Halaman kedua
Djimi Traore yang sudah melepaskan seragamnya, tak jadi diganti dan disuruh kembali mengenakan seragamnya. Finnan ia tarik keluar. Skemanya adalah ia memasukkan Dietmar Hamann untuk menggantikan Finnan. Pola 3-5-2 tetap dijalankan, menggantikan 4-2-3-1 andalan Benitez. Hanya saja Smicer digeser ke sayap kanan, sementara Luis Garcia menjadi duet Baros. Selain karena kondisi Finnan, pertimbangan utama perubahan skema ini adalah untuk mematikan pergerakan motor serangan Milan, Andrea Pirlo.
"Hamann akan menggantikan Finnan dan kita akan bermain dengan 3-5-2," Benitez memutuskan. "Pirlo mengontrol jalannya pertandingan dari tengah, jadi saya ingin Luis [Garcia] dan Stevie [Gerrard] bermain di sekitarnya dan berusaha unggul jumlah pemain di tengah agar ia [Pirlo] tidak bisa mengoper."
Skema ini bukan skema asing bagi para pemain Liverpool. Skema 3-5-2 ini pernah dipakai sebelumnya pada laga melawan Juventus di babak perempat final. Namun skema itu bertujuan untuk bermain lebih defensif, di mana saat itu Liverpool berhasil menahan imbang Juventus tanpa gol untuk memuluskan kemenangan 2-1 di leg pertama.
Maka pada babak kedua, Liverpool bermain dengan skema 3-5-2. Traore menemani Carragher dan Sami Hyppia di depan penjaga gawang, Jerzy Dudek. Hamann berduet dengan Xabi Alonso sebagai double pivot untuk mengunci pergerakan Kaka. John Arne Riise kiri, Smicer kanan. Steven Gerrard di belakang Garcia dan Baros.
Hasilnya, seperti yang kita tahu, adalah keajaiban. Selain Milan kesulitan menciptakan peluang, Liverpool mampu mencetak tiga gol pada babak kedua. Sementara pada ketiga gol tersebut, terbukti perubahan skema yang dilakukan Benitez berjalan sangat efektif.
https://twitter.com/ardynshufi/status/914066390021111808
Pada gol pertama, skema dua penyerang membuat Jaap Stam dan Alessandro Nesta, bek tengah Milan, terfokus pada Baros dan Garcia. Ketika Riise mengirim umpan silang ke kotak penalti, Gerrard menyambutnya tanpa kawalan. Nesta menjaga Baros, sementara Stam bertugas menjaga Garcia. Sempat dibantu Paolo Maldini, namun Stam terlambat untuk mengganggu Gerrard.
Gol kedua, giliran Smicer yang mencetak gol. Hamann, yang masuk pada babak kedua, tercatat sebagai pengasis gol Smicer tersebut. Kehadiran Hamann memang membuat Liverpool unggul di tengah selama babak kedua. Selain itu pada gol yang tercipta dua menit berselang dari gol Gerrard tersebut terlihat bagaimana Garcia dan Baros mengacaukan konsentrasi Nesta dan Stam.
Untuk gol ketiga, pergerakan Garcia membuat Stam meninggalkan kotak penalti. Sementara itu Nesta harus menjaga ketat Baros. Di situlah penyerang asal Republik Ceko tersebut menciptakan ruang kosong untuk Gerrard. Gerrard yang berkesempatan mencetak gol lantas dilanggar Gennaro Gattuso. Penalti untuk Liverpool, yang meski tendangan Xabi Alonso sempat ditepis Nelson Dida, gelandang asal Spanyol tersebut berhasil menyambar bola liar untuk memaksakan imbang 3-3 pada 90 menit.
Pertandingan sendiri dilanjutkan ke babak tambahan, bahkan hingga adu penalti. Liverpool akhirnya keluar sebagai pemenang setelah menang 3-2. Dudek tampil gemilang dengan menahan eksekusi Pirlo dan Andriy Shevchenko untuk melengkapi tendangan Serginho yang melambung tinggi. Sementara kegagalan eksekusi Riise dibayar tuntas oleh Hamann, Smicer, dan Cisse.
Kemenangan Liverpool jelas di luar dugaan. Tak heran juga laga ini dikenal sebagai "Miracle of Istanbul" atau "Keajaiban Istanbul". Liverpool yang kalah 3-0 di babak pertama, mampu menyamakan kedudukan di babak kedua, dan berbalik menang lewat adu penalti, di mana ini menjadi salah satu comeback paling dramatis. Hasil tersebut tentu tak lepas dari kejelian Rafael Benitez yang mengubah taktiknya saat turun minum.
***
Kini, 12 tahun berselang, Benitez akan bertemu kembali Liverpool. Pada pekan ke-7 Liga Primer Inggris 2017/2018, Newcastle United, kesebelasan yang ia tangani saat ini, akan menjamu Liverpool. Laga ini mungkin bukan pertemuan pertama Benitez dengan kesebelasan yang pernah ia bawa berjaya itu, tapi ketika nama Benitez dan Liverpool tergabung dalam satu waktu, ingatan akan "Keajaiban di Istanbul" tampaknya akan selalu kembali teringat.
Bersama Liverpool, Benitez memang semakin dikenal dunia. Apalagi sampai sekarang, dengan pencapaian-pencapaian lainnya, pelatih berkebangsaan Spanyol tersebut masih memegang status sebagai satu-satunya pelatih yang pernah merasakan gelar juara Liga Champions, Liga Europa, Piala Super Eropa, dan Piala Dunia Antar Klub.
Liverpool sendiri, dari dua kali pertemuan menghadapi skuat asuhan Benitez, belum sekalipun meraih kemenangan. Pada dua pertemuan sebelumnya, saat Benitez menangani Chelsea dan Newcastle, Liverpool selalu dipaksa bermain imbang 2-2. Benitez sendiri kerap disambut bak pahlawan di Anfield, yang mungkin inilah menjadi penyebab pertemuan antara Benitez dan Liverpool selalu menjadi nostalgia tersendiri bagi "Keajaiban di Istanbul".
Kisah di atas terinspirasi dari apa yang dituliskan Jamie Carragher dalam otobiografinya, Carra: My Autobiograph.
Komentar