Berawal dari serangan balik yang dibangun Aaron Mooy, Alireza Jahanbakhsh melanjutkan bola sodoran Neal Muapay dengan tendangan keras ke pojok kiri bawah gawang AFC Bournemouth. Brighton & Hove Albion unggul di hadapan publik Stadion American Express (Amex) saat pertandingan baru berjalan 3 menit, Jahanbakhsh menangis haru merayakan golnya.
Gol Jahanbakhsh memang krusial untuk Brighton. Ini adalah pertama kalinya mereka unggul lebih dulu di pertandingan kandang sejak menjamu Norwich City, 2 November 2019. Menang dengan skor dua gol tanpa balas atas Bournemouth, The Seagulls juga mencatat nirbobol pertama mereka dalam sembilan partai terakhir. Sebelumnya, pertandingan melawan Norwich (2/11) merupakan pertandingan terakhir di mana anak-anak asuh Graham Potter tidak kebobolan.
Namun, bagi Jahanbakhsh gol tersebut jauh lebih berarti dari itu. Tangisannya yang spontan terjadi pasca gol tercipta menunjukan betapa berartinya gol tersebut bagi dirinya. Gol ke gawang Aaron Ramsdale adalah yang pertama untuk pemain asal Iran itu sejak mendarat di Stadion Amex. Setelah 27 pertandingan, lebih dari 1.500 menit di atas lapangan, akhirnya Jahanbakhsh berhasil cetak gol!
Jahanbakhsh didatangkan ke Brighton and Hove Albion pada musim panas 2018 dengan biaya 17,1 juta paun. Ia menjadi pemain dengan pembelian termahal Brighton pada saat itu sebelum kemudian angka pembeliannya dilewati saat Brighton mendatangkan Leandro Trossand (18 juta paun), Adam Webster (19,67 juta paun), dan Neal Muapay (19,8 juta paun).
Jahanbakhsh datang ke Liga Primer Inggris dengan membawa gelar pencetak gol terbanyak Eredivisie 2017/18 bersama AZ Alkmaar. Ia menorehkan 21 gol dan 12 asis selama satu musim bersama AZ Alkmaar, mengalahkan nama-nama lain yang menjadi incaran klub-klub besar Eropa seperti Hirving Lozano dan David Neres. Selain itu, Brighton yang ketika itu mengakhiri musim di peringkat ke-15 tentu membutuhkan amunisi baru di musim berikutnya agar mampu bersaing di Liga Primer Inggris.
Kedatangan Jahanbaksh bukanlah sesuatu yang terlalu membahagiakan untuk para fans Brighton. Ada rasa ragu, apakah Jahanbaksh sanggup membayar harga mahal yang dikeluarkan klub kesayangan mereka? Meski demikian, mereka tentu memiliki harapan besar. Apalagi pemain asal Iran itu adalah pembelian termahal klub dan juga diincar oleh jawara Liga Primer 2015/16, Leicester City sebelum mendarat di Amex.
Tapi, jangankan menyumbangkan banyak gol bagi Brighton, Jahanbakhsh bahkan tidak berhasil menyumbangkan satu pun gol dan asis dalam 24 kali penampilan di semua kompetisi musim itu. Satu-satunya sumbangsih Jahanbakhsh bagi Brighton musim itu adalah hadirnya banyak follower baru di sosial media Brighton yang berasal dari negara asalnya, Iran.
Tentu banyak fans yang kecewa dengan penampilan Jahanbakhsh musim itu. Jika dibandingkan dengan 2 penyerang sayap yang dimiliki Brighton musim itu, Jahanbakhsh dianggap tidak memiliki skill sebaik Anthony Knokaert dan Solly March. Knockaert menyumbangkan 2 gol dan 6 asis dalam 30 penampilannya, sementara Solly March menyumbangkan 1 gol dan 5 asis dalam 35 penampilan di semua kompetisi musim itu.
Salah satu akun media sosial sepakbola asal Iran sempat membela Jahanbakhsh atas performa buruknya di Brighton musim lalu. Akun twitter @persianfutbol memberikan bukti bahwa Brighton tidak memainkan Jahanbakhsh di posisi dan peran terbaiknya seperti saat AZ Alkmaar memainkannya. Saat di AZ Alkmaar, Jahanbakhsh bermain di posisi penyerang sayap kanan dengan peran yang lebih banyak melakukan cutting inside ke kotak penalti lawan. Dari situ, Jahanbakhsh mendapatkan banyak peluang untuk menciptakan gol maupun asis. Sementara saat di Brighton, meski bermain di posisi yang sama, peran Jahanbakhsh lebih banyak dipaksa untuk itu membantu pertahanan dan berada di wilayahnya sendiri. Hal inilah yang membuatnya tidak memiliki banyak kesempatan untuk mencetak gol.
https://twitter.com/PersianFutbol/status/1129011559701864448">
https://twitter.com/PersianFutbol/status/1129011559701864448
Ada yang setuju, namun ada pula yang tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh akun @persianfutbol tersebut. Sebagian fans Brighton tidak setuju jika instruksi bermain yang menyebabkan kegagalan Jahanbakhsh menyumbangkan setidaknya satu gol bagi Brighton. Pasalnya, Knockaert dan Solly March yang mendapatkan instruksi yang sama mampu memberikan sumbangan gol dan asis bagi Brighton. Karena itu, kesalahan tidak sepenuhnya ada di instruksi bermain, namun juga ada di diri Jahanbakhsh sendiri.
