Argentina menjadi salah satu negara yang dikenal sebagai penghasil pesepakbola unggulan. Pada setiap zamannya Argentina konsisten mencetak pemain-pemain hebat, dari mulai Diego Armando Maradona hingga Lionel Messi adalah contoh dari keberhasilan Argentina menciptakan bibit-bibit pesepakbola unggulan yang bisa dinikmati oleh para kesebelasan top Eropa.
Dari sekian banyaknya pemain hebat yang pernah dilahirkan Argentina, rasanya kurang pas bila tidak membicarakan sosok Mario Kempes, yang namanya begitu dikenang di tiga negara berbeda. Selain di Argentina yang merupakan tempat kelahirannya, Kempes juga dikenal luas oleh publik sepakbola Spanyol, dan Indonesia.
Di Argentina, ia bisa dianggap sebagai pahlawan karena kontribusi yang mengagumkan bagi La Albiceleste. Tiga perhelatan Piala Dunia tahun 1974, 1978, dan 1982 pernah ia lakoni bersama timnas Argentina. Satu di antaranya membuahkan piala. Tepatnya di perhelatan 1978, Argentina yang juga berstatus sebagai tuan rumah berhasil mengalahkan Belanda dengan skor 3-1 di partai puncak.
Dua dari tiga gol yang disarangkan Argentina ke gawang Belanda diciptakan melalui aksi Mario Kempes, yang pada akhir turnamen juga didaulat sebagai pencetak gol terbanyak dengan enam gol. Kontribusi besar tentunya diberikan Kempes untuk membawa Argentina meraih gelar Piala Dunia perdananya.
Keberhasilan La Albiceleste kala itu dianggap sebagai hadiah paling berharga bagi masyarakat Argentina, yang pada saat itu lebih banyak didera penderitaan karena kondisi internal dalam negeri yang bergejolak. Bahkan akibat gejolak tersebut, Argentina sempat dianggap tak layak untuk menjadi penyelenggara Piala Dunia. Johan Cruyff bahkan sampai melakukan aksi boikot dengan menolak tampil di Piala Dunia 1978.
Terlepas dari itu semua, masyarakat Argentina saat itu benar-benar bersuka cita karena gelar yang diraih. Kempes adalah sosok krusial dibalik keberhasilan tersebut. Hingga tak berlebihan bila menyebut pemain yang menggenapi usianya menjadi 63 tahun pada 15 Juli 2017 ini sebagai pahlawan bagi kegembiraan masyarakat Argentina yang kadung lebih banyak menelan penderitaan karena konflik politik dan ekonomi.
Bersinar di Valencia
Kempes tak hanya bersinar di negerinya sendiri, pemain yang mendapat julukan El Matador itu juga mampu menjadi salah satu penyerang terbaik yang pernah bermain di La Liga Spanyol. Setelah tampil impresif bersama Rosario Central dengan torehan 85 gol dari 107 penampilan, Kempes kemudian diboyong Valencia pada tahun 1976.
Tidak hanya gelar individu, Kempes juga berhasil membawa kejayaan bagi Valencia. Dalam rentang tahun 1978 hingga 1980 tiga trofi dari ajang berbeda turut ia sumbangkan. Trofi pertamanya bersama El Che adalah Piala Super Spanyol yang diraih pada musim 1978/1979. Setelahnya, secara berturut-turut Kempes berhasil membawa Valencia meraih gelar d beberapa ajang berbeda Piala Winners tahun 1979/1980 dan Piala Super Eropa pada tahun 1980.
Dengan pencapaian-pencapaian yang ditorehkannya bersama Valencia, Kempes kemudian dianggap sebagai legenda tim yang identik dengan lambang kelelawar itu. Ketika pada tahun 1981 ia hijrah ke River Plate, Valencia seolah kehilangan sosoknya. Baru semusim ia membela River, pada tahun 1982 Valencia kemudian mendatangkannya kembali.
