Palu sudah diketuk. Pada 8 Januari 2017, impian seluruh pecinta sepakbola Surabaya akhirnya menjadi nyata. Setelah hampir empat tahun tidak tampil di kompetisi resmi, PSSI memutuskan untuk mencabut hukuman yang diterima oleh salah satu kesebelasan penuh tradisi di Indonesia, Persebaya Surabaya.
Selesai sudah hubungan yang tidak akur antara Persebaya dan PSSI yang sudah terjadi selama beberapa tahun. Sekarang Persebaya sudah kembali, disambut dengan suka cita dan juga gelak tangis dari beberapa elemen, termasuk para Bonek, garda terdepan dalam perjuangan kembalinya "Bajul Ijo" ke kancah kompetisi nasional. Persebaya pun mulai mempersiapkan diri untuk kembali bersaing dengan kesebelasan-kesebelasan lain di kompetisi nasional.
Kembali berkompetisi setelah empat tahun vakum, Persebaya membutuhkan beberapa penyesuaian agar dapat bersaing dengan kesebelasan-kesebelasan lain di Indonesia yang beberapa di antaranya sudah menargetkan diri menjadi kesebelasan profesional. Menggandeng Jawa Pos, Persebaya pun berangkat menuju sebuah era baru.
Jawa Pos, lebih dari sekadar pemilik saham
Berdasarkan penuturan Pak Slamet Oerip Prihadi selaku wartawan senior Jawa Pos, hubungan antara Jawa Pos dan Persebaya sudah terjadi cukup lama. Kala Persebaya mengalami masa-masa suram jelang juara pada 1987/1988, media yang dimotori oleh Dahlan Iskan ini menjadi pionir kebangkitan Persebaya. Mereka banyak memberitakan "Bajul Ijo", bahkan sampai membikinkan halaman khusus untuk Persebaya di koran Jawa Pos.
"Jadi waktu itu tahun `85, Persebaya sempat mengalami keterpurukan. Belum ada liga profesional seperti sekarang, yang hanya ada Divisi Utama PSSI Perserikatan, itu kompetisi amatir. Divisi Utama waktu itu jumlahnya hanya 10 klub. Tahun `85 Persebaya terpuruk di peringkat kesembilan, itu sejarah terburuk bagi Persebaya."
"Ketika Persebaya terpuruk, padahal materi pemainnya baik, dan waktu itu Jawa Pos juga sedang berusaha dan berjuang menaikkan oplah, kami pun menggandeng Persebaya. Semua tokoh-tokoh Persebaya dikumpulkan, dari akademisi UNAIR, dan pihak keamanan juga ada, kita membangun Persebaya idaman. Tahun 86/87 mulai bangkit."
"Pak Dahlan itu punya prinsip dulu kalau Persebaya prestasi bagus, dan kita memberitakan Persebaya dengan cukup besar, itu akan jadi win-win solution bagi koran [Jawa Pos] dan Persebaya itu sendiri. Persebaya akan terberitakan di media dengan cukup banyak, porsinya bahkan dua sampai tiga halaman di Jawa Pos. Kita bersinergi dengan Persebaya agar Persebaya tetap didukung lewat koran, dan itu akan berpengaruh bagi koran juga," ujar Pak Slamet.
Jadi, ikatan antara Jawa Pos dengan Persebaya memang bukan ikatan yang baru. Bisa dibilang naiknya oplah Jawa Pos dengan cepat setelah Persebaya juara adalah berkat pertolongan Persebaya. Di sisi lain, animo masyarakat Surabaya yang mulai rajin, malah sampai nekat mendukung Green Force (istilah yang ditelurkan oleh pemilik Kaltim Post sekarang, Zaenal Muttaqin) sehingga muncullah istilah Bondho Nekat (Bonek) adalah berkat koran Jawa Pos juga.
Maka tak heran kalau sekarang, Jawa Pos juga yang menjadi salah satu penolong dan pembimbing Persebaya ketika mereka kembali berkompetisi di sepakbola nasional. Menurut Azrul Ananda, Presiden Persebaya, Jawa Pos (PT Jawa Pos Sportainment) masuk ke susunan PT Persebaya Indonesia, bersama dengan Koperasi Mitra Surya Abadi, dan berbagi saham di dalamnya.
"PT Persebaya Indonesia tidak pernah berubah. Sampai sekarang namanya masih sama, PT Persebaya Indonesia. Bedanya, dulu PT itu dimiliki oleh Koperasi Surya Abadi Persebaya dan beberapa individual. Sekarang, tidak ada lagi individu di susunan pemiliknya. PT Persebaya Indonesia adalah 70 persen milik PT Jawa Pos Sportainment, di bawah Jawa Pos Group, dan 30 persen Koperasi Surya Abadi Persebaya, yang terdiri atas 20 klub anggota."
