Membentuk budaya melalui pembinaan pemain usia muda
Pertandingan yang sedang dilangsungkan di lapangan Persebaya tampak sudah hampir selesai. Para pemain sudah tidak lagi sekuat ketika awal dan tengah pertandingan berlangsung. Mereka juga punya batasan fisik, sepertinya, karena selain mereka hanya sekumpulan manusia biasa, mereka juga hanyalah para remaja yang paru-parunya masih belum sebesar para pemain yang sudah memasuki usia 17 tahun ke atas. Mereka masih butuh waktu untuk mencapai hal tersebut.
Namun, berbeda dengan para pemain yang sudah tampak kelelahan, Pak Mariono semakin semangat bercerita soal pembinaan pemain muda di Surabaya. Ia, meski secara tidak langsung, mengungkapkan bahwa pembinaan pemain muda Persebaya bukan hanya soal mencetak pemain berbakat, tetapi juga soal membentuk serta melestarikan budaya yang sudah ada sejak lama di Persebaya.
"Kita sudah punya visi bahwa anak-anak ini kita bentuk karakternya, menjadi pemain bagus yang berkarakter yang berjiwa nasionalisme dan berjiwa fair play, baru kita tekan kepada prestasi," ujar Pak Mariono.
Ingatan-ingatan kembali berputar di kepalanya. Ucapan Pak Mariono yang ingin mempersiapkan para pemain sembari menyisipkan budaya-budaya khas Surabaya kepada para pemain seperti pernah ia dengar sebelumnya. Ah, kembali Koesnadi terkenang Pak Totok Risantono. Pak Totok sempat juga bercerita panjang lebar perihal pembentukan karakter dan penyisipan budaya khas Surabaya melalui pembinaan.
Di tengah zaman yang sudah semakin maju dan hilir mudik pemain dari satu kesebelasan ke kesebelasan yang lain yang sudah macam bus antar daerah, Pak Totok percaya bahwa ada sebuah dedikasi serta kebanggaan tersendiri yang akan tumbuh jika pemain merupakan hasil binaan. Semangat juang dan mental kuat khas arek Suroboyo, ujar Pak Totok, akan terbentuk lewat pembinaan yang melibatkan kesebelasan-kesebelasan internal Persebaya.
Suasana pertandingan di lapangan Persebaya
"Dedikasi juga akan ada jika pemain merupakan hasil kompetisi internal sendiri. Dulu itu bahkan ketika dipanggil masuk ke lapangan, MC-nya bahkan sampai memanggil nama pemain sesuai dengan daerahnya, dan itu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi sang pemain. Sekarang, kan, nggak. Pemain-pemain juga banyak yang keluar, tapi memang situasinya seperti itu (dualisme dan vakum). Jika situasinya normal dan aman, Persebaya akan kuat. Pemain produksi sendiri, gak keluar uang banyak, kuat pasti."
"Itu semua karena kompetisi kesebelasan internal yang berjalan. Anak-anaknya senang, dan mereka semua terlatih, kelanjutan kariernya juga ada kalau pemain berkompetisi di kompetisi internal. Ingin jadi pemain Persebaya, coba masuk dulu ke kesebelasan internal agar mental khas Surabaya tertanam dalam diri Anda," ujar Pak Totok bercerita sembari matanya terlihat menerawang, mengenang masa saat pemain-pemain binaannya membela kesebelasan Persebaya.
Ada juga cerita yang tertutur dari salah satu warga yang pernah mengikuti pertandingan klub internal dan seleksi masuk tim junior Persebaya bernama Fandy. Ia menuturkan kala itu, ketika ada anak-anak muda bermain di lapangan Persebaya, maka para pemain senior yang tinggal di mes akan keluar dan menonton pertandingan itu dari atas genting. Sorakan-sorakan yang bernada bercanda itu membuat para pemain yang bermain menjadi tegang, tapi di sisi lain itu membentuk mental para pemain muda.
