80 tahun yang duduk di atas kursi roda sembari mendengarkan siaran pertandingan sepakbola dan tidak memedulikan sekitarnya. Pesta yang seolah menjadi sebuah pesta perpisahan yang pribadi dan rahasia.
Setelah acara potong kue, ada sebuah momen “canggung” yang terjadi. Tidak ada momen tiup lilin yang bisa kuceritakan karena aku yakin kau tidak ingin tahu betapa pasif-agresifnya nenekku ketika ia menipu kami dengan mengungkapkan bahwa ia tidak bisa meniup lilin karena ia tidak bisa mendekat ke arah kue ulang tahun. Jadi, mengesampingkan hal-hal kecil seperti itu, setelah kami memakan semua potongan coklat dan krim yang ada di dalam kue setelah melalui pertempuran yang hebat untuk memperebutkan bagian terenak dari kue tersebut, momen “canggung” itu kembali terjadi. Tiba-tiba Eliza berdiri dan memandangi kami semua seolah-olah ia baru turun dari surga. Kami semua berpikir, “apakah ini waktunya ia menyampaikan sepatah dua patah kata?”. Tapi nenekku, seperti yang kau bayangkan, bukanlah orang seperti itu. Ia bukan orang yang banyak bicara. Namun saat itu, ia berdiri dan memandangi kami dengan pandangan yang aneh, berdehem dengan tujuan untuk membersihkan tenggorokannya, dan bicara bahwa “Aku akan mati di usia 95 tahun!” Setelah mengucapkan hal tersebut, ia kembali duduk di kursinya dan mendengarkan siaran pertandingan sepakbola kembali.
Layaknya sang ayah, entah ia sudah memutuskan untuk meninggal di usia 95 tahun atau memang ia punya firasat yang kuat akan hal tersebut, tak ada yang tahu. 15 tahun kemudian, tak ada seorang pun yang ingat ucapannya ini. Hanya aku seorang.
Jujur saja, sebenarnya aku hanya ingin memiliki seorang nenek. Nenekku yang lain (ibu dari ayahku) meninggal sebelum aku lahir, jadi aku belum pernah bertemu dengannya. Satu-satunya nenek yang ku miliki, ya, Eliza. Setelah bertahun-tahun, aku yang awalnya begitu mencintai nenekku yang lalai ini akhirnya menjadi lalai juga terhadap nenekku sendiri, seperti halnya ia juga lalai terhadapku. Sejak saat itu aku mulai membuat-buat cerita tentang nenekku sendiri. Terkadang aku menutup mataku sendiri dan membayangkan nenekku sebagai seorang perempuan tua yang penuh cinta ketika teman-temanku mulai bercerita tentang nenek mereka. Dalam bayanganku, Eliza sedang menyiapkan segelas coklat panas dan menceritakan sebuah kisah lucu tentang anggota keluarga kami. Aku juga membayangkan ia sedang tertawa ketika aku mengutarakan pendapatku tentang paman Bernie, yang menikahi seorang gadis, padahal ia laki-laki, dan ketika rahasia ini terbongkar paman Bernie tetap tidak mau menceraikan laki-laki tersebut karena kadung mencintainya.
Dalam bayanganku juga, Eliza akan memelukku dengan erat ketika aku menceritakan tentang seorang pria yang kusukai yang tidak pernah membalas cintaku padanya, atau memelukku ketika aku bercerita tentang nilai jelek yang ku dapat di sekolah karena hal yang kupikirkan di kelas bukanlah pelajaran, melainkan tentang awan-awan di langit yang ku lihat ketika aku sedang berjalan-jalan di taman. Ia juga akan menemaniku berjalan-jalan pada malam hari di tengah kota dan menceritakan sebuah kisah tentang orang-orang yang hidup di rumah-rumah dan apartemen-apartemen di tengah kota. Di dalam bayanganku, Eliza adalah nenek terbaik di dunia. Pikiran-pikiran itu secara tidak langsung merasuk ke alam bawah sadarku dan membuatku secara perlahan mulai mencintai Eliza yang ada di dunia nyata. Oleh karenanya ketika ia bilang bahwa ia akan mati di usia 95 tahun, tiba-tiba aku merasa begitu sedih dan merasa ingin banyak menghabiskan waktu dengannya.
Aku jadi lebih sering berkunjung ke rumahnya dalam 15 tahun terakhir, karena berdasarkan firasatnya itulah sisa tahun hidupnya di dunia. Aku mencucikan pakaiannya, membersihkan kamarnya, merapikan kasurnya, memasak untuknya (bahkan Eliza tidak bisa memasak telur), dan . . . menemaninya menonton “Sepakbola Hari Minggu”. Terkadang aku ikut menonton bersamanya ke stadion. Di stadion, ada sebuah kenyataan lain yang ku lihat. Aku tidak pernah menonton pertandingan sepakbola sebelumnya dan sejujurnya, aku tidak paham apa yang Eliza lihat dan apakah ia mengikuti jalannya pertandingan atau tidak. Bagiku ia adalah seorang sleepwalker, orang yang lalai dan egois, jadi aku tak bisa membayangkan bagaimana ia bisa mengikuti jalannya sebuah pertandingan. Tapi aku terkejut karena ternyata ia benar-benar mengikuti jalannya pertandingan!