"Dengan struktur kepemilikan ini, fondasi perusahaan lebih kuat dan profesional, karena pemodalannya akan lebih kuat, plus tidak rentan problem keuangan atau kepentingan seperti kalau dimiliki oleh individual-individual," tegas Azrul.
Azrul juga menyebut kalau Jawa Pos sempat menolak ketika diminta untuk mengambil alih Persebaya. Namun atas dasar ingin membuat Persebaya menjadi lebih berkembang, Jawa Pos akhirnya memutuskan untuk mengambil alih Persebaya supaya kesebelasan ini lepas dari kepentingan-kepentingan individual.
"Ketika mengambil alih PT Persebaya Indonesia, kami sadar betul situasi, kondisi, dan segala tantangannya. Dan memang Persebaya tidak kami ambil murni untuk keperluan bisnis. Sudah bertahun-tahun kami di Jawa Pos dimintai tolong untuk mengambil alih Persebaya. Bertahun-tahun pula kami menolaknya."
"Dasar permintaan itu sangatlah rasional: Bahwa hanya dengan dikelola oleh Jawa Pos, Persebaya bisa lepas dari segala kepentingan politik individu, bisa dibangun dan berkembang secara lebih profesional. Apalagi sejarah Persebaya dulu memang besar bersama Jawa Pos," ungkap Azrul.
Tantangan-tantangan yang harus dijawab manajemen Persebaya yang baru
Seperti yang diujarkan Azrul di atas, mengambil Persebaya tentu bukan hanya soal mengurusi Persebaya beserta kesebelasan internal yang ada di dalamnya. Lebih jauh, mengurusi Persebaya berarti siap untuk menerima tantangan, karena akan banyak terjadi pengawalan dari Bonek dan juga elemen sepakbola Surabaya yang lain mengingat "Bajul Ijo" baru saja kembali ke percaturan sepakbola nasional.
Akan ada tabrakan yang terjadi, salah duanya adalah perihal tiket dan juga perihal pendisiplinan di stadion. Ada suara-suara yang menyatakan kesetujuan, dan akan ada suara yang menyatakan ketidaksetujuan. Azrul paham akan hal tersebut, dan ia pun memberikan pengertian akan hal-hal baru yang diterapkan oleh manajemen Persebaya sekarang, termasuk soal harga tiket dan pendisiplinan di stadion.
"Kalau di Indonesia, memang tidak bisa seperti itu (mengandalkan pemasukan dari tiket). Di Indonesia akan selalu ada “adu timbangan” antara pemasukan sponsor dan pemasukan tiket. Semakin banyak sponsor, semakin kecil beban yang diburu dari tiket. Semakin sedikit sponsor, semakin besar kebutuhan dari tiket."
"Di Persebaya, kami akan mencoba menjaga keseimbangan itu. Kami berterima kasih kepada para suporter, dan kami tidak menuntut banyak dari mereka secara finansial. Silakan dukung Persebaya semampunya. Kalau tidak mampu beli tiket, kami bersyukur hampir semua laga Persebaya ditayangkan di televisi, jadi semua tetap bisa menikmati. Kalau memang bisa membeli tiket, maka mereka akan tahu kalau setiap rupiah akan digunakan untuk mengembangkan Persebaya," ujar Azrul.
Agar tidak membebankan kepada pendapatan tiket, Azrul pun punya beberapa rencana lain supaya Persebaya tetap bisa berjalan dalam kompetisi Liga 2 ini. Selain memanfaatkan sponsor, ia juga memiliki rencana untuk mengembangkan merchandise berbau Persebaya. Langkah awal ia lakukan dengan membuka Persebaya Store di Graha Pena.
"Ada banyak brand besar ingin menggandeng Persebaya sebagai sponsor apparel. Tapi berdasarkan pengalaman belasan tahun di dunia olahraga, dan melihat situasi di sekeliling, kami memutuskan untuk tidak menerima satu pun. Kami memilih mengembangkan sendiri."
"Untuk mengembangkan, tentu harus ada programnya. Persebaya Store di Graha Pena itu hanya tempat pemula. Suporter Persebaya ada di seluruh Indonesia, jadi mereka bisa mendapatkannya lewat toko online resmi kami. Kalau ini terus berkembang, betapa indahnya kalau Persebaya punya gerai yang lebih besar, lebih hebat lagi."