Kedua pendapat tersebut mungkin sama-sama ada benarnya. Di Brighton Jahanbakhsh memang tidak dimainkan dengan peran yang sama dengan saat bermain di AZ Alkmaar sehingga ia tidak bisa menjadi mesin gol. Namun di sisi lain, Jahanbakhsh sendiri juga gagal beradaptasi dalam menjalani peran barunya sehingga tidak bisa memenuhi ekspektasi tinggi yang diberikan para fans.
Memang sudah bukan cerita baru ketika seorang pencetak gol terbanyak Eredivisie berubah menjadi pemain yang gagal bersinar di Liga Primer Inggris. Jahanbakhsh bukan satu-satunya pemain memiliki cerita karir seperti ini. Terdapat beberapa nama lain yang bernasib sama dengan Jahanbakhsh seperti Memphis Depay, Mateja Kezman, Alfonso Alves, Bas Dost, dan Vincent Janssen. Perbedaan kecepatan bermain mungkin menjadi salah satu alasan pemain-pemain ini, termasuk Jahanbakhsh gagal menunjukkan performanya di Liga Inggris.
Jika kita bandingkan data statistik Jahanbakhsh bersama AZ Alkmaar musim 2017/18 dan bersama Brighton musim 2018/19, kita bisa melihat sedikit bahwa memang ada yang berbeda dari diri Jahanbakhsh saat bermain di Liga Primer Inggris. Saat bersama AZ Alkmaar dimana Jahanbakhsh memainkan peran yang lebih di depan dan menyerang, ia memiliki catatan tekel sebanyak 2,1 kali per pertandingannya. Sementara saat ia bermain di Brighton dimana ia diberikan peran lebih ke belakang dan bertahan justru memiliki angka tekel yang lebih kecil yaitu 1,7 kali per pertandingan.
Begitu pula dengan angka operan yang dilepaskan. Saat bermain bersama AZ Alkmaar, ketika ia lebih banyak bermain di area lawan, ia melepaskan 42,6 operan per pertandingannya, dengan tingkat akurasi operan 73,4%. Di Brighton, Jahanbakhsh yang lebih banyak bermain di area sendiri justru hanya melepaskan 14,6 operan per pertandingan dengan akurasi yang lebih rendah yaitu 69,3%.
Tidak perlu melihat data jumlah shooting per pertandingan, dribel, dan operan kunci, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa Jahanbakhsh memang kesulitan untuk beradaptasi dengan permainan di Liga Inggris. Dalam pertandingan tandang melawan Arsenal musim lalu, terdapat suatu momen dimana Brighton berhasil merebut bola dan melancarkan serangan balik, Jahanbakhsh mencoba ikut membantu serangan namun bola sudah berhasil dipatahkan sebelum Jahanbakhsh sampai ke area pertahanan Arsenal. Arsenal kemudian menyerang balik dan serangan Arsenal sudah berakhir dengan tendangan gawang sebelum Jahanbakhsh sampai ke pertahanannya sendiri.
Beruntungnya, Jahanbakhsh sadar akan hal ini dan ia masih mendapatkan dukungan dari sang pelatih, Graham Potter. Jahanbakhsh sendiri berjanji akan terus meningkatkan kemampuannya untuk dapat mengimbangi permainan cepat ala Liga Inggris. Potter juga tahu bahwa anak asuhnya memiliki kapabilitas untuk bisa bersaing di Liga Inggris, hanya saja masih perlu diasah agar lebih matang.
Memang sempat tersiar kabar bahwa Jahanbakhsh akan dipinjamkan pada bulan Januari nanti. PSV Eindhoven memberikan sinyal ketertarikan dan membuka jalan bagi Jahanbakhsh untuk kembali merumput di Eredivisie. Namun Jahanbakhsh masih belum mau menyerah di Liga Primer Inggris. Selama ia masih diberikan kesempatan, ia akan berjuang untuk menunjukkan performa terbaiknya di Liga Primer Inggris. Perjuangannya di Liga Primer Inggris bukanlah sekedar misi individu. Ia juga menjadi representasi Iran untuk memotivasi generasi penerus, bahwa mereka bisa bermain dan bersaing di liga ternama Eropa. Mengingat hanya ada dua pemain Iran yang tercatat di lima liga top Eropa 2019/2020, Amir Hashemi selaku agen Jahanbakhsh percaya bahwa beban itu juga dimiliki oleh kliennya.
Karena itu, tangisnya yang pecah sesaat setelah gol pertamanya di Liga Primer Inggris tercipta adalah bentuk perasaan campur aduk yang ia rasakan saat itu. Rasa bangga setelah mencetak gol, rasa lega atas semua beban dan tekanan yang ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini, rasa kesal atas kegagalannya di musim lalu, serta semangatnya yang terus menantikan kesempatan berikutnya untuk berkontribusi bagi Brighton.
Komentar