Halaman kedua
Nyatanya, transfer dari dan ke rekening pada akun Parmalat di Bank of America tersebut semuanya palsu. Selama ini Calisto Tanzi bersama dengan sejumlah keluarga dan eksekutif perusahaan melakukan penipuan dan penggelapan uang menggunakan rekening palsu ini. Untuk memuluskannya, mereka bekerja sama dengan Luca Sala, Kepala Perusahaan Keuangan Bank Of America di Italia.
Diteliti lebih jauh, nyatanya penipuan yang dilakukan Tanzi ini merupakan salah satu penipuan dengan rekening palsu terbesar di Eropa. Karena sebenarnya, utang pinjaman Parmalat terhadap Bank of America adalah 14,3 miliar euro, hampir empat kali lipat dari jumlah utang yang pertama kali terungkap.
Kreditor AS dengan cepat meluncurkan gugatan class action sebesar 10 miliar dolar. Pada Desember 2004, pemerintah Italia harus turun tangan dan untuk mempercepat selesainya kasus ini dengan undang-undang darurat mengenai proses perlindungan gaji, vendor dan kegiatan industri.
Alessandro Bassi, seorang pembantu Fausto Tonna, bunuh diri karena dinyatakan bersalah dalam kasus ini. Fausto Tonna sendiri merupakan direktur keuangan Parmalat selama 16 tahun, yang juga dikenal sebagai tangan kanan Tanzi. Pada 2008, Tonna mendapatkan hukuman 2,5 tahun penjara.
Masalah yang terjadi pada Parmalat tentu saja berpengaruh besar pada Parma yang 98% sahamnya dimiliki Parmalat. Pada tahun 2003 Parma mengumumkan kerugian operasi sebesar 77 juta euro. Mereka pun mulai mencari sponsor baru untuk menutupi hutang ini dan tetap bisa bertahan di Serie A.
Namun tak ada yang tertarik dengan kesebelasan yang berasal dari kota provinsi Parma ini. Keluarga Barilla yang memiliki dana segar yang menjadi target utama manajemen, tak tertarik untuk mengambil alih klub. Pembeli lain pun tak kunjung tiba. Klub pun dinyatakan akan segera pailit.
Untungnya Parma berhasil menemukan celah agar mereka bisa terus bersaing di Serie A. Lepas dari Parmalat, klub mengubah nama mereka dari AC Parma menjadi FC Parma. Perubahan ini ditujukan agar pendapatan televisi dari liga bisa mengalir ke klub. Parma pun masih bisa bernafas di Serie A.
Di tengah situasi klub yang kacau, para pemain sendiri tetap profesional dan fokus di lapangan. Pada musim 2004/2005, musim perdana tanpa Parmalat, di bawah tangan dingin pelatih Silvio Baldini, Parma berhasil melaju hingga babak semi final Piala UEFA.
Di saat yang bersamaan mereka harus tertatih di Serie A. Pada akhir musim Parma dan Bologna memiliki poin sama di papan bawah klasemen sehingga keduanya harus bermain pada laga play-off untuk menentukan siapa yang terdegradasi dari Serie A.
Parma cukup dilematis menghadapi situasi ini. Mereka harus memilih di antara fokus selamat dari degradasi atau mengejar trofi juara di Piala UEFA. Pada akhirnya, Baldini memilih memfokuskan anak asuhnya untuk bertahan di Serie A. Laga melawan CSKA Moskow pun dilepaskan dengan hanya menurunkan pemain cadangan pada leg kedua, leg pertama 0-0. Parma pun dijungkalkan dengan skor 3-0 pada leg kedua.
Awalnya rencana Baldini ini berjalan tak mulus. Kekalahan di Piala UEFA diikuti dengan kekalahan Parma dari Bologna pada leg pertama play-off degradasi dengan skor 1-0. Untungnya pada leg kedua, Alberto Gilardino dan Sebastian Frey bermain gemilang. Parma menang pada leg kedua dengan skor 2-0 meski bermain di kandang Bologna.
Sebastian Frey, kiper asal Prancis yang sempat menjadi andalan Parma
Keberhasilan Parma bertahan di Serie A kala itu hanya menunda mereka untuk turun ke Serie B. Karena dua musim berselang, musim 2007/2008, Parma benar-benar harus terdegradasi karena hanya mampu finis di urutan ke-19. Parma pun kembali ke Serie B setelah 18 tahun bertahan di Serie A.
Parma berhasil kembali ke Serie A setelah hanya semusim berlaga di Serie B. Bersama pemilik baru yang membeli Parma pada awal tahun 2007, Tommaso Ghirardi, Parma menjadi juara Serie B dan kembali di Serie A. Hanya saja saat itu Parma bukan lagi Parma era 90-an, mereka seolah menjadi kesebelasan pelengkap.
Parma mengalami pasang surut setiap musimnya. Terkadang bisa bertahan di papan tengah, di lain kesempatan terseok-seok nyaris terdegradasi. Finis di urutan enam pada musim 2013/2014 adalah prestasi terbaiknya sejak kasus yang menimpa Parmalat.
Namun Parma kembali didera krisis finansial. Ghirardi dan CEO klub, Pietro Leonardi, terkena hukuman 5 ribu euro karena tak sanggup melunasi utang pajak dan gaji pemain beserta stafnya. Mereka pun sempat dilarang aktif dalam sepakbola selama dua bulan. Puncaknya tentu perpindahan kepemimpinan yang tetap tak membantu tim sehingga Parma akhirnya bangkrut dan harus kembali merintis karier dari Serie D.
***
Orang yang telah membesarkan nama Parma, Calisto Tanzi, kini telah berusia 78 tahun dan menghabiskan waktunya di balik jeruji besi yang terkunci, menjalani masa hukuman 17 tahun penjara. Meski banyak pihak yang membencinya atas apa yang dilakukannya, bagi sebagian pendukung Parma ia tetaplah pahlawan. Ya, berkat perusahaan milik Tanzi, Parmalat, Parma (sempat) dikenal sebagai salah satu klub hebat di Italia.
Banyak orang yang kini hanya mengenal Parma sebagai sepotong kenangan manis dari masa lalu. Tapi bayangkan, kenangan macam apa yang melintas di kepala Tanzi di balik jeruji penjara.
Artikel ini mendapatkan sedikit pengubahan dari artikel yang lebih dulu diterbitkan di detiksport kolom About the Game. Ketika itu Parma sudah terancam degradasi. Saat artikel ini kembali ditulis, Parma berada di Serie B dan baru saja diakuisisi oleh pengusaha asal Tiongkok.
Komentar