Emma Hayes tak menyembunyikan kegembiraan saat Chelsea Women memastikan tiket final Liga Champions 2020/21. Seusai semifinal leg kedua lawan Bayern Muenchen Frauen, sambil menyesap sampanye, Hayes menjawab pertanyaan wartawan. Ia juga menunjukkan monitor detak jantungnya ketika pertandingan berlangsung. Garis yang menunjukkan kecepatan detak jantung melonjak drastis pada momen tertentu.
“Saya sangat menginginkan hari ini. Saya perlu melakukan apa pun untuk mengontrol emosi. Saya hampir tidak bisa menahan tangis,” katanya.
Manajer berusia 44 tahun itu baru saja menyaksikan momen-momen kritis di partai menegangkan. Melakoni leg kedua di Kingsmeadow — markas tim putri Chelsea — The Blues mesti melampaui kekalahan 2-1 di leg pertama. Di babak pertama, mereka berhasil menyamakan agregat.
Akan tetapi, Bayern tampil menekan di babak kedua. Sejumlah kesalahan yang dibuat pemain The Blues pun membuat pertandingan semakin mencemaskan bagi pihak tuan rumah.
Chelsea baru bisa bernapas lega pada menit 84. Pernille Harder, pesepakbola perempuan termahal sepanjang sejarah, mencetak gol melalui sundulan keras dari tiang dekat — mirip gol Didier Drogba di final Liga Champions 2012, juga melawan Bayern. Saat injury time, Chelsea memastikan tiket final usai Fran Kirby menambah gol. Skor 4-1 untuk Chelsea.
Chelsea Women lolos ke final Liga Champions pertama sepanjang sejarah. Bagi Emma Hayes, ini juga final pertamanya sebagai manajer. Dan yang lebih spesial: ia menjadi manajer perempuan pertama yang lolos ke final UEFA Women’s Champions League dalam 12 tahun terakhir, sejak kompetisi ini di-rebranding dari semula UEFA Women’s Cup.
UEFA Women’s Cup pertama bergulir pada 2001, berganti nama menjadi UWCL pada 2009. Sepanjang sejarahnya, hanya ada dua pelatih perempuan yang memenangi kompetisi ini. Dua pelatih itu juara pada era Women’s Cup, yakni Monika Staab bersama 1. FFC Frankfurt (2002) dan Martina Voss bersama FCR Duisburg (2009).
Bahkan di sepakbola perempuan pun, posisi pelatih kepala didominasi laki-laki. Di UWCL, kebanyakan tim dikepalai oleh pelatih pria, termasuk lawan Chelsea di final, FC Barcelona Femeni. Olympique Lyonnais Feminin, klub tersukses UWCL dengan tujuh trofi, termasuk lima musim terakhir, meraih semua gelar dengan pelatih lelaki. Les Lyonnaises baru melantik pelatih kepala perempuan pertama pada April lalu. Mereka melantik Sonia Bompastor, eks kapten Timnas Perancis, menggantikan Jean-Luc Vasseur usai Lyon dieliminasi Paris Saint-Germain di perempat final UWCL.
Di Eropa, partisipasi pelatih perempuan masih minim. Menurut laporan UEFA pada 2016/17, 91% jabatan kepelatihan di sepakbola perempuan diisi oleh pria. Di sejumlah negara, rasio keberadaan pelatih laki-laki dibanding perempuan bahkan mencapai 99:1 dan 98:2.
Jumlah pelatih perempuan memang sedikit. Namun, jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun. Seiring meningkatnya investasi dan pamor sepakbola perempuan, partisipasi perempuan di dalamnya juga kian meningkat. Di Women’s Super League (WSL) Inggris 2020/21, jumlah pelatih perempuan bahkan sudah melebihi laki-laki.
Di antara yang sedikit itu, Emma Hayes hadir sebagai sosok menonjol. Ia adalah manajer tersukses sepanjang sejarah Chelsea, meraih 10 trofi sejak menjabat pada 2012. Skuad asuhan Hayes empat kali menjuarai WSL, termasuk dua musim terakhir.
Hayes berhasil membina skuad tangguh yang mendominasi Britania. Kali ini, ia ingin melebarkan dominasi ke Eropa, di mana Inggris selalu kalah dari Perancis yang diwakili Lyon dan Jerman yang diwakili VfL Wolfsburg.
Hayes adalah pelatih yang piawai membina anak asuhnya. Sebagai manajer, ia mampu menumbuhkan mental juara skuadnya lewat tempaan di ruang ganti dan sesi latihan.
Eks asisten Arsenal Women ini juga dikenal perhatian kepada para pemain. Seperti ibu, Hayes membantu para pemain mengatasi masalah pribadi demi mencapai yang terbaik, baik dalam hidup dan sepakbola.
Fran Kirby adalah salah satu pemain yang tak akan pernah melupakan jasa Hayes. Pada 2019, ia menderita perikarditis (radang kantung jantung) yang membuatnya mempertimbangkan pensiun. Namun, Hayes tak ingin sang pemain menderita dan memberinya dukungan luar biasa.
“Emma luar biasa. Dia adalah benteng saya; seseorang yang memastikan saya terlindungi dari apa pun. Saya tidak tahu tentang penyakit itu, tetapi dia membersamai saya dan selalu menanyai dokter, ‘Bisakah kita mencoba ini, bisakah kita mencoba itu?’ Itu sangat berarti,” kata Kirby kepada The Guardian.
Penyerang Inggris tersebut akhirnya sembuh dan kembali merumput. Lebih dari itu, Kirby berhasil menjadi top skor sepanjang masa Chelsea. Pada 2020/21, ia berperan penting dalam kesuksesan The Blues, mengemas 16 gol dan 11 asis untuk membantu Chelsea juara WSL.
Emma Hayes juga seorang manajer yang inovatif. Ia membawa Chelsea menjadi klub pertama yang menyesuaikan latihan dengan siklus menstruasi pemain. Ia juga memiliki cara unik untuk mengatasi problem mental para pemain.
Eniola Aluko, eks striker Chelsea, mengungkapkan ide kreatif Hayes untuk meningkatkan performa tim. Waktu itu, Chelsea kesulitan mengalahkan Arsenal dan manajer merasa timnya punya problem psikologis menghadapi sang rival. Di sesi latihan, ia pun menyuruh pemain berlatih tanding dengan satu tim mengenakan pakaian merah.
“Jadi, secara visual, kami berlatih untuk ‘bagaimana cara mengalahkan Arsenal’. Dia amat kreatif dalam apa-apa yang dibicarakannya,” kata Aluko kepada The Athletic.
Kualitas manajerialnya bahkan membuat Hayes dirumorkan sebagai salah satu kandidat pengganti Frank Lampard. Pos manajer tim putra Chelsea akhirnya dipegang Thomas Tuchel. Namun, masuknya nama Hayes dalam diskusi pergantian pelatih menunjukkan pengakuan atas kapasitas manajer asal London ini.
Musim ini, ia berpeluang meraih quadruple, sebuah pencapaian klub Inggris yang hanya pernah diraih Arsenal pada 2007. Emma Hayes pun berpeluang menjadi pelatih perempuan pertama yang menjuarai UWCL sejak kompetisi berganti nama.
Jika Hayes berhasil, kemudian Tuchel mencapai hal yang sama, Chelsea akan menjadi klub pertama yang berhasil memenangi Liga Champions putra dan putri dalam semusim.
Komentar