Bulan Februari banyak menjadi kelabu bagi legenda sepakbola Inggris, Paul Gascoigne. Sepanjang hidupnya, Gascoigne berselimut problem kecanduan alkohol dan depresi perusak karier sepakbola gemilang. Februari 2008, dia diangkut polisi ke panti rehabilitasi karena kejiwaannya kadung berbahaya. Dua tahun kemudian, masih di bulan yang sama, lagi-lagi Gascoigne mesti diamankan kepolisian setelah terlibat keributan di sebuah bar.
Setelah berkali-kali direhabilitasi dan sembuh sementara waktu, Gascoigne kambuh lagi pada Februari 2013. Agennya, Terry Barker sampai putus asa karena Gascoigne membiarkan alkohol ambil alih hidupnya, sampai tidak ada lagi orang yang mampu menyelematkan selain dirinya sendiri. Sampai 2017, isu Gascoigne masuk-keluar pusat rehabilitas masih mengisi pemberitaan, bergantian dengan isu pelecehan seksual yang dia lakukan akhir tahun lalu.
Tindak indisipliner inilah yang membuat karier sepakbola Gazza—sapaannya—terseok-seok. Padahal, bisa dibilang dia poster boy sepakbola Inggris era 1990-an. Sejak memulai karier bersama Newcastle United pada pertengahan 1980-an, Gazza perlahan melahirkan fenomena Gazzamania menyoal kegembiraan publik atas kegeniusannya di lapangan hijau. Purna kariernya berhias momen-momen menguras antusiasme, ekses decak kagum bakat gemilang atau sesal ragam laku kontroversial.
Pihak Museum Sepakbola Inggris mendaku Gazza selaku ‘Pesepakbola Paling Berbakat di Generasinya’. Pemilik Newcastle kala dia bermain, Stan Seymour, menganggap Gazza hebat seperti George Best, tapi tanpa otak di batok kepala. Penulis Salman Rushdie menyebutnya sebagai pahlawan nasional yang membuat satu bangsa menangis pada tahun 1990. Merujuk air mata Gascoigne yang diganjar kartu kuning di laga semifinal melawan Jerman Barat, memastikan dia tidak bisa tampil di final meski akhirnya The Three Lions kandas juga via adu penalti.
Tangisnya di semifinal Piala Dunia 1990, sensasinya di Piala Eropa 1996, dan menjadi cult hero bagi banyak klub yang dia bela, berjalan seiring dengan kontroversi di dalam dan luar lapangan. Tindak indisiplinernya jelas bukan hanya membatasi torehan trofi, melainkan ihwal substansial soal jumlah penampilan. Bayangkan, hanya 51% laga liga yang dia jalani sepanjang karier.
Band Bernama Gascoigne
Bulan Februari yang lain, di tempat yang lain, dan Gascoigne yang lain. Kali ini Gascoigne bukan sosok tambun, pirang, badut sepakbola Inggris yang mengubur bakatnya dengan tindakan menyimpang. Melainkan tiga laki-laki di pertengahan usia 20-an, melarikan diri dari penat rutinitas pekerjaan dengan musik, dan menamai band mereka dengan ‘Gascoigne’. Tidak banyak band mau menamai diri mereka dengan nama pesepakbola, sekalipun musik dan sepakbola dua hal populer yang kerap seirama.
Gascoigne dari kiri ke kanan Alvi Ifthikhar (vokal/gitar), Zaka Sandra N. (drum), dan Dimaz Hafizhan (kanan). Foto: Dok. Gascoigne
Gascoigne digawangi Alvi Ifthikhar (vokal/gitar), Dimaz Hafizhan (bass), dan Zaka Sandra Novian (drum), mengusung aliran musik alternatif rock/college rock. Untuk pendengar Pavement, Silver Jews, Superchunk, dan Barefood, musik mereka familier. Terbentuk pada tengah tahun 2016, Gascoigne sudah merilis satu extended play (EP) Fagen Ain’t Fakin (2016) dan dua single pengantar debut album penuh tahun lalu. Rencananya, album penuh berjudul Bond Electric segera rilis tahun ini di bawah bendera label Anoa Records.
Paul Gascoigne pun sebetulnya punya kaitan dengan musik. Nama lengkapnya, Paul John Gascoigne terinspirasi dari dua personel The Beatles, Paul McCartney dan John Lennon. Dia menyanyikan ulang lagu berjudul ‘Fog on the Tyne (Revisited)’ (1990) yang melesat ke posisi kedua dalam tangga lagu Top 40 United Kingdom. Finis lebih tinggi daripada Inggris tahun itu.
