Regulasi Pemain U23: Pembinaan atau Pemaksaan? (Bagian 1)

Cerita

by Dex Glenniza 39339

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Regulasi Pemain U23: Pembinaan atau Pemaksaan? (Bagian 1)

Setelah Presiden Joko Widodo menetapkan percepatan kemajuan sepakbola Indonesia, kita semua pasti (seharusnya) bertanya-tanya: bagaimana perkembangan instruksi presiden tersebut? Sudah lebih dari satu bulan sejak ditetapkan, kemudian apakah pembenahan tersebut sudah dilakukan oleh PSSI dan juga oleh kesebelasan?

PSSI dan kesebelasan adalah dua elemen penting. PSSI sebagai regulator, sementara kesebelasan adalah sebagai pihak yang terkena dampak dari regulasi tersebut. Untuk itulah Pandit Football telah melakukan wawancara khusus dengan dua pelaku sepakbola di atas.

Pertama adalah Hanif Thamrin yang menjabat pada bagian media dan hubungan internasional di PSSI. Kedua adalah Robert René Alberts yang merupakan manajer PSM Makassar, salah satu kesebelasan papan atas di Indonesia.

Pada tulisan pertama ini, saya akan menyampaikan hasil wawancara yang menyinggung mengenai pembinaan pemain muda. “Yang pertama, saya minta pembinaan sepakbola dilakukan sejak usia dini,” kata presiden yang akrab disapa Jokowi tersebut pada bulan lalu.

“Jangan berharap sepakbola kita akan maju di tingkat regional maupun dunia jika pembinaan usia dini ini dilupakan. Oleh sebab itu di sini, kita mengundang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, juga Menteri Perguruan Tinggi,” lanjut mantan gubernur DKI Jakarta dan walikota Solo tersebut.

Soal pembinaan pemain muda ini kemudian diterjemahkan oleh PSSI dengan regulasi bahwa kesebelasan Indonesia diwajibkan memainkan tiga pemain dengan usia di bawah 23 tahun sejak menit pertama.

Peraturan pemain U23 masih butuh evaluasi

Pertama-tama, kami bertanya kepada Hanif mengenai rencana peraturan minimal tiga pemain U23 tersebut. Sebelumnya, peraturan ini sudah dicoba dilakukan di turnamen Piala Presiden 2017 yang masih berlangsung.

Hanif, yang pernah bekerja di Manchester City, menyampaikan bahwa akan ada evaluasi setelah Piala Presiden 2017 berakhir, mengenai apakah regulasi ini akan diterapkan atau tidak nantinya di Liga 1. Evaluasi ini akan dilakukan oleh seluruh pihak kesebelasan (klub), operator, dan PSSI.

“Kalau ternyata banyak pemain mudanya bisa naik dan bisa berkualitas, harusnya klub juga senang. Karena kenapa? Karena mereka gak perlu keluar uang banyak untuk datangkan pemain asing. Buktinya cukup banyak, kan, yang bisa diambil sama Milla. Kenapa nggak?” kata Hanif.

Ia juga menyatakan jika PSSI tidak akan mencampuri seluruh program yang diinstruksikan presiden melalui kementrian-kementrian. “PSSI dalam hal ini hanya bisa masuk ketika itu terkait dua hal, teknikal [dan] kompetisi. Selain dari itu, wujud impresinya akan diimplementasikan oleh kementrian-kementrian yang terkait,” lanjut Hanif.

Hanif menekankan jika kepedulian kepada pemain muda harus dibangun oleh kesebelasan. Kesebelasan sudah harus memiliki struktur. Ia kemudian mencontohkan Brandon Barker, salah satu pemain binaan di Manchester City yang diurus kesebelasan sejak ia berusia 8 tahun sampai akhirnya menjalani debut di Piala FA (21 Februari 2016, sebagai pemain pengganti menggantikan Bersant Cellina saat City kalah 5-1 atas Chelsea).

“Itu semua orang di klub nangis. Pas diinterviu sama City TV, dia (Barker) nangis, bangga banget. Akan lebih bagus kalau itu terjadi di Indonesia, dari kecil sampai dewasa dibina di klub itu,” katanya.

Kritik dari kesebelasan terhadap Piala Presiden 2017

Sepakbola memang dikembangkan di tingkat kesebelasan (klub), bukan negara. Tanpa kerjasama dari pihak kesebelasan, PSSI pasti akan menemukan banyak kesulitan. Oleh karena itu, kami juga melakukan wawancara dengan pihak yang mewakili kesebelasan, yaitu coach Robert Alberts dari PSM Makassar.

Pertama soal Piala Presiden, kami bertanya apakah turnamen tersebut adalah turnamen yang ideal untuk kesebelasan dalam mepersiapkan pra-musim, Alberts menjawab dengan tegas: “Tidak. Tidak sama sekali.”

“Dari awal aku tidak ingin berpartisipasi karena ini tidak menguntungkan dalam pengembangan. Tapi karena alasan politis, kami harus berpartisipasi. Yang terjadi sekarang adalah bertentangan dengan filosofi pra-musim, yang menyebabkan cedera, sakit di otot, pemain-pemain juga belum siap secara mental. Tentu saja, mereka ingin memenangkan pertandingan, tapi aku bilang aku tidak akan mengambil risiko. Di pertandingan liga, aku akan mengambil risiko. Tapi tidak di sini.

Baca juga: Menyiasati Pengeluaran Biaya dengan Efisiensi Waktu a la Rene Alberts

“Turnamen [pra-musim] ini bukan tentang memenangkan pertandingan, tapi untuk menyeimbangkan kebutuhan para pemain. Jadi aku sangat tidak setuju dengan ini.

“Aku tidak bilang kalau turnamen ini adalah turnamen yang buruk, tapi pengambilan waktunya yang salah, peraturannya salah. Dan lagi, di belahan dunia mana ada turnamen sebelum liga yang diikuti oleh seluruh tim peserta liga? Hanya di Indonesia.

Bersambung ke halaman berikutnya

Komentar