Bahkan di usianya yang memasuki angka 90, masih bisa kudengar umpatan-umpatannya kepada wasit, pemain, dan juga umpatannya kepada suporter lain yang juga tak kalah histeris seperti dirinya. Energi dari sebuah stadion, teriakan orang-orang (terkadang sumpah-serapah juga ada di sana), hasrat yang menggebu dari setiap orang, membuatku bingung. Tapi orang yang paling membuatku bingung adalah Eliza. Ia adalah bagian dari suporter yang datang ke stadion. Ia mendengarkan orang lain bicara! Ia berteriak kepada para pemain namun ia juga mendengarkan dengan saksama pembicaraan wasit yang ada di pinggir lapangan sekaligus memiliki pendapat tersendiri tentang wasit (sering kali ia tidak setuju dengan keputusan wasit). Ia tampak begitu hidup, bahagia, dan banyak tersenyum. Di stadion, secara unik aku menemukan sosok nenekku sendiri.
Aku masih dan tetap melakukan hal-hal yang kerap kulakukan ketika berkunjung ke rumahnya, namun setelah pengalaman pertamaku menonton ke stadion, hari Minggu menjadi hari yang selalu kunantikan karena pada hari tersebut aku dan nenekku selalu berangkat ke stadion. Adrenalin, hasrat, teriakan, segala kekacauan yang terjadi di stadion, membuat nenek tampak begitu bergairah dan memedulikan hal yang terjadi di sekitarnya. Ia memiliki banyak teman di stadion, orang-orang yang kerap ia ajak berdiskusi perihal momen-momen penting sepanjang pertandingan serta kepemimpinan wasit yang tidak adil. Ia tampak begitu bersahabat, banyak bicara, dan pandai. Sebuah semesta baru tercipta di depan mataku. Semesta yang begitu kuat, karena di dalam semesta tersebut nenekku tak pernah kehilangan kekuatannya, kekuatan yang hanya bisa ku temui dalam setiap pertandingan di hari Minggu.
Walau sering ke stadion bersama, hubungan kami tidak banyak berubah. Nenek hanya berbicara padaku jika ada hal yang penting saja dan tidak menyadari apa yang sudah kulakukan untuknya. Satu-satunya momen yang mengikat kami adalah ketika kami pergi ke stadion bersama.
Jelang memasuki usianya yang ke-95 tahun, sesuatu terjadi. Kami tidak pernah lagi datang ke stadion karena kondisi nenek yang semakin lemah yang membuatnya bahkan sulit untuk berjalan. Ia tidak mau mengakui hal ini dan tidak mau menggunakan tongkat yang istri (laki-laki) paman Bernie belikan untuknya. Situasi semakin memburuk ketika radionya rusak sehingga ia tidak bisa lagi mendengarkan siaran pertandingan sepakbola. Tak ada satu anggota keluarga pun yang peduli, walaupun aku sudah meminta agar mereka membelikan nenek radio yang baru. Satu bulan nenek lalui tanpa bersinggungan sama sekali dengan sepakbola, dan itu membuatnya gila. Ia menjadi semakin pendiam, dan tampak tertekan. Ia pun seolah siap untuk mati, tapi aku belum siap untuk ditinggalkan oleh nenek. Jadi aku pun memutuskan untuk membelikannya radio baru.
Keadaan kembali berubah. Ia tidak mengucapkan terima kasih atas radio baru yang ia dapatkan sebab ia terlalu fokus mengutak-atik radio tersebut. Ketika ia mendengar suara penyiar radio yang menyiarkan siaran pertandingan sepakbola, ia tersenyum lebar, seolah siap untuk masuk kembali ke dunianya sendiri. Lalu pada suatu hari, tanpa melihat ke arahku karena ia sudah tenggelam dalam dunia sepakbola yang ia cintai, nenek menggenggam tanganku dan mulai membelai tanganku. Kukira itu adalah tanda dari kepikunannya, ternyata tidak. Akhirnya aku paham. Momen itu, ya, ketika itu, ketika Eliza duduk di kursi roda, dengan radio di dekatnya dan tangannya yang membelai tanganku yang berada di dekatnya, kami menemukan “Sepakbola Hari Minggu” kami. Sepanjang hari kami seperti itu, belaian lembutnya di tanganku memberikan sebuah perasaan gembira yang tak terkira kepadaku.
Akhirnya, Eliza pun tidak jadi meninggal di usia 95 tahun. Sampai umurnya memasuki angka 99, ia masih ada dan setiap kali kami mendengarkan siaran pertandingan sepakbola di radio, ia akan menggenggam tanganku, membelai rambutku, juga tersenyum kepadaku sembari membicarakan keputusan wasit yang ia nilai tidak adil (meskipun ia tidak bisa melihat apa yang terjadi di lapangan, ia tetap menganggap wasit itu salah!). Tapi hal yang terpenting adalah akhirnya kami tetap bisa bersama dan bahagia bersama, tenggelam sekaligus tersihir oleh kekuatan dari Sepakbola Hari Minggu.
***
Tentang Pengarang dan Penerjemah
Marina Burana adalah seorang penulis kontemporer kelahiran Argentina. Sebelum menulis "Sepakbola Hari Minggu", ia sudah pernah menulis dua buah buku kumpulan cerita pendek berbahasa Spanyol berjudul "A Merlina" (2007) dan "De escritores y miserias" (2008). Ia juga rutin menulis esai, fiksi, dan artikel di berbagai majalah di dunia. Beberapa puisi berbahasa Spanyolnya telah dipublikasikan dalam bentuk antologi baik itu di Argentina maupun Spanyol. Sekarang ia sedang rajin bergelut di dunia teater dan tinggal di Asia.
Cerpen berjudul "Sepakbola Hari Minggu" ini adalah cerpen Marina Burana yang bertema sepakbola, sekaligus mengupas bagaimana sepakbola dapat menjadi sebuah jembatan sekaligus media pertemuan, seperti halnya sepakbola yang kerap menjadi alat pemersatu di tengah segala kecarut-marutan.
Cerita ini dialih bahasakan oleh Sandy Firdaus, salah satu staf penulis dan pewarta di Pandit Football Indonesia.
Sumber lukisan: pixabay.com
Komentar