Bagi kebanyakan orang, tak ada yang istimewa dari Tangerang. Ia hanya dikenal sebagai kota satelit Jakarta, juga wilayah yang panas. Namun, bagi orang-orang yang berdomisili di sana, Tangerang adalah medan laga; tak terkecuali bagi insan sepakbola. Sebuah klub muda dengan kiprah sensasional pernah muncul dari kota ini.
Namanya adalah Persatuan Sepak Bola Indonesia Kota Tangerang, acap disingkat Persikota. Walau baru seumur bayi, Persikota mengguncang kancah sepak bola Tanah Air pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Klub anyar bercorak kuning-biru tersebut mendaki piramida liga dengan kecepatan maksimal, seolah tiba-tiba muncul dan mengalahkan nama-nama lawas seperti PSIM Yogyakarta, Persib, hingga PSMS.
Kiprah mengejutkan Persikota mencuri perhatian dan orang-orang menyematkan julukan sensasional kepadanya: Bayi Ajaib. Baru berdiri pada 1994 dan terjun ke kompetisi PSSI setahun kemudian, saudara muda Persita ini meraih dua promosi beruntun. Seperti dongeng, mereka mencapai Divisi Utama pada 1997/98 atau tiga tahun setelah pendirian.
Haji Mansur Sain adalah salah satu tokoh yang terlibat pendirian Persikota. Sewaktu muda, ia membela Persita pada 1972-1984. Ia mengikuti pertemuan yang melahirkan Persikota pada 11 Oktober 1994. Haji Mansur pun diangkat menjadi Sekretaris Dua di klub yang baru lahir itu.
“Sepakbola (adalah) olahraga masyarakat. Begitu Kota Tangerang membentuk tim yang namanya Persikota, ya masyarakat langsung menyambut antusias. Ingar bingarnya terasa sekali,” kata Haji Mansur.
Pembentukan klub sepakbola adalah salah satu tindak lanjut dari pemekaran Kabupaten Tangerang. Pemerintah membentuk kotamadya Tangerang pada 28 Februari 1993 dan butuh tim sepakbola sebagai penanda identitas kota.
Persikota juga menjadi wadah untuk menampung talenta-talenta lokal di Kota Tangerang. Waktu itu, kompetisi lokal berlangsung semarak. Haji Mansur menyebut terdapat sekitar 30 klub anggota Persikota.
Bayi Ajaib menggaet talenta-talenta lokal sekaligus mendatangkan bintang-bintang baru di Liga Indonesia. Mereka memulai dari level terbawah, Divisi Dua 1995/96. Bersama pelatih Andi Lala, Persikota tak terkalahkan dan lolos ke play-off promosi. Mereka mengalahkan Persipal Palu dan Persewangi Banyuwangi untuk menjuarai Divisi Dua 1996.
Begitu memasuki Divisi Satu, Persikota lagi-lagi tampil trengginas. Bayi Ajaib lolos ke Grup A babak 10 Besar yang digelar di Mandala Krida, Yogyakarta. Meskipun sempat kalah dari Persiter Ternate di partai pertama, Persikota mampu bangkit dan mengalahkan PSSB Bireuen.
Di partai ketiga, Persikota menghadapi laga menentukan lawan tetangga tuan rumah, PS Sleman. Anak asuh Andi Lala menang 3-0 berkat hat-trick Nova Zaenal. Di partai terakhir Grup A, hasil imbang lawan PSIM memastikan partisipasi Persikota di babak semifinal.
Bayi Ajaib membungkam Perseden Denpasar di semifinal. Di babak final, Persikota berebut titel Divisi Satu lawan PSIM. Persikota memenangi laga penentuan dengan skor 3-1. Sebiji gol Ali Shaha dan brace Francis Yonga memastikan titel Divisi Satu sekaligus promosi ke Divisi Utama.
Persikota promosi menjadi kontestan Wilayah Tengah Divisi Utama 1997/98. Hal ini membuat Bayi Ajaib tidak bisa bertanding langsung dengan saudara tua, Persita yang menghuni Wilayah Barat. Persikota bersaing lawan klub-klub tradisional macam PSMS, Persib, dan PSIS di Wilayah Tengah.
Jelang musim bergulir, Persikota melakukan pergantian pelatih. Andi Lala yang membawa klub promosi cepat digantikan oleh Sutan Harhara. Tetapi, pergantian ini sama sekali tak mengurangi daya gedor Bayi Ajaib. Mereka tetap menggebrak dan tampil mengejutkan.
Persikota berhasil merangsek ke peringkat tiga hingga sepertiga musim berjalan. Francsi Yonga dan kawan-kawan meraih delapan kemenangan dan tiga hasil seri dari 15 pertandingan. Mereka hanya terpaut empat poin dari PSMS di puncak klasemen dan cuma kalah selisih gol dari Pelita Jaya.
Di musim debut, Persikota memiliki peluang terbuka untuk lolos ke play-off kejuaraan. Namun sayangnya, kompetisi terpaksa disetop pada 25 Mei 1998. Kerusuhan seputar Reformasi 1998 adalah penyebabnya.
Persikota melanjutkan kiprah ajaibnya pada 1998/99. Mereka berhasil memuncaki klasemen Grup C Wilayah Tengah dengan 20 poin dari 10 pertandingan. Bayi Ajaib unggul selisih satu gol dari Pelita Bakrie (tadinya Pelita Jaya) dan berhak lolos ke play-off kejuaraan.