Sayang, Kempes tak lagi sesubur dulu, ada penurunan performa yang ia tunjukkan hingga ia hanya bermain selama dua musim saja bersama El Che. Di periode keduanya membela Valencia pada tahun 1982 hingga 1984 21 gol ia bukukan dari 42 penampilannya di semua ajang.
Valencia tak lagi bisa mempertahankannya, hingga Kempes harus mencari klub baru. Sayang, tidak ada tim besar yang ia belas setelah hengkang dari Valencia. Namun ia belum mau untuk meninggalkan Spanyol, tawaran Hercules kemudian ia terima. Namun kiprahnya di klub medioker Spanyol itu tak berlangsung lama. Pada 1986 hingga 1992, ia memilih berkarier di Austria dengan membela tiga klub berbeda, First Vienna, St. Polten, dan Kremser SC.
Dari Austria Berlabuh ke Indonesia
Semangat Kempes untuk bermain sepakbola tak kunjung padam meski usianya sudah berkepala empat. Berbagai peruntungan ia coba, hingga mendarat di Indonesia pun pernah menjadi pilihan untuk kariernya. Tahun 1996, sepakbola Indonesia kedatangan Kempes yang menjadi pemain kelas dunia kedua setelah Roger Milla yang memilih berkarier di Indonesia di penghujung kariernya sebagai pemain.
Kedatangan Kempes semakin meramaikan perhelatan kompetisi sepakbola Indonesia yang kala itu ingin menjadi kompetisi profesional. Era baru memang terjadi di sepakbola Indonesia, setelah dileburnya kompetisi Perserikatan dan Galatama melebur menjadi satu kesatuan yang diwadahi oleh kompetisi bernama Liga Indonesia. Kompetisi tersebut kali pertama digulirkan pada tahun 1994.
Kehadiran pemain asing, menjadi daya tarik dari perhelatan tersebut, banyak compatriot menjalani karier sepakbola di Indonesia, beberapa berstatus sebagai pemain kelas dunia. Milla dan Kempes masuk dalam kriteria kedua. Kehadiran Kempes pada saat itu diharapkan mampu mentransfer ilmu yang ia miliki kepada para pesepakbola lokal.
Hal tersebut yang kemudian membuat Pelita Jaya mengontraknya sebagai pemain sekaligus pelatih. Saat itu, Kempes berusia 42 tahun, ia dikontrak dengan durasi 10 bulan dengan bayaran sebesar 4.200 US Dolar per bulan. Hanya 15 pertandingan saja yang ia lakoni, namun 10 gol berhasil diciptakannya kala itu.
Pada tahun 1997, Kempes kemudian pensiun untuk lebih serius menekuni bidang kepelatihan, karena memang sebelum bergabung ke Pelita Jaya, Kempes tercatat menjabat sebagai asisten pelatih di Valencia dari tahun 1993.
Namun karier Kempes sebagai pelatih tak secemerlang kala ia menjadi pemain. Tidak usah terlalu berlebihan menanggapi hal tersebut, karena meski berada dalam satu lingkup yang sama namun bermain dengan melatih adalah dua hal yang berbeda. Sepanjang berkarier sebagai pelatih, ia belum pernah dipercaya menangani klub dengan nama besar.
Praktis hal tersebut membuatnya lebih banyak melatih kesebelasan-kesebelasan berstatus klub yang kurang terkenal dari Liga Albania, Bolivia, hingga Venezuela. Bahkan, ia sempat juga melatih klub kecil asal Spanyol San Fernando.
Karier kepelatihan Kempes berakhir pada tahun pada tahun 2001. Meski begitu, karienya sebagai pelatih pernah menuai kebanggaan kala mampu membawa The Strongest juara di Liga Bolivia pada tahun 1999. Setelah karier kepelatihannya habis, saat ini kempes lebih banyak menghabiskan banyak waktunya dengan menjadi komentator di salah satu stasiun televisi olahraga terkenal dunia.
Komentar