Mengenang Parma(lat), Mengingat Tanzi

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi 35408 Pilihan

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Mengenang Parma(lat), Mengingat Tanzi

Masalah finansial menimpa banyak tim Serie A dalam beberapa tahun terakhir. Namun tak ada yang lebih tragis dengan apa yang terjadi dengan AC Parma --kini Parma Calcio-, yang sempat menjelma menjadi salah satu klub dengan sederet prestasi.

Meski mengakhiri musim 2013/2014 di posisi enam, Parma harus melewatkan hak tampil di kompetisi Eropa pada musim 2014/2015. Keputusan tersebut didapat Parma setelah Il Gialloblu terbukti tak membayar pajak dan tak membayar gaji beberapa pemain dan staf.

Bahkan, selain haknya itu dicabut (diberikan pada Torino yang finis di bawah Parma), Parma yang ketika itu dilatih Roberto Donadoni dijatuhi hukuman denda sebesar 5.000 euro. Plus, mereka pun harus memulai musim ini dengan minus satu poin.

Setelah menerima hukuman-hukuman tersebut, masalah Parma belum tuntas sepenuhnya. Bahkan setelah tongkat kepemimpinan klub beralih dari Tommaso Ghirardi ke Ermir Kodra, nasib Parma masih berada di ujung tanduk. Parma akhirnya dinyatakan bangkrut pada 2015 setelah kembali berganti kepemilikan dan tertendang ke Serie D sebagai hukumannya.

Masa Jaya Parma

Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Serie A pada 1990/1991, Parma muncul dengan kekuatan yang mengerikan. Di bawah asuhan pelatih legendaris Italia, Nevio Scala, sejumlah trofi berhasil diraih Parma pada beberapa tahun berikutnya.

Dimulai dari menjuarai Coppa Italia pada 1991/1992, sampai menjuarai Piala UEFA, Super Eropa, dan Piala Winners pada periode 1992 hingga 1995. Di Serie A, mereka pernah menjadi runner-up di musim 1996/1997, hanya kalah 2 poin dari sang juara, Juventus.

Pada masa itu, tak mengherankan memang jika Parma menjelma menjadi salah satu kekuatan baru Serie A. Bagaimana tidak, saat itu Il Gialloblu diperkuat oleh nama-nama seperti Hernan Crespo, Fabio Cannavaro, Dino Baggio, Fernando Couto, Enrico Chiesa, Lilian Thuram, Juan Sebastian Veron, Gianfranco Zola, dan Hristo Stoichkov.

Skuat Parma pada 1999, dihuni para pemain terbaik dunia

Jika tak ada Parmalat, Parma tak mungkin bisa merekrut pemain-pemain tersebut. Ya, munculnya fenomena Parma pada awal 1990-an ini memang tak lepas dari mengorbitnya perusahaan penghasil susu tersebut.

Memimpin Parmalat sejak tahun 1961 saat usianya masih 22 tahun, Calisto Tanzi berhasil membuat Parmalat menguasai 50% pasar makanan Italia pada 1980 hingga 1990an. Saat itu Parmalat telah dikenal oleh pasar dunia. Perusahaan ini mempekerjakan lebih dari 36 ribu pegawai.

Di tahun 1991 ia memutuskan untuk membeli klub sepakbola lokal, Parma, yang saat itu baru saja ditinggal presiden Ernesto Ceresini yang meninggal secara tiba-tiba. Tak tanggung-tanggung, 98% saham Parma dibeli oleh Tanzi sebagai bukti passion-nya terhadap sepakbola Italia. Meskipun begitu, Giorgio Pedraneschi, anak Ceresini, masih memimpin Parma karena memiliki 2% saham.

Saat itu Parma masihlah sebuah klub kecil tanpa prestasi. Meski telah eksis sejak 1913, Parma belum pernah sekalipun tampil di Serie A, kompetisi tertinggi Italia. Parma menghabiskan masa lalunya dengan berlaga di Serie C dan Serie B.

Dengan gelontoran lira dari Tanzi-lah Nevio Scala, pelatih yang mengantarkan Parma promosi ke Serie A, cukup leluasa untuk menghadirkan pemain-pemain bintang dalam skuatnya. Akademi muda pun semakin disempurnakan sehingga Parma bisa menghasilkan pemain seperti Gianluigi Buffon dan Giuseppe Rossi.

Parma pun menggeliat dengan trofi demi trofi yang diraihnya. Dalam waktu yang singkat, 10 tahun sejak promosi, Parma berhasil meraih 3 Coppa Italia, 1 Serie A, 1 Super Coppa, 2 Piala UEFA, 1 Piala Super Eropa, dan 1 Piala Winners; 9 trofi dalam 10 tahun.

Atas raihan ini Italia pun memiliki tujuh klub yang tiap tahunnya bersaing untuk memperebutkan scudetto, trofi juara Serie A. Bersama AC Milan, Inter Milan, Juventus, AS Roma, Lazio, dan Fiorentina, Parma membuat Serie A mengenal istilah Sette Sorele atau Seven Sisters.

Namun pada tahun 2000, Hernan Crespo yang menjadi favorit Parmagiani, sebutan untuk pendukung Parma, dijual ke Lazio dengan nilai transfer 35,5 juta poundsterling. Tahun berikutnya, lulusan akademi terbaik Parma, Gianluigi Buffon, hijrah ke Juventus dengan nilai transfer 32,6 juta pounds, menjadi kiper termahal dunia. Dan pada musim panas tahun 2003, Lilian Thuram mengikuti jejak Buffon dengan bergabung Juventus dengan nilai transfer 41,5 juta pounds. Tahun 2003 adalah tahun pertama Parma finis di luar peringkat enam sejak pertama kali promosi ke Serie A. Dan pada tahun tersebut pula awan kelabu mulai menutupi langit-langit kejayaan Parma.

Kebangkrutan Parmalat, Kemunduran Parma

Pada Desember 2003, terungkap bahwa Parmalat mengalami kesulitan melunasi utang pajak sebesar 150 juta euro. Hal ini membingungkan banyak pihak karena banyak ahli percaya jika Parmalat memiliki tumpukan uang senilai 3,9 miliar euro di akun Bank of America.

Awalnya pihak perusahaan mengatakan bahwa tak ada masalah serius dalam diri Parmalat. Mereka berusaha meyakinkan semua orang dengan mengatakan utang tersebut akan terbayarkan dalam waktu dekat. Namun tak lama kemudian, masih di bulan Desember, perusahaan mengatakan bahwa 3,9 miliar euro tersebut tak pernah ada.

Bersambung ke halaman berikutnya

Komentar