Sayangnya, Persikota tak mampu bicara banyak di babak penentuan. Mereka ditahan imbang Semen Padang dan Petrokimia Putra serta menelan dua kekalahan dari PSIS dan Persebaya. Persikota pun gagal lolos ke semifinal, menempati peringkat empat grup play-off.
Pada 1999/2000, Persikota kembali lolos ke babak delapan besar sebagai wakil Wilayah Barat bersama Persija, Persijatim, dan PSMS. Tampil di Grup B, Bayi Ajaib tampil trengginas. Mereka mengalahkan Pelita dan bermain seri lawan Arema serta Persija. Persikota berhak lolos ke semifinal sebagai juara Grup B.
Semifinal digelar di Senayan pada 20 Juli 2000. Persikota menghadapi Pupuk Kaltim. Laga itu adalah drama tujuh gol yang berakhir dengan kekalahan 3-4 Persikota. Pupuk Kaltim pun lolos ke final, dikalahkan PSM asuhan Syamsuddin Umar dengan skor 3-2.
Lolos ke semifinal Divisi Utama adalah prestasi terbaik Persikota sejak berkiprah di Liga Indonesia. Wakil Kota Tangerang itu konsisten tampil apik hingga awal 2000-an. Waktu itu, Bayi Ajaib memiliki tekad berapi untuk mengguncang papan atas.
Walau berstatus klub baru, Persikota memiliki renjana kuat. "Ketika saya masuk, gairahnya luar biasa. Antusiasme para pemain untuk memenangkan segala pertandingan, apalagi [waktu itu] kita belum bisa meraih titel juara [Divisi Utama]. Antusiasme pengurus hingga para pemain luar biasa bagi saya," kata Firmansyah, bek yang membela Persikota pada 2000-2007.
Pamor klub ini segera menyaingi saudara tuanya, Persita. Warga Tangerang berbondong-bondong gabung ke pasukan kuning-biru yang dikenal sebagai Benteng Mania (BetMan), basis suporter Persikota.
Kiprah ajaib Persikota didukung oleh pemain papan atas Indonesia seperti Nova Zaenal, Aliyudin, hingga Yandri Pitoy. Legiun asing sekaliber Francis Yonga, Ali Shaha, dan Epalla Jordan pun mau membela klub ini.
Tak hanya pemain, Bayi Ajaib juga mengorbitkan pelatih yang kelak memiliki nama besar di sepakbola Indonesia: Rahmad Darmawan. Pelatih yang membawa Persipura menjuarai Liga Indonesia 2005 itu mengawali karier kepelatihan di Persikota. Rahmad menjabat asisten pada 1998-2000, kemudian menjadi pelatih kepala pada 2001-2004.
Saat Keajaiban Mulai Tanggal
Meskipun gagal menembus semifinal Divisi Utama sejak 1999/2000, Persikota konsisten bersaing di papan atas. Mereka finis di peringkat lima Wilayah Barat 2001, hanya terpaut satu poin dari Persita di batas akhir kualifikasi delapan besar.
Pada 2002-2003, secara berturut-turut, Bayi Ajaib mengakhiri musim di peringkat enam. Persikota kemudian finis di peringkat lima pada 2004. Namun, pada 2005, prestasi Persikota justru anjlok, terancam degradasi dan finis di peringkat 11 Wilayah Barat Divisi Utama.
Kendati sempat memperbaiki prestasi dengan finis di peringkat tujuh Wilayah Barat 2006, tanda-tanda penurunan semakin nyata. Klub mulai mengalami kesulitan finansial. Pada 2005, Bayi Ajaib terpaksa melakukan efisiensi, melepas pemain seperti Isnan Ali, Supriyono, dan Yandri Pitoy.
Bagi Persikota, sumber petakanya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13/2006. Peraturan tersebut melarang penggunaan APBD untuk pembiayaan klub sepakbola.
Kesulitan beradaptasi membuat Persikota didera masalah finansial. Perkara keuangan pun bersilangan dengan performa di lapangan. Pada 2007, Bayi Ajaib hanya mampu finis di peringkat 15 Wilayah Barat. Akibatnya, mereka gagal lolos ke Liga Super Indonesia.
Peserta Liga Super diambil dari sembilan tim teratas Wilayah Barat dan Timur. Persikota harus puas bertanding di level kedua, pertama kalinya sejak mereka meraih promosi pada 1997.
Di Divisi Utama, Persikota pun terseok-seok. Masalah keuangan terus-menerus meminta korban. Pada 2009, tim Persikota bahkan terancam dibubarkan karena sulit pendanaan.
Selain finansial, problem kekerasan juga meliputi langkah sang bayi. Korban demi korban berjatuhan akibat rivalitas buta antara dua klub di kota Tangerang. Hal ini berujung dengan larangan pertandingan sepakbola di Stadion Benteng (markas bersama Persikota dan Persita kala itu) oleh Majelis Ulama Indonesia, yang menggunakan kata "haram" karena dianggap tak sejalan dengan nilai Akhlakul Karimah sebagai motto kota. Persita masih "lebih beruntung" karena mampu bertahan hidup sebagai tim musafir. Tak seperti Persikota yang ditelantarkan.
Kini, Bayi Ajaib terkatung-katung di Liga 3. Persikota mencoba bangkit dengan melakukan berbagai perubahan, misalnya dengan pembenahan manajemen serta perdamaian dengan rival sekota. Dukungan pemerintah pun terbilang mengalir deras. Namun, tentu butuh waktu untuk bisa mencapai level teratas seperti dulu.
Komentar