Sedangkan Gascoigne, band Jakarta, punya drummer, Zaka, yang nyaris menjadi pesepakbola profesional, seandainya tidak mengalami cedera parah. Kecintaannya kepada sepakbola dia alihkan kepada musik dengan band ini dan label bernama Leeds Records yang sempat dia kelola mengambil nama klub Leeds United. Alvi, penggagas proyek musik ini juga sempat membuat band bernama Mutombo (Dikembe Mutombo, pebasket NBA legenda Denver Nuggets). Dia sempat menikmati masa emas Gascoigne yang perlahan menurun saat membela Middlesbrough (1998-2000).
Ketika berbicara sepakbola. Zaka yang paling vokal. Ketika berbicara Gascoigne sebagai band, Alvi yang bercerita sebagai bentuk tanggung jawab. Sedangkan Dimaz, memungkinkan permainan tagar https://twitter.com/AdaaaGaTuh">#AdaGaTuh di Twitter bersemi kembali, karena “Ada enggak tuh, satu personel band kalo diwawancara banyak diam, tapi sekalinya ngomong paling kocak? #Adaaa”. Pandit Football menemui mereka pada awal Februari ini di sebuah mal dekat halte TransJakarta bernama gelanggang olahraga, terdapat Hall Basket kandang Pelita Jaya, dan di tengah kontes binaraga ramai laki-laki pamer otot kekar.
Kami berbicara tentu saja soal Paul Gascoigne, bagaimana mereka menamai band, lagu cinta di album baru, kaitan sepakbola-musik, upaya menghilangkan trauma setelah cedera parah, dan sedikit panduan kencan. Berikut petikan obrolannya:
Pertanyaan paling dasar: Mengapa band ini bernama Gascoigne? Dalam sebuah wawancara, katanya karena mencari nama yang pas dan satu kata. Namun boleh dong, saya tidak percaya begitu saja?
Alvi: Sebenarnya itu tidak salah juga. Saat memikirkan, kayaknya tidak enak nama dua kata. Inginnya satu, pas dan tidak terlalu umum. Gue juga tahu kalau Gascoigne seorang pemain bola. Sebenarnya ada dua sumber penamaan. Pertama, nama pemain bola. Satu lagi dari gim PS4, Bloodborne, karakternya bernama Father Gascoigne.
Sebenernya gue juga tahu sedari lama, Gascoigne itu pemain bola. Cuma gue enggak tahu apa karena saat buat band baru main gim itu atau bukan. Pas juga, sebelumnya nama band gue nama pemain basket. Nanti kalau ada yang lain, mungkin nama olahragawan lagi.
Dimaz: Susi Susanti!
Zaka: Taufik Hidayat! Itupun nama Gascoigne dicetuskan, setelah latihan beberapa kali. Setelah latihan di Tebet dan mau rilis single pertama, akhirnya dipilih Gascoigne.
Apakah sebelumnya ada nama pesepakbola yang ingin dipilih?
Zaka: Sempat, tapi kayaknya terlalu jelek dan biasa saja. Gue lupa namanya apa. Bambang Pamungkas kayaknya.
Apakah kalian menyaksikan karier Gascoigne?
Zaka: Gue enggak pernah, hanya lewat highlight atau profilnya saja. Gue kenal Gascoigne saat bermain gim SEGA.
Alvi: Kalau gue saat berumur sembilan atau sepuluh tahun sempat tahu Gascoigne. Dia main di Middlesbrough nomor delapan. Main di Inggris nomor delapan juga, kan? Paling ingat saat berseragam merah Middlesbrough.
Menurut kalian, Gascoigne tipikal pemain seperti apa?
Alvi: Gascoigne agak mirip Roy Keane, gitu enggak, sih? Arogan dan temperamen, tapi kita enggak seperti itu karakternya. Gue memang suka pemain berposisi midfielder. Gue suka pemain yang suka mengatur permainan dengan bola di kakinya.
Zaka: Intinya, Gascoigne tanpa Gary Lineker seperti Manchester City tanpa raja Arab (UEA)! Gascoigne penyuplai bola untuk Lineker.
Apa momen terbaik karier Gascoigne?
Zaka: Saat mendapat kartu kuning melawan Jerman di semifinal Piala Dunia 1990. Dia menangis, karena kalau Inggris menang dia tidak bermain di final. Pada akhirnya Inggris tetap kalah adu penalti 4-3. Mungkin juga saat dia mengganjar kartu kuning wasit (Douglas Smith) habis itu malah diberi kartu kuning. Saat dia main di Glasgow Rangers yang menang 7-0 atas Hibernian (1995).
