Mengambil tempat di Hotel Sofitel Nusa Dua, Bali, PSSI mengadakan kongres tahunannya pada Minggu, 20 Januari 2019. Secara keseluruhan, selain para pengurus pusat PSSI, hadir pula para pemilik suara yang juga anggota PSSI dalam hajatan kali ini. Mereka adalah wakil dari Asosiasi Provinsi (Asprov) serta kesebelasan dari Liga 1 sampai Liga 3.
Dalam kongres tersebut, kabarnya ada tiga hal utama yang akan dibahas yaitu laporan program kerja tahun 2018, laporan keuangan tahun 2018, dan merancang rencana kerja PSSI untuk tahun 2019. Bahkan seperti yang diungkapkan salah satu Komite Eksekutif PSSI yang juga Chief Executive Officer (CEO) PSIS Semarang, Yoyok Sukawi, kepada JPNN, kongres kali ini digunakan pula oleh PSSI untuk membahas isu praktik pengaturan skor (match-fixing) di kompetisi sepakbola nasional yang jadi sorotan publik akhir-akhir ini.
"Pokok-pokok bahasan di kongres antara lain soal laporan program kerja dan keuangan di tahun 2018 serta rencana PSSI untuk tahun 2019. Kami juga siap membahas masalah pengaturan skor yang terus muncul belakangan ini", terang Yoyok.
Namun menariknya, di tengah kongres tahunan ini juga (entah sudah direncanakan sebelumnya atau memang diputuskan secara tiba-tiba), Edy Rahmayadi yang menjabat sebagai Ketua Umum PSSI sedari tahun 2016 lalu menyatakan mundur dari jabatannya. Pria berumur 57 tahun yang juga Gubernur Sumatera Utara itu lantas menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada para wakilnya yakni Iwan Budianto dan Joko Driyono. Joko sendiri kini mengemban status Pelaksana Tugas (Plt.) Ketua Umum PSSI.
https://twitter.com/panditfootball/status/1086831416325750784
Untuk kesekian kali, geliat yang terjadi di dalam tubuh PSSI kembali menyedot perhatian khalayak penggemar sepakbola dalam negeri. Ada yang merasa bahagia dengan keputusan Edy melepas salah satu jabatan yang ia emban, tapi ada juga yang pesimis bahwa sepakbola nasional akan membaik, sebab figur seperti Iwan dan Joko tetap bercokol di sana. Di mata publik, sepak terjang dua sosok ini lebih lekat dengan hal-hal negatif ketimbang sebaliknya. Pun begitu dengan pengikut setia keduanya.
Sudah menjadi rahasia umum kalau kebobrokan yang ada di tubuh PSSI selama ini disebabkan oleh tingkah polah mereka sendiri.
Alih-alih memperlihatkan keseriusan kerja supaya tata kelola sepakbola di negeri ini—baik dalam hal kompetisi, profesionalitas kesebelasan, pengelolaan tim nasional, pembinaan wasit, hingga program yang jelas bagi pembibitan pemain usia muda—usaha PSSI terbilang asal-asalan saja. Asal kompetisi jalan, asal kesebelasan-kesebelasan itu mau ikut kompetisi, asal timnas ikut kejuaraan, asal ada wasit yang bisa memimpin laga, dan asal-asal lainnya, semuanya bisa disulap sedemikian rupa agar masalah-masalah itu tidak tampak.
Apa yang mereka perbuat untuk sepakbola Indonesia lebih banyak berupa wacana semata. Sebagai contoh, kasus tewasnya suporter di stadion dan pembentukan Komite Ad Hoc Integrity (guna menyelesaikan skandal pengaturan skor), sampai saat ini tetap jadi wacana belaka.
Pelaku yang menewaskan almarhum Banu Rusman (pendukung Persita Tangerang) dan Haringga Sirla (suporter Persija Jakarta), juga masih menikmati udara bebas. Sementara usaha PSSI untuk mengusut kasus-kasus pengaturan skor juga terkesan tidak serius. Seolah-olah mereka enggan mengurai benang kusut skandal yang menjerat sepakbola nasional itu.
Lucunya lagi, ketika Satuan Tugas (Satgas) Anti-Mafia Bola bentukan Kepolisan Republik Indonesia melakukan penyelidikan dan penangkapan, nama-nama tidak asing yang kebetulan jadi pengurus PSSI (entah di daerah ataupun pusat) justru terciduk. Misalnya saja Dwi Irianto, Hidayat, Johar Lin Eng, dan Papat Yunisal. Bahkan seperti yang tengah ramai diperbincangkan akhir-akhir ini, sosok Iwan dan Joko juga bakal diperiksa polisi menyoal skandal pengaturan skor tersebut.
