Pertandingan El Clasico (Si Klasik) antara Barcelona dengan Real Madrid akan selalu panas apapun situasinya, meskipun saat keduanya akan bertemu akhir pekan nanti posisi klasemen keduanya terpaut agak jauh. Saat ini Barcelona berada di peringkat pertama klasemen sementara La Liga 2017/2018 dengan raihan 42 poin. Angka tersebut unggul 11 poin dibandingkan Madrid di peringkat empat.
Tapi bagi El Clasico, kemenangan adalah harga mati bagi masing-masing kesebelasan tersebut tanpa melihat posisi di klasemen. Pertandingan El Clasico merupakan rivalitas antar kota terbesar di dunia. Pertarungan ini membawa ketegangan politik dan budaya Spanyol antara wilayah Katalunya dengan Ibu Kota Spanyol.
Rivalitas antara dua klub itu tidak lepas dari dampak perang saudara Spanyol era kediktatoran Jenderal Francisco Franco pada 1939 sampai 1975. Ketika itu, sifat-sifat kedaerahan Katalunya terus dibungkam oleh Franco baik secara verbal dan non verbal.
Seiring melunturnya rezim Franco, pelan-pelan berbagai macam simbol bangsa Katalunya tidak cuma berani ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari, tak terkecuali dari tribun sepakbola. Tidak jarang tribun Stadion Camp Nou penuh dengan warna bendera merah-kuning Katalunya. Simbol-simbol dari pendukung Barcelona itu semakin kentara ketika menghadapi Real Madrid. Para rakyat Katalunya seolah ingin menunjukkan simbol kedaerahannya kepada Madrid yang notabene salah satu basis kekuatan Franco melalui sepakbola.
Ultras Nasionalis dari Ibu Kota Spanyol
Dendam kepada ketidakadilan Franco masih belum diterima sepenuhnya dalam waktu lama oleh pendukung Barcelona yang mewakili rakyat Katalunya. Referendum kemerdekaan agar lepas dari Spanyol pun terus dikampanyekan para rakyat Katalunya. Jika ditinjau dari segi politik, tentu saja Spanyol tidak ingin begitu saja melepas Katalunya.
Referendum yang terus diupayakan rakyat Katalunya sendiri dianggap mencoreng kedaulatan negara. Terutama bagi pendukung Madrid yang memiliki nasionalisme tinggi. Mereka yang ultra-nasionalis itu tentu membenci kaum separatis di Spanyol seperti yang dilakukan pendukung Barcelona.
Wajar karena para pendukung Madrid merupakan salah satu basis kekuatan dukungan kepada Franco. Alhasil paham ultra-nasionalis menjadi ideologi para pendukung Madrid yang sebagian membuat kelompok garis keras bernama Ultras Sur pada 1982. Pembentukan Ultra Sur karena ingin seperti para pendukung Sevilla yang mendirikan kelompok garis keras bernama Biris Norte pada 1975.
Nama Ultra Sur tidak lepas dari keberadaan mereka menghuni Fondo Sur (nama tribun Selatan di Stadion Bernabeu). Sementara itu, ideologi yang dianut Ultras Sur sama-sama menganut ideologi fasisme seperti Franco. Atas ideologi itu juga Ultras Sur memiliki relasi dengan suporter fasisme negara lainnya di Eropa, seperti dengan SS Lazio dan Hellas Verona (Italia), Olympique Lyonnais (Prancis), LKS Lodz serta Widze Lodz (Polandia) dan lainnya.
Keonaran pun sering dilakukan Ultra Sur. Salah satunya gestur-gestur fasisme yang secara gamblang ditunjukkan untuk eksistensi maupun menghina lawan di stadion. Seiring berjalan waktu, keonaran yang sering dilakukan Ultra Sur membuat risih para pendukung Madrid lainnya.