Apa gol terbaik Gazza?
Zaka: Saat mencetak gol lawan Skotlandia di Piala Eropa 1996.
Karier Gascoigne dipenuhi tindakan indisipliner, khususnya kecanduan alkohol. Perilaku yang tampaknya lebih dekat dengan citra seorang rockstar. Bagaimana tanggapan kalian sebagai anak band?
Alvi: Mungkin bagi beberapa orang justru itu part of the charm seorang Gascoigne. Kalau kita, sih, orangnya enggak aneh-aneh. Tidak seperti itu.
Zaka: Kita straight edge, bro. Haha... Enggak ada yang merokok dan minum alkohol. Kita bertolak belakang dengan Gascoigne.
Apakah kalian setuju Gascoigne pesepakbola terbaik sepanjang masa Inggris?
Alfi dan Zaka: Iya!
Dimaz: Kalau gue tahunya David Beckham doang...
Ada alat kelamin Gascoigne diremas Vinnie Jones di tengah laga Newcastle versus Wimbledon tahun 1988. Kira-kira bagaimana rasanya, ya?
Alvi: Ini Vinnie Jones yang sekarang main film, ya? Dia main di Snatch (2000) dan Lock, Stock and Two Smoking Barrels (2000). Kayaknya Gascoigne santai-santai saja diremas. Mungkin karena kelakuannya mirip, jadi dia paham kelakuannya Vinnie Jones.
Dimaz: Vinnie Jones memang gokil, sih! Mukanya Gascoigne agak senang, tuh.
Ada tiga kelakuan ngehe yang Gazza yang ingin gue kemukakan untuk kalian pilih mana. Pertama, ketika membela Lazio, dia berkenalan dengan pemilik klub Sergio Cragnotti dan berkata, ”Anak perempuanmu, payudara besar”. Lalu, pura-pura mengganjar wasit kartu kuning di laga versus Hibernian. Terakhir, saat latihan Inggris menghadapi Norwegia tahun 1992, Gazza berteriak ke kamera, “F*ck off Norway!”. Mana yang paling menyebalkan?
Alvi: Kasih kartu kuning ke wasit! Enggak ada lagi yang seperti itu.
Dimaz: Kalau gue nomor satu. Berani juga, ya?
Zaka: Sudah gue duga lu pilih itu.
Gazza pernah menyanyikan lagu ‘Fog on The Tyne’ yang tembus posisi dua tangga lagu Top 40 UK tahun 1990. Apa reaksi kalian setelah mendengarnya?
Zaka: Kenapa enggak jadi lagu resmi Piala Dunia 1994? Lebih baik lagunya Gascoigne daripada lagunya Ricky Martin – Livin’ La Vida Loca.
Dimas: Kenapa enggak jadi lagu gim FIFA?
Oh iya, ngomong-ngomong apa tim sepakbola favorit kalian?
Zaka: Juventus dan Liverpool.
Alvi: Kalau gua nonton kadang-kadang, tidak seperti Zaka setiap pertandingan nonton. Kalau gue Bayern München dan Timnas Jerman. Tujuh puluh persen pemain yang gue suka pemain Jerman. Pemain favorit gue sekarang Thomas Müller.
Dimaz: PSMS! Kampak!!! Haha... soalnya gue juga enggak nonton bola, sih.
Untuk Dimaz, apa sih yang orang yang tidak suka bola lakukan saat masa-masa sibuk sepakbola seperti Piala Dunia atau final Liga Champions? Ada panduan?
Main gim, nonton YouTube, dan melakukan apa yang seperti gue lakukan di hari-hari biasa. Kalau teman mengajak nonton Piala Dunia, ya sudah gue juga ikut. Pokoknya tim manapun yang buat gol gue bersorak.
Alvi pernah buat proyek band bernama Mutombo (diambil dari nama Dikembe Mutombo, legenda NBA/Denver Nuggets) dan Zaka juga sempat punya label Leeds Records berdasarkan klub Leeds United. Memangnya seberapa sporty kalian?
Zaka: Gue seminggu sekali main sepakbola. Setiap Rabu.
Alvi: Gue jarang, tapi paling main basket meski tidak sesering itu.
Dimas: Saat kuliah, gue pernah ikut Liga Flag Football di Bandung. Sekarang sudah gendut tidak pernah olahraga.
Zaka pernah jadi pesepakbola junior. Berhenti menekuni secara serius karena patah tangan. Boleh diceritakan?
Gue patah tangan saat kelas dua SMP. Ceritanya memang terlalu panjang, tapi ayah gue pernah main bola bareng Sutan Harhara di Persija junior, kandangnya masih di Lapangan Banteng. Dulu memang didorong banget untuk masuk sekolah sepakbola. Sampai benar-benar difokuskan untuk bermain bola.