Sayangnya, di saat masalah-masalah itu melambung ke angkasa, kinerja buruk PSSI itu tidak akan disorot dan dikritik habis-habisan oleh kalangan suporter jika kesebelasan favorit mereka beroleh keuntungan. Misalnya saja saat kesebelasannya jadi kampiun. Namun saat kesebelasan kesukaannya dirugikan PSSI, barulah sikap kritis tersebut muncul dan lantang disuarakan. Sebuah sikap yang kudu diubah oleh para suporter bila ingin sepakbola Indonesia jadi lebih baik dalam arti sesungguhnya.
Indonesia Kacau di Negara Sendiri, Thailand dan Vietnam Gemilang di Piala Asia
Manakala sepakbola Indonesia terus diliputi masalah akibat ketidakberesan PSSI, sepakbola Thailand dan Vietnam justru dibakar rasa bangga. Penyebabnya apalagi kalau bukan keberhasilan timnas dari masing-masing negara menjejak fase 16 besar Piala Asia AFC 2019, menemani Australia—yang juga sebenarnya adalah anggota AFF. Hal ini seolah jadi penanda bangkitnya sepakbola Asia Tenggara, khususnya dari sepasang negara tersebut.
Padahal, iklim sepakbola di sana tidak begitu jauh dengan di Indonesia. Baik sepakbola Thailand maupun Vietnam sama-sama pernah (dan masih) terkendala tata kelola, entah di level asosiasi atau operator kompetisi. Kisah mismanajemen dan transparansi pengelolaan jadi hal yang begitu sering terdengar. Pun begitu dengan cerita-cerita muram terkait buruknya profesionalitas kesebelasan, kualitas wasit, sampai skandal pengaturan skor.
Tahun 2017 lalu, ada 12 orang (lima pesepakbola, dua orang pengadil lapangan, empat investor, dan satu orang pengelola kesebelasan) yang ditangkap pihak Kepolisian Thailand gara-gara terlibat skandal pengaturan skor. Sebuah bukti jikalau pengaturan selalu melibatkan orang-orang yang berkecimpung di dunia sepakbola itu sendiri.
"Saya sudah mendengar kasus-kasus pengaturan skor di sepakbola Thailand tapi selama ini tak ada penanganan serius tentang hal itu. Sampai akhirnya saya meminta bantuan pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan secara komprehensif. Pengaturan skor bak penyakit kanker yang berbahaya dan wajib disembuhkan. Hal itulah yang ingin saya singkirkan dari sepakbola Thailand", papar Soomyot Poompanmoung, Presiden FAT (federasi sepakbola Thailand), seperti dikutip dari The Nation.
Sementara di Vietnam, kesebelasan Vissai Ninh Binh dikeluarkan dari V-League (divisi teratas sepakbola Vietnam) oleh federasi sepakbola Vietnam (VFF) akibat keterlibatan 13 pemain mereka dan sang pemilik, Vu Manh Truong, dalam skandal pengaturan skor di tahun 2014. Tak cuma melibatkan laga-laga mereka di V-League, kasus itu juga membuat partai Ninh Binh di Piala AFC tahun tersebut ikut diselidiki. Saat ini, Ninh Binh hanya tinggal nama karena sudah bubar di tahun 2015 silam.
Baca juga: Berkaca kepada Sepakbola Vietnam
Satu hal yang bisa dicontoh dari Thailand dan Vietnam adalah keseriusan federasi mereka untuk menyelesaikan segala permasalahan yang ada.
Walau berbagai kasus yang mencoreng sepakbola mereka itu belum bisa dibersihkan secara total, tetapi kemauan untuk membuat sepakbola Thailand dan Vietnam jadi lebih sehat benar-benar patut diacungi jempol. Tak peduli jika itu mesti mengorbankan orang-orang di dalam tubuh federasi atau kompetisi itu sendiri. Sebuah preseden yang tampaknya susah dipraktikkan di Indonesia.
Andai Thailand dan Vietnam nanti sanggup mengukir cerita gemilang di Piala Asia 2019, publik pencinta sepakbola nasional tak sepatutnya cemburu.
Sederhana saja, pencapaian itu digapai keduanya dengan kerja keras dan keseriusan masing-masing federasi dalam membenahi sepakbolanya selama bertahun-tahun. Sedangkan kinerja PSSI masih berpegang teguh pada mazhab santai yang diselubungi ketidaksungguhan lantaran semuanya berputar untuk keuntungan mereka sendiri, bukan untuk sepakbola di negeri ini.
Komentar