"Dalam aturan-aturan, mereka menolak untuk mengutuk rasisme dan kekerasan. Mereka menyabotase nyanyian, spanduk dan ini semua terjadi di dalam stadion. Bagaimana Anda bisa hidup melalui semua ini?" ujar Javier Marcos, salah satu koordinator Grade Fans RMCF seperti dikutip dari SB Nation.
Florentino Perez selaku Presiden Madrid pun sering dibuat kesal atas tekanan Ultras Sur kepada klubnya. Ultras Sur sering meminta jatah akomodasi laga tandang secara berlebihan. Padahal mereka sudah mendapatkan harga murah ketika bertandang karena subsidi dari pihak klub.
Ultras Sur dianggap sebagai bibit keonaran yang membentuk kekerasan kepada suporter muda. Alhasil jatah 6000 kursi yang dijaga sejak 1980-an dikurangi menjadi ratusan. Para pimpinan Ultras Sur yang dicap onar mulai dipenjara.
"Mereka menggunakan pisau, tongkat baseball... Orang-orang baru berpikir bahwa para pemimpin (generasi pendukung Madrid) tua sedang menghasilkan uang dari Ultras Sur. Setelah sengketa ini, Ultras Sur berada di bawah kendali dan menjadi lebih ganas," beber Marcos.
Para pemain Madrid pun dilarang terlalu dekat dengan Ultra Sur. Mungkin hanya Luis Figo, Iker Casillas dan Raul Gonzales sebagai generasi terakhir yang pernah berpose membentangkan syal Ultras Sur pada era 1990 sampai awal 2000-an.
Sampai pada akhirnya, rekam kekerasan dan ulah nyeleneh Ultras Sur membuat pihak klub memutuskan mencabut statuta tribun khusus di Fondo Sur pada Desember 2013. Beberapa akses kepada Ultras Sur pun ditutup pihak klub. Kendati demikian, aroma-aroma Ultras Sur masih terasa karena sebagian besar dari mereka menyebar ke seluruh tribun Bernabeu yang lain. Tentu saja di luar lapangan mereka masih terus melancarkan protes kepada direksi untuk mendapatkan jatah tribun khusus di Fondo Sur kembali seperti biasanya.
Salah satu bentuk protesnya adalah membuat grafiti-grafiti di berbagai penjuru kota sebagai bentuk penghinaan kepada Perez. Akses mereka di Fondo Sur berhasil didapatkan kembali sejak musim 2014/2015 dan berada di dalam pemantauan yang ketat dari panitia pertandingan.
Separatis Katalunya yang Terus Bertumbuh
Ketika Ultras Sur terbentuk, muncullah kelompok resmi dari suporter garis keras Barcelona bernama Boixos Nois pada satu tahun kemudian. Nama tersebut memiliki arti "anak-anak gila". "Gila" di sini berarti memberikan segala dukungannya kepada Barcelona. Slogan Boixos Nois adalah "Kesetiaan kepada Barcelona di atas segalanya".
Kalimat itu merupakan bentuk loyalitas kedaerahan karena Barcelona adalah salah satu identitas dari Katalunya. Maka bukan tanpa alasan bahwa Boixos Nois dan pendukung Barcelona lainnya merupakan separatis negara tersebut.
Berdirinya Boixos Nois tidak lepas dari pendukung Barcelona yang menganut subkultur skinhead neo-nazi dari Inggris dan Italia. "Britania selalu menjadi pengaruh bagi kami dan Italia sebagai penyempurna. Itu merupakan sesuatu yang lebih dari kelompok di Barca ini, disertai dengan koreografi yang besar," ujar salah satu anggota Boixos Nois yang dirahasiakan dalam buku Understanding Football Hooliganism: A Comparasion of Six Western European.
Namun paham neo-nazi Boixos Nois lebih bersifat kedaerahan Katalunya itu sendiri. Suporter Barcelona lainnya dibuat kagum kepada Boixos Nois karena sikap kritisnya kepada para pimpinan klub. Salah satunya ketika era kepresidenan Josep Luiz Nunez di era 1980-an sering diprotes karena menggaji pemain dengan harga murah.