Pernah masuk SSB Jasa Marga di kawasan Halim Perdanakusuma. Saat SMP kelas 2 mengikuti kejuaran antarsekolah memeriahkan 17 Agustus. Di situ tuh gue patah tangan kiri, terus di-gips sampai hampir setahun. Setelah itu gue trauma, sih, bermain bola. Kalau melihat pemain bola atau siapapun patah tangan, gue kayak trauma gitu sih. Misalnya saat tahu Djibril Cisse dan Eduardo Da Silva patah kaki, sebenernya gue enggak mau main bola lagi.
Posisi gue gelandang tengah, mirip Gascoigne.
Ada saran untuk pemain junior seandainya saat ini tengah mengalami momen sulit karena cedera parah?
Selagi tidak trauma, sebaiknya diteruskan saja. Gue susah menghilangkan trauma, meskipun akhirnya bermain sepakbola lagi saat SMA kelas dua. Tiga tahun setelah kejadian.
Tahun ini merilis album debut pertama, bakal seperti apa?
Alvi: Nama albumnya Bond Electric. Berisi 10 lagu. Rencana rilis bulan Maret dan April tahun ini. Kami mengerjakannya hampir setahun, mulai rekaman akhir 2017. Namun benar-benar aktif rekaman tahun 2018. Kami rekaman dibantu produser dan mixer, Yehezkiel Tambun (The Cottons/Jude). Kita rekaman di Kandang Studio.
Sebenarnya mungkin kalau dari proses rekaman tidak lama, tapi Yehezkiel memang hanya bisa melakukannya hari Sabtu. Itupun ada satu bulan yang hanya dua kali. Karena kita enggak mengejar apa-apa, jadinya hampir lebih setahun baru kelar. Sekarang baru kelar mixing, tinggal mastering, bikin artwork album, dan hal semacamnya. Kali ini dirilis Anoa Records.
Sebelumnya untuk EP Fagen Ain’t Fakin’, kalian merilis mandiri tanpa bantuan label. Tantangannya pasti sulit, ya?
Alvi: Iya, susah. Gue, kan, baru ngeband sampai rilis fisik di Gascoigne. Awalnya ingin mencoba rilis sendiri. Zaka juga sebetulnya punya label Leeds Records, tapi ternyata bingung juga. Gue ingin melewati prosesnya, tapi setelah melewatinya ternyata gue memang lebih suka bikin musik dan manggung saja. Urusan seperti itu sudah malas sekarang. Kayaknya asal lu niat mengurusi sendiri, pasti seru. Kalau gue lebih ingin manggung, bikin lagu, dan rekaman.
Dimaz: Kita sok-sokan cetak 500 keping, terjual cuma seratus kali, ya? Haha.
Alvi: Hampir 300, deh. Terus kan lu juga harus reguler datang ke toko untuk tahu telah terjual berapa. Kalau memang lu niat dan suka dengan hal seperti itu, gue rasa itu bukan masalah. Lah padahal ini orang label jadi personel kita.
Zaka: Karena gue sudah capek mengurusi band orang lain! Haha...
Katanya di album baru bakal ada lagu cinta, ya? Tema yang tidak masuk di EP.
Dimaz: Oh iya, jelas! Jadi nanti ada satu lagu cintanya Alvi. Love song, bro. Cuma ceritanya tentang apa gue juga enggak mengerti, tapi dari caranya bernyanyi dia sedang jatuh cinta banget waktu dibawa ke studio.
Alvi: Gue kalau menulis lirik, setidaknya dari 10 lagu nanti, jarang tentang pengalaman pribadi. Sebenarnya ada tema cinta, tapi jarang yang pengalaman pribadi. Memang benar bakal ada lagu cinta, 2-3 lagu.
Sebelumnya mengapa jarang bercerita tema seperti ini? Padahal kan itu lazim untuk karya musik.
Dimas: Karena pengalaman cinta yang menulis lagunya sedikit. Haha...
Alvi: Mungkin gara-gara itu juga. Untuk lirik memang gue semua yang menulis. Kalau konsep, gue tidak menyengaja untuk satu lagu tertentu. Terkadang ditulis satu persatu, menyesuaikan saja tanpa perlu segaja menulis lagu cinta. Dicocokkan juga dengan nada awal.
Pada lagu ‘King’ (2018) pengantar album, ada lirik yang menarik: “You giggled to the lines that took me hours to prepare” (Kamu terkekeh dengan candaan yang butuh berjam-jam aku persiapkan). Memangnya seberapa penting sih menyiapkan candaan terencana sebelum kencan?
