Persebaya, Kota Surabaya, dan Sejarah yang Terukir (Bagian 1)

Cerita

by Redaksi 33 62024

Redaksi 33

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Persebaya, Kota Surabaya, dan Sejarah yang Terukir (Bagian 1)

Koesnadi dan rekannya tiba di Bandara Juanda pada Senin (24/04/2017) malam. Suasana bandara yang disebut-sebut memiliki toilet terbersih di Indonesia ini hiruk-pikuk. Banyak orang berseliweran di sana-sini, dan kebanyakan di antara mereka mengenakan kaus warna hijau dan membicarakan tentang sesuatu hal yang berkaitan dengan sepakbola.

Setibanya di Juanda, mulai banyak hal yang berseliweran di kepala Koesnadi, terutama soal apa saja dan siapa saja yang akan Koesnadi wawancarai dan proses menjadi bahan tulisan tentang salah satu kesebelasan besar yang terkenal akan cerita, sejarah dan prestasinya yang sudah melegenda di Indonesia.

Sembari menunggu di pelataran bandara, Koesnadi membeli camilan, satu botol kopi, sekaleng minuman ringan, serta dua bungkus rokok. Suasana bandara Juanda yang panas membuat keringat mengucur deras dari tubuhnya. Ternyata rekannya pun mengalami hal yang sama.

Tak lama berselang, jemputan pun datang. Jemputan yang akan mengantarkan Koesnadi dan rekannya kepada sebuah perjalanan panjang sekaligus menguras ingatan tentang Surabaya dan juga kesebelasan sepakbola kebanggaan Surabaya: Persebaya Surabaya.

Tentang Kota Surabaya dan Persebaya Surabaya

Surabaya adalah kota yang memiliki banyak cerita. Antony Sutton, penulis buku Sepakbola: The Indonesian Way of Life dalam satu bagian di bukunya (mulai hal. 135 sampai hal. 160) menceritakan soal sejarah Kota Surabaya. Pada 1923 silam, merujuk kepada tulisan Antony, Surabaya tidak masuk dalam peta percaturan kota terkenal di Jawa.

Ketika itu, nama Kediri lebih banyak dikenal sebagai salah satu kota yang maju di Jawa. Surabaya baru mulai diperhatikan setelah pemerintah kolonial Belanda menyadari bahwa selain Kediri, ada sebuah kota yang “terlihat penting dan sangat makmur” di utara Jawa bernama Surabaya.

"Terlihat penting dan sangat makmur" di sini, jika merujuk pada ucapan dari Dr. Andi Achdian, sejarawan UI yang juga adalah seorang penulis, adalah sebuah keadaan ketika Surabaya sudah lebih maju daripada kota-kota lain yang ada di Hindia Belanda saat itu.

Ini dikarenakan dinamika yang terjadi di Surabaya sebagai kota pelabuhan, kota dagang, dan kota industri pada abad ke-19 yang membuat Surabaya begitu maju, bahkan sebelum pemerintah kolonial Belanda datang ke Surabaya.

"Surabaya itu masyarakat kota. Dia (Surabaya) itu adalah kota industri dan dagang terbesar di Hindia Belanda, lebih besar dari Batavia saat itu. Dia itu sangat penting, dalam artian kemajuan ekonomi. Jadi, dia sangat kosmopolitan dan sejak awal sudah mengembangkan diri sebagai kehidupan masyarakat kota di Hindia Belanda saat itu, hampir sama dengan kita sekarang," ujar Andi.

Sebelum Belanda masuk, Surabaya seperti "negara kota" yang merupakan kota pelabuhan yang saling terhubung dengan kota pelabuhan lain, mungkin seperti Venezia di Italia. Sebelum zaman kolonialisme, Surabaya sudah berkembang.

Tidak seperti di Batavia di mana sebagai pusat pemerintahan yang banyak aturan, kalau Surabaya adalah wilayah bisnis dan industri yang agak berjarak dari kekuasaan, lebih terbuka, tidak kelihatan sopan santun seperti di wilayah-wilayah lain seperti Yogyakarta atau Surakarta yang ada kerajaan. "Kalau di Surabaya kan tidak ada, sejak awal memang strukturnya sudah bebas," kata Andi.

"Kalau bisa digarisbawahi, tidak adanya satu struktur kekuasaan yang besar seperti kerajaan membuat masyarakat Surabaya secara sosial ekonomi lebih berkembang. Mereka memang selalu menempatkan diri sebagai suatu wilayah yang merdeka dari kekuasaan pusat. Surabaya bahkan disebut sebagai kota paling Eropa di Hindia Belanda." ujar Andi.

Andi juga menyebut bahwa kemajuan Kota Surabaya inilah yang pada akhirnya membentuk budaya "arek", yang bebas, outspoken, dan lebih terbuka. Banyaknya orang-orang Eropa dan orang-orang dari luar daerah Surabaya sendiri turut serta dalam menciptakan budaya "arek" tersebut. Maka, tak heran dengan gagah berani masyarakat Surabaya melawan pasukan Sekutu dalam sebuah pertempuran yang dikenal sebagai pertempuran 10 November.

"Kalau peristiwanya sendiri (10 November) bisa dibilang mewakili karakter umum `arek` yang lebih bebas dan lebih terbuka. Peristiwa 10 November memang memberikan pengaruh, tapi itu hanya sekadar peristiwa saja, yang mungkin punya nilai tersendiri di mata masyarakat Surabaya," ujarnya.

Bicara tentang Kota Surabaya, tentu tidak bisa lepas dari Persebaya Surabaya, tim sepakbola asal kota Surabaya. Sejarah tentang Persebaya, sesuai dengan sejarah Kota Surabaya yang pernah menjadi kota yang begitu melawan, tidaklah begitu jauh berbeda. R.N. Bayu Aji, Dosen Pendidikan Sejarah Unesa (Universitas Negeri Surabaya) sekaligus pengamat sejarah Persebaya, mengungkapkan bahwa secara historis, Persebaya punya perjalanan panjang dalam perkembangan Kota Surabaya.

"Apabila kita merujuk pada keberadaan SIVB (Soerabaiasche Indische Veotbal Bond) 1927 sebagai cikal bakal Persebaya, maka Persebaya sebagai sebuah klub yang didirikan oleh orang-orang bumiputera di Surabaya untuk lebih bisa mengembangkan permainan sepakbola bagi kalangan bumiputera, di saat ini memiliki usia sembilan puluh tahun. Apabila Persebaya diakui sebagai dua entitas yang saling berkaitan antara SVB (Soerabaiasche Voetbal Bond) yang didirikan di tahun 1910-an dan SIVB, maka usia Persebaya sudah lebih dari satu abad."

"Dari segi usia tersebut, tentu saja Persebaya tidak bisa dihilangkan begitu saja dalam sejarah Kota Surabaya dan keberadaannya dalam memori serta benak masyarakat Surabaya. Persebaya bukan hanya sekadar warisan kota yang harus dicintai dan dilestarikan. Akan tetapi Persebaya adalah (bagian) sejarah Kota Surabaya itu sendiri. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila masyarakat Surabaya begitu mencintai Persebaya, terlebih lagi bagi suporter Persebaya yaitu Bonek," ujar pria yang akrab disapa Rojil ini.

Hal-hal inilah yang begitu Koesnadi perhatikan dan resapi sebelum akhirnya memutuskan akan membicarakan Persebaya. Membicarakan Persebaya, berarti membicarakan masyarakat Surabaya yang tegas dalam bersikap dan tidak ragu untuk melawan kesewenang-wenangan.

lanjut ke halaman selanjutnya

Komentar