Baru 33 kali Malaga CF menjalani pertandingan La Liga 2017/2018, mereka sudah dipastikan terdegradasi. Malaga menempati posisi juru kunci dan di lima laga tersisa mereka sudah terpaut 17 poin dari posisi 17 yang menjadi zona aman degradasi. Kenyataan ini terbilang pahit bagi kesebelasan yang awalnya digadang-gadang akan menjadi kekuatan baru di Spanyol tersebut.
Pada 2010, para pendukung Malaga menyambut hangat kehadiran Sheikh Abdullah bin Nasser Al-Thani. Pengusaha asal Qatar itu datang sebagai Presiden baru Boquerones setelah mengakuisisi saham terbesar klub dengan mahar 36 juta euro. Sang Sheikh pun dianggap sebagai pahlawan dan begitu dihormati para partisan Malaga karena sebelumnya klub tersebut mengalami krisis finansial.
Al-Thani berstatus sebagai salah satu orang terkaya di Qatar. Uang yang mengalir ke kantungnya berasal dari berbagai bisnis di bidang perhotelan, otomotif, hingga pusat perbelanjaan. Selain itu, ia juga merupakan Wakil Presiden dan pemilik saham di Doha Bank, Qatar.
Melalui kekayaannya itu, Al-Thani diharapkan mampu menjadikan Malaga layaknya Manchester City, yang menjelma sebagai salah satu kekuatan besar di Liga Primer Inggris setelah diakuisisi pengusaha asal Timur Tengah. Maka tak heran ketika Al-Thani berinvestasi di Malaga, banyak pihak menganggap bahwa dirinya bisa menjadikan Boquerones sebagai pendobrak dominasi Real Madrid dan Barcelona di La Liga.
"Ini akan memakan waktu, tetapi tujuan kami adalah untuk Malaga menjadi salah satu tim terbesar di Spanyol," kata Al-Thani pada Oktber 2010, dilansir dari Arab News.
Pada musim 2010/11, Al-Thani mulai membangun mega proyek untuk mengubah status Malaga dari kesebelasan medioker menjadi klub yang disegani di Spanyol. Menunjuk Jesualdo Fereira sebagai manajer adalah langkah awal. Fereira merupakan pelatih yang sukses mengantar FC Porto menjuarai Liga Portugal dalam tiga musim beruntun.
Akan tetapi Ferreira gagal memenuhi ekspektasi Al-Thani lantaran Malaga terseok di paruh musim pertama. Bahkan kala itu terdampar di zona degradasi. Tak mau ambil pusing, Ferreira lantas dipecat dan digantikan Manuel Pellegrini yang sebelumnya membesut Real Madrid. Tak sampai di sana, pada jendela transfer musim dingin 2011, Malaga mendatangkan Enzo Maresca, Martin Demichelis, serta Julio Baptista. Perombakan besar itu membuahkan hasil. Perlahan namun pasti, Boquerones bangkit dan mengakhiri musim 2010/11 di peringkat ke-11.
Al-Thani kemudian semakin bernafsu untuk menjadikan Malaga sebagai kesebelasan sukses di Spanyol. Menjelang bergulirnya musim 2011/2012, ia menyuntikkan dana besar agar Pellegrini bisa membeli pemain yang sesuai dengan kebutuhannya. Nama-nama seperti Ruud Van Nistelrooy, Joris Mathijsen, Isco, Monreal, Jeremy Toulalan serta Joaquin Sanchez didatangkan.
Dengan skuat yang lebih memadai, Malaga bertekad menembus putaran final Liga Champions di musim 2012/13. Target tersebut tercapai setelah di akhir musim mereka berhasil menduduki posisi ke-4 klasemen akhir La Liga. Tapi setelah keberhasilan tersebut, Malaga mulai mengalami masalah keuangan.
Beberapa pemberitaan di Spanyol mengabarkan bahwa kala itu gaji para pemain mengalami keterlambatan. Otoritas sepakbola Spanyol kemudian memberi sanksi larangan terlibat di bursa transfer kepada Malaga sebelum semua hak pemainnya dipenuhi. Tapi hal itu justru membuat Malaga melego tiga bintang mereka; Cazorla, Monreal, dan Salomon Rondon pada musim panas 2012 untuk menutupi keterlambatan gaji pemain.
Walau ditinggal tiga pilar andalannya di musim lalu, Malaga tetap menunjukkan kapasitasnya sebagai kesebelasan tangguh. Di Liga Champions, mereka bisa melaju hingga babak perempat final sebelum akhirnya ditaklukan Borussia Dortmund. Sementara di La Liga, mereka mengakhiri musim 2012/13 mengakhiri kompetisi dengan menduduki posisi ke-6, yang artinya mereka masih bisa tampil di Liga Europa.