"Waktu itu saya ingat, saya pernah ikut seleksi Persebaya U16 di lapangan Persebaya. Ada beberapa pemain Persebaya nonton di atas genting mes. Mereka menyoraki kami, dan itu sempat bikin kami tegang," ujar Fandy.
Koesnadi pun menerawang jauh ke kesebelasan kota kelahirannya, Persib Bandung, sembari mengingat masa-masa jaya saat Persib masih diperkuat bibit-bibit lokal asli Jawa Barat (atau talenta lokal yang sudah diasah dengan metode a la Jawa Barat). Seketika ia teringat Robby Darwis, Ajat Sudrajat, Yusuf Bachtiar, Yudi Guntara, dan nama-nama lain. Waktu memang terlalu cepat berlalu, sehingga ia sampai sadar bahwa sekarang talenta Jawa Barat yang ada di Persib jumlahnya mungkin hanya bisa dihitung dengan jari.
Apa yang diucapkan Pak Mariono, diselingi dengan fragmen ingatan saat berbincang dengan Pak Totok, membuat Koesnadi menyelami bahwa ada sesuatu yang sedang menjelang hilang dari sepakbola Indonesia, jika tak ada orang yang menyadarinya.
***
Suara alunan lagu Kelingan Mantan terdengar sayup-sayup dari radio seorang pedagang krengsengan di pinggir jalan Karang Menjangan, tidak jauh dari Universitas Airlangga. Malam hari yang dingin membuat sang pedagang tampak tidak kuat, dan akhirnya tidak lama kemudian bergegas membereskan gerobaknya, bersiap untuk pulang. Pelukan hangat istri di rumah adalah hal bijak yang bisa dipilih saat itu, daripada terjebak di tengah udara dingin Kota Surabaya.
Koesnadi dan rekannya sudah kembali ke kamar penginapan, beristirahat setelah melalui sebuah hari yang bisa dianggap seperti sebuah perjalanan menggunakan mesin waktu. Cerita dari Pak Mariono, diselingi juga dengan cerita-cerita lain membuat banyak hal bergumul di dalam pikiran Koesnadi, tentang kesebelasan kota kelahirannya dan juga Persebaya yang konsisten dalam merawat para pemain muda.
Ia berharap, bahwa hal sama akan terjadi lagi. Masa ketika pemain-pemain lokal menunjukkan kualitasnya tanpa dibatasi oleh kehadiran pemain asing. Masa ketika pemain lokal mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan di tanah air mereka sendiri, bermain sepakbola secara bebas tanpa merasa harus tersaingi dengan kehadiran pemain asing.
Tapi Surabaya memberikan hal yang lebih daripada itu. Pembinaan lebih dari sekadar mencetak pemain yang baik secara teknik dan fisik. Lebih jauh, pembinaan juga adalah bentuk dari pelestarian dan pembentukan budaya, yang pada akhirnya akan membuat para pemainnya tidak akan pernah lupa bahwa mereka berasal dari Persebaya Surabaya, dari Kota Surabaya.
Bersambung . .
Tulisan ini adalah bagian kedua dari kumpulan hasil liputan khusus kami ke Surabaya untuk mendalami Persebaya Surabaya dan Bonek.
Kumpulan tulisan mengenai Persebaya bisa dibaca pada tautan di bawah ini:
Tulisan 1: Persebaya, Kota Surabaya, dan Sejarah yang Terukir
Tulisan 2: Proses Pembentukan Budaya Itu Bernama Pembinaan Usia Muda
Tulisan 3: Menuju Era Baru Persebaya dan Tantangan yang Harus Dijawab Manajemen
Sementara kumpulan mengenai Bonek bisa dibaca pada tautan di bawah ini:
Tulisan 4: Fenomena Tret Tet Tet yang Melahirkan Persepsi Bonek
Tulisan 5: Identitas Bonek Melalui Aksi Estafetan
Tulisan 6: Upaya-upaya Bonek untuk Mengubah Stigma Negatif di Media dan Masyarakat
Tulisan 7: Gelora Bung Tomo Belum Bersahabat dengan Bonek
Tulisan 8: Lebih Dekat dengan Perjuangan Andie Peci
Komentar