Sepakbola Indonesia masih jauh dari maju. Itulah kenapa kita sedang benar-benar membutuhkan percepatan kemajuan sepakbola Indonesia, seperti yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, melalui pengembangan pemain muda, peningkatan kualitas wasit, dan peningkatan infrastruktur.
Campur tangan pemerintah di dalam sepakbola ini mungkin akan membuat kita penasaran mengenai bagaimana cara kerjanya nanti. Untuk itulah kami sempat mewawancarai Hanif Thamrin yang menjabat pada bagian media dan hubungan internasional di PSSI, untuk menjelaskan hal tersebut.
“Ada 20 kementrian di dalam inpres (instruksi presiden) ini, kemudian ada panglima TNI, ada Kapolri, ada Kepala BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), ada sekretaris kabinet. Jadi, mereka akan konsolidasi dulu,” buka Hanif yang pernah bekerja di Manchester City tersebut.
“Yang pertama dilakukan adalah membentuk sebuah tim expert yang bisa mewakili 20 kementrian maupun 4 yang saya bilang tadi. Isinya orang-orang yang tentunya expert di bidang masing-masing, misalnya infrastruktur.”
“[Contohnya] infrastruktur. Di tempatnya kementrian dalam negeri, tempatnya kementrian agraria, itu akan bersinergi untuk menentukan pos-pos. ‘Oh, tempat ini, lapangannya bisa didedikasikan untuk kompetisi, untuk PSSI, untuk ini, untuk A, untuk B, untuk C. Sama, terakhir, menteri keuangan, untuk menyusun anggaran ini semua.”
“Nah, PSSI dalam hal ini, kan, dibantu, ya? Bukan membuat. Kita bukan membuat, kita bukan ada yang ngatur-ngatur. Sifat kita adalah meng-advice kepada pemerintah, ini yang kita butuhkan, ini problem yang kita hadapi, tolong bantu kita di sini. Mengenai technical dan kompetisi, di situ baru PSSI menjadi sopir, lah.”
“Dibentuklah tim ini, nanti dia yang akan menyusun: keperluan A, soal pengembangan jumlah pemain, caranya seperti apa, nanti dia akan ‘Oh, nih, masuknya ke kementrian ini, kementrian ini, kementiran ini’. [Kemudian nanti misalnya] kurikulum. Kurikulumnya disampaikan ke sekolah-sekolah atau ke SSB. Itu yg di-share nanti. ‘Oh standarnya seperti ini’. Lalu wasit, sama.”
Menurut Hanif, masih ada dua pertemuan lagi untuk finalisasi tim ahli (expert). Dari empat isu yang disampaikan oleh presiden, yaitu masalah pembinaan pemain muda, wasit, infrastruktur, dan kemajuan tim nasional Indonesia, kemudia akan dipecah-pecah lagi kepada kementrian-kementrian terkait.
“Nanti laporan kementrian agraria ke kementrian mendagri, keuangan, dan sebagainya. Nanti apa detilnya? ‘Ini, lho, pos-posnya. Di Jakarta lapangannya di sini kita siapkan untuk national training centre. Ini kita siapkan untuk kompetisi di Jawa Timur’. Jadi sudah dipetakan,” kata Hanif sembari memberikan contoh.
“Perkiraan dua meeting lagi sebulan. Finalisasi dua meeting itu [sekitar April]. Itu ‘bola’-nya ada di 20 kementrian itu, kita (PSSI) nggak bisa maksain. Kita bentuknya cuma sebagai orang yang memberikan advice. Itu, kan, semuanya tergantung dari koordinasi 20 kementrian itu, bagaimana mereka mempercepat program-programnya, pembagian tugasnya, delegasinya.”
“Di Indonesia, sepakbola gak bisa bergerak tanpa bantuan pemerintah,” kata Hanif. “Tanpa sinergi dengan pemerintah, gak bisa. Karena kepemilikan tanah, kepemilikan infrastruktur, kepemilikan stadion, itu semua akan bersinggungan, sampai izin pertandingan; gak bisa.”
Masalah non-teknis pesepakbola Indonesia
Selain Hanif, kami juga mewawancarai Robert René Alberts, manajer PSM Makassar yang merupakan salah satu kesebelasan papan atas di Indonesia. Sebelum mengomentari soal infrastruktur, Alberts sempat curhat mengenai struktur kesebelasan di Indonesia yang menurutnya belum profesional.
Jika membandingkan sepakbola di Indonesia dengan di Eropa, terutama pada struktur kesebelasan yang profesional, kesebelasan di Eropa biasanya memiliki filosofi pada permainan mereka dan mereka melanjutkan filosofi tersebut dalam mendapatkan, memantau, dan mencetak pemain.
“Di Indonesia, setiap tahun seperti terlihat menjadi tim yang baru,” kata mantan manajer Arema Malang tersebut. “Setiap kali pemain datang, kamu harus mengubah seluruh permainan lagi. Salah satu hal yang kamu bangun di awal adalah sistem pengembangan pemain muda.”
“Jika kamu memiliki filosofi yang bagus di kesebelasan, kamu bisa membawa sistem pemain muda untuk sesuai dengan filosofi, sehingga pemain akan datang dari U18 sampai U21, mereka semua sudah memiliki filosofi yang sama, cara bermain yang sama, bahkan ketika usia yang masih muda. Itulah yang kesebelasan-kesebelasan besar lakukan.”
“Tapi mereka punya fasilitas-fasilitas [untuk mendukungnya],” kata Alberts, yang mulai membahas mengenai infrastruktur.
“Di Makassar, kami bahkan tidak memiliki satupun lapangan latihan yang bagus. Padahal kami memiliki 20 hotel megah,” ujar mantan pemain Vancouver Whitecaps tersebut. Selama ini PSM berlatih di lapangan milik TNI AL di Makassar.
“Kita membicarakan fasilitas, pengembangan pemain muda, dan bagaimana caranya mengembangkan talenta, tapi selama kita belum memiliki fasilitas atau infrastruktur tersebut, kita tidak akan mendapatkannya.”
Hal ini seolah senada dengan yang Hanif katakan, mengenai sepakbola Indonesia yang tidak akan bisa maju tanpa bantuan dari pemerintah. Jokowi sendiri sempat memberikan komentar, meskipun tidak terkait langsung soal sepakbola. “Ada rakyat butuh, provinsi butuh airport, provinsi butuh jalan tol, [kalau] kita hanya andalkan dari APBN enggak akan selesai sampai kiamat,” kata Jokowi seperti yang dikutip dari CNN Indonesia. Ini artinya, PSSI tidak bisa sepenuhnya mengandalkan negara, melainkan juga dari swasta.
Hal-hal tersebut membuat kita kembali menyadari pentingnya Club Licensing Regulations (CLR) yang sudah disusun oleh FIFA dan juga AFC. Sebelumnya saya juga sempat menulis tentang pemahaman Club Licensing Regulations dan manfaatnya untuk sepakbola Indonesia.
Bersambung ke halaman berikutnya
Komentar