“Kami tidak bisa mengakui bahwa kami menikmati pekerjaan kami di sini. Kami juga tidak bisa menampik fakta bahwa kami diperlakukan seperti binatang selama bekerja di sini. Tapi mau bagaimana lagi, keluarga kami begitu bergantung pada pekerjaan kami. Jadi, kami harus bertahan. Mungkin seperti itulah nasib kami.”
Ucapan tersebut keluar dari mulut Mahir kepada media Inggris, The Independent. Mahir adalah seorang buruh asal Bangladesh yang telah bekerja di Qatar sejak tahun 2015. Ia bekerja untuk sebuah perusahaan bernama Nakheel Landscapes, yang merupakan subkontraktor di sebuah bandara bernama Hamad International Airport. Bandara ini merupakan basis utama dari sebuah perusahaan maskapai penerbangan Qatar Airways.
Sejak terpilih menjadi tuan rumah untuk ajang Piala Dunia 2022, Qatar banyak berbenah di pelbagai sektor, salah satunya adalah bandara. Kegiatan ini membuat Qatar menerima banyak buruh migran dari berbagai negara. Saat ini, tercatat ada lebih dari dua juta buruh migran yang bekerja di Qatar.
Namun tragisnya, berdasarkan catatan Human Rights International, para buruh migran tersebut mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari majikannya. Seperti yang diungkapkan Mahir, buruh migran di sana diperlakukan seperti binatang; setiap hari mereka harus bekerja selama 12 jam. Selain jam kerja sepanjang itu, mereka hanya mendapat jatah libur sehari setiap minggunya.
Dengan beratnya beban kerja itu, setiap tahunnya selalu ada buruh yang meninggal dunia karena beratnya beban kerja dan penganiayaan yang mereka terima. Berdasarkan catatan Human Rights Watch, pada 2012 ada 520 pekerja dari tiga negara (Bangladesh, India, Nepal) yang meninggal di Qatar.
Mahir menceritakan, banyaknya buruh migran tertarik datang ke Qatar karena awalnya diiming-imingi gaji besar oleh seorang agen perekrutan. Namun kenyataannya, mereka mendapatkan gaji yang sangat rendah.
“Kami digaji 650 riyal sebulan. Sebelum kami datang, kami dijanjikan gaji 2000 riyal, tapi ternyata itu bohong. Para pekerja di sini telah ditipu oleh agen yang menjanjikan gaji besar," ujar Mahir.
Seorang anggota organisasi Migran-Rights di Qatar, Vani Sarashwati, mengungkapkan bahwa gaji untuk buruh migran di Qatar disesuaikan dengan kekuatan mata uang di negara mereka masing-masing. Vani menyebut sistem gaji seperti ini didasarkan atas prinsip yang rasis.
Penyataan Vani diamini oleh Billy, seorang pemimpin komunitas orang Filipina di Doha. Ia mengaku muak dengan pemberlakuan sistem gaji tersebut.
“Itu memuakkan. Para pekerja diperlakukan berbeda berdasarkan negara asal mereka. Pekerja dari Nepal dan Bangladesh mendapatkan yang terburuk. Banyak dari mereka diperlakukan seperti mesin atau binatang. Sama halnya dengan orang Afrika. Mereka telah datang berbondong-bondong selama beberapa tahun terakhir, dan diperlakukan dengan sangat buruk. Orang-orang Nepal mendapatkan bayaran lebih sedikit daripada orang Filipina, orang Filipina lebih sedikit dari orang India, dan orang India lebih rendah bayarannya dari orang kulit putih Eropa dan Amerika Utara,” tutur Billy.
Selain masalah upah, yang menjadi sorotan juga adalah pemberlakuan sistem kafala. Sistem ini membuat seorang buruh tergantung sepenuhnya pada majikan. Dalam praktiknya, sistem kafala persis seperti perbudakan. Salah satu turunan dari sistem kafala ini adalah pemberlakuan visa keluar yang membuat seorang buruh harus mendapat izin majikannya terlebih dahulu jika ingin berhenti bekerja dan pulang ke negara asalnya.
Isu pelanggaran hak buruh migran di Bandara Internasional Hamad ini telah membuat Bayern Munchen—yang berencana menjalin kemitraan dengan Bandara Internasional Hamad pada akhir 2016—khawatir akan menjalin kemitraan dengan perusahaan yang bermasalah. Oleh karenya, sebelum kemitraan terjalin, Bayern ketika itu meminta Human Rights Watch untuk memberi tahu mereka perihal isu kemanusiaan yang sedang terjadi Qatar. Selain itu, Bayern juga meminta saran pada Human Rights Watch, tentang langkah apa saja yang mesti mereka ambil jika kemitraan dengan Bandara Internasional Hamad akhirnya terjalin.
Dalam sebuah surat balasan yang dikirim oleh Human Rights Watch kepada Bayern Munchen, mereka menjelaskan bahwa hubungan apa pun yang dilakukan oleh Bayern dengan otoritas Qatar, akan berpotensi menimbulkan risiko serius bagi reputasi klub. Hal ini mengingat Qatar yang memberlakukan sistem tenaga kerja yang begitu represif kepada buruh migran di sana. Selain itu, Human Rights Watch juga mengingatkan Bayern bahwa brand Bayern Munchen berpotensi akan turut tercemar jika kerja sama dengan Qatar tetap dilakukan.