Meskipun begitu Malaga tidak bisa berkompetisi lagi di Eropa. Masalah keuangan yang dialami semakin akut hingga memaksa UEFA memberi sanksi larangan bagi Boquerones tampil di kompetisi yang berada di bawah naungan UEFA selama dua musim (kemudian di revisi menjadi satu musim saja).
Hutang yang menumpuk menjadi penyebab krisis finansial yang dialami Malaga. Kabarnya, klub asal Andalusia itu terlilit utang sebesar 130 juta euro kala itu. Sebagai langkah penyelamatan, para petinggi klub pun melobi beberapa perusahaan yang bisa membantu menstabilkan kondisi keuangan tim. Mereka sempat hampir menjalin kerja sama dengan BlueBay Hotels yang berbasis di Marbella. Tapi ketika kesempatan hampir rampung, Blue Bays menarik diri dari kesepakatan.
Mau tidak mau, untuk mencicil utang yang menumpuk, Malaga kemudian melego banyak pemain bintangnya sebagai langkah penyelamatan. Tak hanya itu, Pellegrini juga ikut pergi setelah menerima pinangan Manchester City.
Bisa dibilang itulah awal dari keruntuhan imperium Malaga di bawah rezim Al-Thani. Alih-alih menjadi pesaing potensial bagi Madrid dan Barcelona, Boquerones malah terperosok. Mereka tak lagi bisa jor-joran di bursa transfer.
Situasi Malaga tidak seperti Manchester City atau Paris Saint-Germain yang terus dimodali oleh pemilik mereka yang berasal dari Timur Tengah. George Pior, reporter dari surat kabar Sur berpendapat bahwa merosotnya jumlah uang yang dikeluarkan Al-Thani kepada Malaga bukan karena ia bangkrut, tapi gairahnya untuk membangun Malaga sebagai kesebelasan sukses telah memudar lantaran minimnya perhatian dan dukungan dari pemerintah maupun otoritas sepakbola setempat.
"Faktanya bahwa Malaga tidak mendapatkan hak-hak TV yang mereka inginkan. Ada desas-desus bahwa dia [Al-Thani] kehilangan minat karena kurangnya urgensi dari pihak berwenang Spanyol berkaitan dengan proyek-proyek lainnya yang ingin ia canangkan seperti pembangunan hotel Marbella, pelabuhan Marbella, akademi sepakbola yang ingin ia dirikan dan luncurkan di Malaga. Ini membuatnya frustrasi,” katanya, dilansir dari CNN.
Sejak Al-Thani tidak lagi memaksimalkan potensi bisnisnya di Malaga, untuk mestabilkan keuangan klub, Malaga mulai banyak mendatangkan pemain muda yang suatu saat bisa mereka jual dengan harga tinggi. Upaya tersebut sejatinya membuat Malaga bisa meraup keuntungan lebih.
Dilansir dari Marca, pada Desember 2017 lalu, Malaga sebenarnya memiliki keuntungan 75,79 juta euro di akhir musim 2016/17. Jumlah tersebut belum termasuk keuntungan penjualan Pablo Fornals, Sandro Ramirez dan Ignacio Camacho di jendela transfer musim panas 2017 lalu.
Meski mendapat untung, utang klub masih belum terselesaikan. Di akhir Desember 2017 utang bersih Malaga meningkat dari dari 33,12 juta euro menjadi 34,9 juta euro. Itu belum ditambah dengan kewajiban pembayaran hasil pinjaman dari Nas Football sebesar 2 juta euro (jatuh tempo pada 30 Juni 2020). Selain itu, mereka juga memiliki pinjaman lain sebesar 184,975 euro yang berakhir pada 31 Desember 2019.
Sejak musim 2012/2013 sendiri utang yang menumpuk tersebut membuat Malaga tak lagi aktif di bursa transfer. Pada musim tersebut tak sepeser pun dikeluarkan manajemen dalam mendatangkan pemain (gratisan dan pinjaman). Setelah itu, biaya total biaya transfer Malaga per musim tak pernah lebih dari 11 juta euro, bahkan hanya 1,5 juta euro pada 2014/2015. Karenanya tak heran kekuatan Malaga semakin tergerus setiap musimnya.
Kemunduran tersebut membuat sikap suporter berbalik benci kepada Al-Thani yang awalnya dipuja bak raja. Apalagi setelah mereka mengetahui bahwa Al-Thani beserta putra-putranya yang masuk dalam jajaran staff direksi Malaga justru mewacanakan kenaikan gaji para petinggi klub (yang berarti termasuk mereka).
Pada Januari 2018, kelompok suporter Malaga mulai menuntut agar Al-Thani mundur dari jabatannya sesegera mungkin. Kepada Sur, pemimpin federasi suporter Malaga, Miguel Molina, mengatakan, "Sheikh membawa kami ke surga, tetapi kemudian dia malah membawa kami ke neraka."
Foto: Sport English
Komentar