Alvi: Sebenarnya sih lebih bagus spontan, ya. Balik ke orangnya masing-masing. Biasanya orang yang memang lucu tidak perlu menyiapkan hal seperti itu. Karena dia sudah lucu secara natural. Terkadang kalau terlalu usaha keras, nanti zonk.
Dimaz: Kayaknya cewek-cewek zaman sekarang kalau enggak butuh duit, butuh lucu.
Zaka: karena biasanya orang yang lucu pasti spontan dan biasanya cewek lebih suka yang seperti itu, sih. Enggak ada tekanan saat mendekati cewek. Makanya lebih gampang orang-orang kayak gitu (dapat pasangan) ya dibanding kita yang kayak gini. Huehehe...
Pada album nanti apakah ada lagu bertema sepakbola?
Alvi: Ada satu bertema olahraga, tapi bukan sepakbola.
Apakah ada musisi yang tidak kalian sangka tidak menggemari sepakbola, tapi ternyata cukup fanatik?
Alvi: Ada, beberapa. Misalnya, Stephen Malkmus dari Pavement menggemari sepakbola. Klub favoritnya kalau tidak salah Wolverhampton Wanderers (Hull City, red). Vokalis Girls, band indiepop tahun 2010-an, Christopher Owens pernah pakai baju Denmark. Ternyata dari dulu dia suka Tim Dinamit.
Zaka: Kalau lokal paling Gizpel. Drummernya The Stone Roses (Reni), suka pakai baju sepakbola melulu kalau manggung.
Vokalis Barefood, Rahmat Triyadi, pernah pakai seragam Stoke City saat manggung. Pavement juga pernah dipotret dengan seragam sepakbola. Menurut kalian apa jersi paling keren untuk dipakai manggung?
Alvi: Biasanya gue suka sama semua baju Jerman. Misalnya Jerman di Piala 2014. Baju Jepang di Piala Dunia tahun lalu juga keren banget. Rusia yang merah juga suka. Gue ingat saat kecil menonton sepakbola suka banget baju Arsenal bersponsor JVC. Namanya Bergkamp nomor 10.
Zaka: Parma zaman dulu (1998/99) yang sponsornya Parmalat. Baju Kroasia yang papan catur juga keren banget.
Dimas: Nah, baju Kroasia tuh musik ska banget. Baju Juve yang warna pink-hitam juga bagus.
Pernah terpikir pakai seragam Inggris bernama Gascoigne ke panggung?
Alvi: Belum kepikiran, sih, tapi kayaknya baju Gascoigne di Middlesbrough bagus.
Kalau diberi kesempatan manggung di stadion, kalian mau tampil di mana?
Alvi: Wembley! Biasanya memang buat konser, kan?
Zaka: Camp Nou enak kayaknya.
Dimas: Karena gue enggak tahu, gue mau main di Stadion Gelora Bung Karno saja! Haha... Oh iya, kalau dulu mau di Stadion Lebak Bulus, karena Metallica (1993) juga di sana.
Menurut kalian, siapa nama pemain bola yang pantas dipakai untuk jadi nama band juga?
Zaka: Jay-Jay Okocha.
Dimaz: Batistuta, genrenya Slam/Grindcore. Mantap!
Alvi: Gue suka nama band yang agak bertentangan dengan aliran musiknya. Band indiepop, nama bandnya Agbonlahor!
Apa yang kalian lakukan kalau berjumpa Paul Gascoigne dan bakal mengatakan apa?
Alvi: Terima kasih sudah menjadi inspirasi band kami. Walaupun tidak tahu-tahu banget soal lu!
Zaka: Gue sih remes tit*tnya juga.
Dimas: Dia punya anak perempuan juga enggak? Kalau punya, gue bakal bilang, “Nen*n anak lu gede juga ya!”. Gue bakal bilang apa yang dia bilang kepada bosnya di Lazio. Habis itu ditonjok paling. Hahaha...
Ada pesan terakhir sebelum wawancara hampir sepanjang satu babak pertandingan sepakbola ini berakhir?
Alvi: Mudah-mudahan suatu saat lagu Gascoigne bisa masuk soundtrack gim FIFA.
Dimas: Ya, jadi kalau orang mau olahraga ada lagu Gascoigne yang bisa didengarkan.
***
Pada akhir wawancara, Gascoigne menyusun playlist lagu yang cocok didengarkan sebelum berolahraga. Dengarkan playlist tersebut di sini. Kudos, Gascoigne. Avanti Compagno!
Komentar