Namun, apabila Bayern tetap ingin melakukan kerja sama dengan Bandara Internasional Hamad, Human Rights Watch menyarankan beberapa langkah yang bisa dilakukan Bayern untuk turut berkontribusi dalam menghapus sistem represif yang diderita buruh migran.
Yang pertama, Bayern harus turut aktif menyuarakan reformasi sistem tenaga kerja di Qatar. Kedua, Bayern harus melibatkan para buruh migran di Qatar pada setiap kegiatan klub saat berkunjung ke Qatar. Para buruh migran itu bisa dipekerjakan menjadi pekerja di hotel tempat tim menginap, atau menjadi pekerja yang mempersiapkan setiap fasilitas untuk latihan tim. Yang harus digarisbawahi dari itu semua, Bayern harus menjamin hak-hak mereka selama bekerja untuk tim.
Tak lama setelah menerima saran dari Human Rights Watch tersebut, Bayern akhirnya menjalin kesepakatan dengan Bandara Internasional Hamad yang berlangsung hingga 2023. Direktur pemasaran Bayern, Andreas Jung, mengaku sangat bahagia dengan terjalinnya kerja sama ini.
“Qatar Aiways akan membuka rute penerbangan dan membuka peluang baru di pasar Asia dan Amerika. Ini sesuai dengan orientasi internasional kami. Strategi akan saling menguntungkan untuk kami,” tutur Jung.
Setelah kerja sama tersebut terjalin, The Independent mengirim surat kepada Bayern yang intinya ingin memastikan, apakah Bayern sudah melaksanakan setiap saran yang diberikan oleh Human Rights Watch setelah mereka mencapai kesepakatan dengan Bandara Internasional Hamad?
Usai beberapa hari tanpa jawaban, akhirnya Bayern membalas surat itu. Diterangkan bahwa setiap pernyataan dalam surat balasan itu, berasal dari Presiden klub mereka, Karl-Heinz Rummenigge. Alih-alih jawaban atas pertanyaan yang didapat, dalam surat itu Bayern hanya membela diri dengan berbagai dalih yang intinya menjelaskan bahwa tujuan mereka menjalin kemitraan dengan Bandara Internasional Hamad, hanyalah untuk menjaga stabilitas ekonomi klub.
Nicholas McGeehan, seorang pemerhati isu-isu kemanusiaan di Negara-negara Teluk, mengaku tak habis pikir dengan balasan yang dikirimkan oleh Bayern.
“Ini tragis. Bagi saya, ini menunjukkan bahwa Bayern tidak tertarik melakukan hal yang benar dan mereka hanya tertarik pada uang. Saya percaya ini akan membuat banyak dari pendukung mereka, apalagi yang memperhatikan isu-isu sosial, marah,” jelas McGeehan.
Apa yang diutarakan oleh McGeehan, benar terjadi. Pada saat Bayern bertanding menghadapi Werder Bremen di Allianz Arena (21/1) lalu, kelompok suporter ultras bernama Red Pride membentangkan sebuah spanduk yang bernada sindiran untuk Presiden klub Bayern, Karl-Heinz Rummenigge.
Dalam spanduk tersebut, terpampang pula gambar wajah Rummenigge yang kedua matanya diganti dengan buah tomat. Digantinya mata dengan buah tomat adalah cara orang Jerman menyindir kepada seseorang yang gagal melihat sesuatu yang sebenarnya jelas di depan mata. Dalam hal ini, mereka menyindir Rummenigge karena tak mampu melihat apa yang jelas-jelas terjadi di depan mata—buruh migran yang masih menderita di Qatar.
Sikap abai Bayern Munchen terhadap kasus ini bisa dibilang cukup mengejutkan, mengingat sebelum-sebelumnya Bayern sangat aktif berpartisipasi dalam isu-isu kemanusiaan. Seperti yang mereka lakukan pada 2015, ketika Bayern membangun kamp latihan sepakbola untuk para pengungsi Suriah yang mencari aman di Jerman. Tidak hanya itu, Bayern juga menyumbangkan donasi sebesar satu juta euro, menyediakan makanan, mengirim peralatan-peralatan olahraga, dan memberikan pengajaran bahasa Jerman kepada pengungsi.
"Bayern melihat ini sebagai tanggung jawab sosial yang harus kami penuhi," ujar Rummenigge ketika itu kepada BBC.
Tentunya, apa yang dilakukan Bayern saat itu sangatlah terpuji. Citra Bayern sebagai klub sepakbola juga akan terdongkrak; mereka akan diingat tidak hanya karena prestasi-prestasinya, tapi juga karena kontribusi mereka pada kemanusiaan.
Namun ingatan dan citra baik itu kini perlahan luruh seiring sikap abai yang ditunjukkan Bayern atas kasus eksploitasi buruh di Qatar. Bayern sedang menghancurkan reputasi mereka sendiri. Dan ketika Bayern dengan tidak sadar sedang menghancurkan citra mereka sendiri, hanya suporter merekalah satu-satunya yang berusaha membuat klub kesayangannya tetap waras.
Komentar