"Dan kami juga menggandeng suporter-suporter kreatif yang sekarang memproduksi merchandise Persebaya. Sehingga mereka tetap bisa menyalurkan kreativitas, tapi ikut berperan aktif mendukung kemajuan Persebaya," ungkap Azrul
Tidak hanya bicara soal tiket dan soal merchandise sebagai sumber pendapatan selain tiket, Presiden Persebaya yang juga putra dari Dahlan Iskan ini menyebut bahwa soal pendisplinan di stadion itu dilakukan atas dasar memberikan kenyamanan kepada para suporter yang menonton Persebaya secara langsung di stadion. Hal ini akan diimplementasikan secara bertahap oleh manajemen, sehingga tercipta situasi stadion yang kondusif.
"Dan dengan segala kendala, kami akan terus berusaha membuat suasana dan situasi di stadion menjadi lebih baik. Supaya suasana menonton makin lama makin nyaman, walau bertahap. Masak ada klub yang ingin situasi menjadi lebih buruk? Masak cita-cita kita justru bikin suasana makin buruk? Cita-cita kita tentu untuk menjadi lebih baik, seperti di negara-negara maju bukan?" ujarnya.
***
Jawa Pos dan Persebaya, dua entitas yang dulu saling mendukung satu sama lain, sekarang sudah bergabung menjadi satu kesatuan. Beban yang mereka tanggung pun terbilang cukup berat, yaitu impian dan harapan masyarakat Surabaya agar Persebaya dapat kembali tampil di kompetisi level tertinggi sepakbola Indonesia, apalagi waktu empat tahun vakum adalah waktu yang tidak sebentar bagi masyarakat Surabaya.
Menanggapi tantangan yang datang ini, selain juga masih membenahi soal tiket dan soal pendisiplinan di stadion agar stadion menjadi tempat yang nyaman untuk menyaksikan pertandingan sepakbola, Azrul juga berencana menciptakan program-program jangka panjang yang akan membuat Persebaya, pada akhirnya menjadi salah satu kesebelasan profesional di Indonesia.
"Belakangan, kami menyadari betapa rindunya para suporter untuk menonton Persebaya, dan betapa hausnya mereka terhadap prestasi Persebaya. Apalagi setelah bertahun-tahun klub ini tidak diakui keberadaannya. Kami sadar betapa besar harapan mereka terhadap Persebaya. Karena itu kami selalu berpikir untuk jangka panjang, bukan untuk bulan atau tahun ini saja."
"Target kami jelas kok, menjadi klub paling profesional di Indonesia. Dan itu tidak mungkin dicapai dalam satu bulan, atau satu tahun. Pasti akan ada masa-masa indah, pasti juga akan ada masa-masa yang berat dan menantang. Di masa indah, kita tetap harus menginjak bumi. Di masa sulit, kita harus tetap tenang, fokus, tidak mudah melakukan reaksi yang justru berisiko untuk jangka panjang."
"Yang penting bekerja dengan fundamental yang baik, karena Persebaya yang sekarang dibuat untuk forever, untuk selamanya, bukan untuk bernafas kembang kempis," pungkasnya.
Menuju sesuatu yang baru dan modern memang butuh proses yang panjang. Nilai-nilai tradisional dan sisi-sisi modernisme adalah dua hal yang tidak boleh saling menghilangkan, karena nilai-nilai tradisional akan memperkuat identitas yang sudah dimiliki, sedangkan sisi modernisme akan membuat kita mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Persebaya adalah kesebelasan dengan identitas yang kuat sebagai kesebelasan tradisional Jawa Timur dengan segala ceritanya di kancah sepakbola nasional. Meski memiliki nilai tradisional yang kuat, tak ada salahnya bagi Persebaya mengikuti arus modernisasi, sehingga kelak akan menjadi kesebelasan profesional yang tidak lepas dari akar asalnya sebagai kesebelasan kebanggaan masyarakat Jawa Timur.
Bersambung . .
Tulisan ini adalah bagian ketiga dari kumpulan hasil liputan khusus kami ke Surabaya untuk mendalami Persebaya Surabaya dan Bonek.
Kumpulan tulisan mengenai Persebaya bisa dibaca pada tautan di bawah ini:
Tulisan 1: Persebaya, Kota Surabaya, dan Sejarah yang Terukir
Tulisan 2: Proses Pembentukan Budaya Itu Bernama Pembinaan Usia Muda
Tulisan 3: Menuju Era Baru Persebaya dan Tantangan yang Harus Dijawab Manajemen
Sementara kumpulan mengenai Bonek bisa dibaca pada tautan di bawah ini:
Tulisan 4: Fenomena Tret Tet Tet yang Melahirkan Persepsi Bonek
Tulisan 5: Identitas Bonek Melalui Aksi Estafetan
Tulisan 6: Upaya-upaya Bonek untuk Mengubah Stigma Negatif di Media dan Masyarakat
Tulisan 7: Gelora Bung Tomo Belum Bersahabat dengan Bonek
Tulisan 8: Lebih Dekat dengan Perjuangan Andie Peci
Komentar