Hanya saja kritisnya Boixos Nois sempat membuat beberapa pemain bintang Barcelona tidak betah sehingga membelot ke kesebelasan lain, bahkan ke kubu Madrid. Salah satunya seperti Bernd Schuster yang hijrah ke Madrid pada 1988. Di sisi lain, keberadaan Boixos Nois mulai membuat risih pendukung Barcelona lainnya seiring berjalannya waktu.
Boixos Nois tidak bisa menjaga sikapnya meskipun di Stadion Camp Nou banyak dihadiri anak kecil. Ucapan kasar yang sering dilontarkan Boixos Nois menjadi tiruan generasi para masa depan pendukung Barca di sana. Selain itu, para pendukung Barcelona yang ingin menonton laga dengan tenang di Camp Nou pun sering mengeluh perihal penggunaan suar (red flare) secara berlebihan dari Boixos Nois.
Belum lagi jika dihitung dengan tindak kekerasan Boixos Nois dengan kelompok pendukung kesebelasan lainnya. Bahkan sampai menuai korban dari kubu mereka sendiri karena ditikam anggota Brigadas Blanquiazules, Ultras Espanyol, hingga tewas. Tragedi itulah yang menjadi awal mula permusuhan satu kota di kawasan Katalunya kian meruncing sejak 1986.
Aksi balas dendam dari Boixos Nois pun baru terlampiaskan pada 1991. Saat itu Frederic Rouquier, anggota Brigadas Blanquizules, tewas ditusuk anggota Boixos Nois. Tahun berikutnya, giliran pendukung Real Zaragoza yang dibuat kocar-kacir oleh mereka. Beberapa anggota Boixos Nois berpakaian casual menyusup ke kubu LFN, Ultras Real Zaragoza, dan kemudian berkelahi ketika pertandingan berlangsung.
Pergerakan Boixos Nois pun semakin dibatasi karena dipasangnya kursi di Camp Nou untuk semakin mudah melacak para perusuh. Peraturan itu tidak lepas dari undang-undang UEFA pada 1993 silam. Lalu tahun berikutnya, seluruh suporter garis keras Barca dipindahkan ke tribun utara agar membuat penonton lain lebih nyaman menonton pertandingan di Camp Nou.
Dari situlah cikal bakal kelahiran beberapa suporter garis keras berskala kecil seperti Sang Cule, Almogavers dan Komando Flipper di tribun utara yang masih dalam garis keturunan dari Boixos Nois. Mereka juga terlibat dalam selundupan senjata dan perdagangan narkotika yang diadopsi dari pendukung sepakbola di Argentina.
Keberadaan Boixos Nois pun mulai dilarang di Stadion Camp Nou sejak Joan Laporta menjadi Presiden Barcelona pada 2003 silam. Himbauan itu dibalas Boixos Nois dengan mengecat rumah Laporta beserta ancaman pembunuhan. Ancaman itu membuat Laporta mengedarkan pencarian dengan imbalan uang bagi pelaku dari Boixos Nois yang mencoret-coret rumahnya itu.
Kendati dilarang eksis di Camp Nou, namun bukan berarti keberadaan mereka hilang seutuhnya. Boixos Nois tetap berada di tribun utara untuk lebih menyatu dengan Almogavers yang tidak kalah galak dengan pendahulunya itu. Bahkan mereka bergabung dengan Ultras AS Roma pada pertandingan final Liga Champions 2009 di Stadion Olimpico.
Saat itu Barcelona berhadapan dengan Manchester United (MU) dan koalisi antara Boixos Nois dengan Ultras Roma telah membuat kekacauan. Kerusuhan paling fatal pada saat itu adalah saat dua pendukung garis keras MU ditusuk oleh koalisi Boixos Nois dan Ultras Roma.
Komentar