Notifikasi grup Whatsapp di ponsel Frank Lampard terus bertambah. Bahasannya adalah alasan Chelsea membuang keunggulan dua gol ketika menjamu Sheffield United dalam pekan ke-4 Premier League 2019/20.
Mudah (dan pasti menarik) membayangkan: itu adalah grup Whatsapp berisi mantan pemain-pemain Chelsea yang bercanda dengan mengejek Lampard karena tak mampu membawa anak asuhnya menang. Namun, bukan ini kasusnya.
Grup tersebut baru dibuat pada musim panas, tak berselang lama Lampard diresmikan sebagai manajer, berisi asisten dan stafnya di ruang ganti. Padahal, menurut laporan The Athletic, Lampard telah membahasnya dengan para stafnya selama lebih dari satu jam pasca pertandingan berakhir.
"Frustasi" adalah kata yang ditulis untuk menggambarkan perasaan Lampard oleh Simon Johnson dan Liam Twomey dalam artikel tersebut. Entah berlebihan atau tidak, yang pasti Chelsea mengalami peningkatan performa dalam empat laga Premier League setelahnya: tiga kali menang dan satu kali kalah (melawan juara Liga Champions 2019, Liverpool, dengan skor tipis 1-2).
Rasanya, cukup aman jika mengatakan bahwa tak banyak yang memprediksi Chelsea bisa berada di lima besar pada pekan ke-8 Premier League. Mereka bahkan hanya berselisih dua poin dari Manchester City yang berada di peringkat kedua.
Capaian tersebut semakin istimewa melihat rata-rata usia skuat yang didaftarkan Lampard adalah 24,9 tahun. Ini merupakan angka terendah sepanjang keikutsertaan Chelsea di Premier League.
Maka, tentu wajar jika kemudian Lampard mendapatkan apresiasi tinggi. Ia mampu mengeluarkan kemampuan terbaik para pemain muda yang mayoritas adalah jebolan akademi The Blues, klub Inggris dengan pengeluaran terbanyak (1,77 miliar Paun) sejak 2003.
Apa rahasia Lampard sehingga anak-anak muda tersebut tampil maksimal? Jawabannya, ada dalam diri asisten manajer Jody Morris dan dua asisten pelatih lainnya-Joe Edwards dan Chris Jones.
Bagi kebanyakan, Morris mungkin lebih dikenal sebagai bagian dari staf pelatih yang dibawa Lampard dari Derby County. Namun, Ia bukan sosok asing bagi publik Stamford Bridge. Ia adalah pahlawan lokal.
Sosok yang masih tercatat sebagai debutan termuda (17 tahun dan 43 hari) bagi Chelsea di Premier League tersebut merupakan salah satu produk asli binaan Cobham. Ia total mencatatkan 173 penampilan bersama tim senior dari 1996 hingga 2003, turut menjuarai European Cup Winers` Cup 1998 dan Piala FA 2000.
Jika ada satu pertandingan yang membuktikannya, maka jelas itu adalah ketika menghadapi Barcelona di ajang Liga Champions pada April 2000. Xavi bahkan mengakui bahwa Morris merupakan salah satu "lawan tertangguh yang pernah dihadapi".
Morris, yang gantung sepatu pada 2013, terjun ke dunia kepelatihan terlebih dahulu ketimbang Lampard. Nama terakhir tidak terkejut. Keduanya telah bersahabat selama lebih dari 20 tahun, dan sering saling bicara tentang prospek melatih pasca karier sebagai pesepakbola.
Ketika Lampard sedang mengejar lisensi UEFA B dan kemudian UEFA A, Morris mengajaknya datang ke latihan Chelsea U-18. Skuat yang ditanganinya meraih Treble Winners pada 2016/18 dan Quadruple Winners pada 2017/18. Mereka juga menyamai skuat muda legendaris Manchester United, The Busby Babes, dengan menjuarai Piala FA Muda lima musim berturut-turut. Isi skuatnya? Callum Hudson-Odoi, Mason Mount, dan Reece James.
"Chelsea adalah dan selamanya akan menjadi klub (idola) saya," ucap Morris sebelum bergabung dengan Derby tahun lalu. Hasrat, dedikasi, dan cinta terhadap klub itu yang coba disalurkannya kepada para pemain.
Lampard jelas satu rasa dengan Morris. Lebih penting lagi, mereka satu ide dan visi tentang cara bermain sepakbola: menyerang, mencetak banyak gol, dan menghibur. Kehadiran Morris dan pengalamannya menangani para pemain muda memudahkan proses tersebut.
Ini adalah sesuatu yang juga bisa dikerjakan oleh Edwards. Ia merupakan mantan pelatih Chelsea U-18 (memenangi tiga Piala FA Muda berturut-turut, sebelum dilanjutkan Morris) dan menangani skuat U-23 musim lalu.
Edwards memang tidak pernah menjadi pesepakbola profesional seperti Morris. Namun, untuk urusan Chelsea, Ia sama familiar dan cintanya.
"Saya memiliki ikatan kuat dengan klub ini, menjadi fans Chelsea sejak berusia lima tahun," ucap pria berusia 32 tahun tersebut kepada laman resmi klub. "Saya menyadari seberapa luar biasa kesempatan untuk bisa masuk ke tim senior di sebuah klub spesial, yang saya anggap sebagai rumah saya sendiri, dan klub besar."
Ketika gagal menjajaki karier sebagai pesepakbola, Edwards tak membuang waktu untuk mengejar karier kepelatihan. Ia telah menjadi asisten pelatih Chelsea sejak 2004. Lampard, Didier Drogba, dan John Terry tentu pernah dibantu olehnya dalam pelbagai sesi.
Tak hanya pemain-pemain senior yang merasakan langsung tangan dingin Edwards. Tammy Abraham dan Fikayo Tomori merupakan bagian dari skuat Chelsea U-8 yang pertama kali dipegangnya sebagai pelatih kepala.
Sama seperti Edwards, Jones yang pekerjaannya fokus menjaga kebugaran fisik juga pernah menangani Lampard secara langsung. Ia berperan besar membantu Lampard tetap berada dalam kondisi prima ketika memasuki usianya yang ke-30 dan mencatatkan rekor sebagai top skorer klub sepanjang masa.
"Saya sering bekerja dengan Chris di Chelsea. Ia menjalani 12 tahun yang sangat sukses di sana dan merupakan bagian integral dari era keemasan klub," tutur Lampard ketika membawa Jones bergabung ke Derby.
Jones adalah seorang sarjana Ilmu Keolahragaan dari Universitas Loughborough. Ia telah bekerja di tim utama Chelsea sejak era Carlo Ancelotti pada 2009.
Kehadiran pria yang juga pernah bekerja bersama tim nasional Inggris U-19 dan U-21 tersebut amat krusial bagi Lampard. Larangan transfer masih akan berlanjut hingga Januari 2020. Badai cedera tentu menjadi hal terburuk yang sangat sulit untuk diatasi.
Tentu, masih ada banyak nama lain yang tak kalah penting di dalam skuat staf Lampard: Adam Burrows, Eddie Newton, hingga Henrique Hilario. Di tangan merekalah, perjalanan musim Chelsea (juga besar kemungkinan di masa depan) berada.
Komentar