Panas terik matahari di daratan Bandung menusuk pori-pori loyalis Persib Bandung yang datang lebih dulu ke Stadion Siliwangi. Mereka ada yang bergegas masuk dan ada pula yang masih tertahan di luar stadion karena antrian yang padat.
Tidak lama, rombongan bus pendukung Persija Jakarta datang. "Bus-bus yang membawa Jakmania, kalau tidak salah ada tujuh bus, cukup banyak memang karena (tiket) gratisan dan di-support dana oleh (gubernur Jakarta ketika itu) Sutiyoso," cerita Eko Noer Kristyanto di Simamaung.
Kedatangan para suporter tim tandang makin mempersulit akses suporter Maung Bandung ke stadion. Bobotoh yang telah berdesak-desakan dan tertahan di luar stadion naik pitam, melempar pelbagai benda mati ke arah bus sebagai pelampiasan.
Pertikaian tersebut merebak ke dalam tribun ketika laga Persib Bandung vs Persija Jakarta di Liga Indonesia pada 1999. Pendukung saling lempar kata-kata tak senonoh dan barang. Bahkan, striker Macan Kemayoran, Luciano Leandro, terkena lemparan batu hingga kepalanya berlumur darah.
Sejak itu, menurut perspektif Eko, perselisihan keduanya tumbuh subur hingga kini. Padahal, sejarah panjang Perserikatan tidak melegitimasi Persib dan Persija sebagai rival - layaknya El Clasico.
Persib lebih sering berjibaku dengan PSM Makassar dalam perebutan trofi sejak 1960 sampai 1990-an. Setidaknya Maung Bandung sudah melakoni empat partai final lawan PSM Makassar. Keduanya sempat bertemu lagi di edisi terakhir Perserikatan 1993.
Selain PSM, PSMS Medan bertemu Persib dalam dua laga final 1983 dan 1985. Meski Maung Bandung selalu menelan pil pahit di dua partai puncak, PSMS dinilai sebagai kompetitor.
Bagi Persija sendiri, Persebaya Surabaya, PSM, sampai PSMS Medan adalah pesaing yang lebih familiar. Macan Kemayoran sudah empat kali menjalani laga final melawan PSMS, bahkan menjadi juara bersama pada 1975.
Jual-beli pelanggaran dilakukan Persija dan PSMS. Adu jotos antar pemain tidak terhindarkan. Wasit memutuskan meniup peluit panjang ketika laga masih berjalan 40 menit demi meredam kisruh. PSSI pun berunding dengan manajer masing-masing klub agar tropi diserahkan ke kedua tim.
Identitas Derbi
Terminologi derby (derbi) berasal dari Inggris, yang berarti sebuah kontes antara dua rival yang berada di satu daerah. Jika dua tim punya sejarah di luar sepak bola, apalagi berada di satu kawasan yang sama, bisa disebut derbi.
Di salah satu daerah Jabodetabek ada Tangerang Derbi antara Persita dan Persikota. Sebagai kawasan penopang Jakarta, gairah sepak bola Tangerang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Persita dan Persikota masih tergolong derbi muda. Rivalitas keduanya berawal dari kehadiran Persikota pada 1994 lantaran pamekaran Kabupaten Tangerang memunculkan kota madya. Sementara Persita lebih dulu dibentuk tahun 1940.
Derbi masih urung terjadi, karena tidak ada momentum. Baru lah pada musim 2000-2001, Persita dan Persikota berada di satu kompetisi yang sama. Dua partai derbi mencatatkan hasil seri dan kemenangan Pendekar Cisadane.
Hingga 2007, Persita dan Persikota bertemu 14 kali. Persikota menang empat kali, sedangkan Persita menang tiga kali, sisanya berakhir imbang. Sejak Persikota gagal masuk Liga Super, Derbi Tangerang tak kunjung digelar.
Kedua kesebelasan punya basis suporter yang keras dan berada di satu jangkauan. Korban luka dan hilang nyawa bertebaran. MUI Tangerang pun bergegas membuat fatwa haram sepak bola di Stadion Benteng - markas kedua klub - pada 2012 (yang belakang diketahui bahwa MUI ternyata tidak pernah mengeluarkan fatwa, melainkan himbauan)
Larangan bermain bak tamparan keras. Persita dan Persikota terpaksa merumput di luar daerah aslinya. Sehingga pada 2018, usaha damai kedua suporter bisa mencabut larangan MUI Tangerang.
Lain halnya dengan Derbi Mataram yang mempertemukan Persis Solo dan PSIM Yogyakarta. Kota dari kedua klub itu berasal dari turunan dinasti Mataram yang terbelah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta dalam Perjanjian Giyanti 1755.
Perjanjian Giyanti mengakhiri perang saudara antara Pakubuana III dan Pangeran Mangkubumi. Keduanya dibagi kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Meski begitu, perselisihan kedua penguasa itu terwarisi hingga ke sepakbola.
Sepakbola diperuncing rivalitas keduanya. Sederhananya, mereka berlomba-lomba menjadi yang terbaik dari Mataram.
Bagaimana dengan Persib dan Persija? Satu kota pun tidak, apalagi ada intrik politik di luar sepak bola. Bahkan masing-masing kelompok pendukung lahir di angkatan berbeda. Bobotoh pada 1960-an, The Jak tahun 1997.
Mengakar di tanah yang salah
Makna derbi harus diakui telah mengalami perluasan. Meski tidak berada dalam satu wilayah yang sama, pertemuan antara dua klub bisa saja disebut derbi jika memiliki rivalitas sengit. Contoh: Le Classique antara Paris Saint-Germain dan Olympique Marseille yang bahkan bukan antara dua klub tersukses di Ligue 1 (klub dengan jumlah titel juara liga terbanyak adalah St-Etienne, 10 trofi).
Dalam konteks Persib dan Persija, tentu ada banyak faktor yang kemudian membuat pertemuan antara keduanya disebut sebagai derbi. Basis suporter yang besar, serta letak geografis yang terbilang dekat menjadi beberapa di antaranya, tetapi adalah kebencian dan kebrutalan yang kemudian paling digarisbawahi.
Sindir-menyindir dari tribun lapangan semakin menumbuhkan perselisihan. Sebagai contoh, kedua belah pihak suporter acap kali menyanyikan lagu yang tidak hanya mengatai kubu lawan “anjing”, melainkan juga boleh “dibunuh saja”. Kita vs mereka. Tidak ada di antaranya.
Sewajarnya, sebagai manusia yang memiliki akal budi, nyanyian tersebut jauh dari penjewantahan. Nyatanya, insting membunuh hadir dalam diri beberapa dari penonton di tribun. Sejak dekade 2010-an, rivalitas Persib dan Persija setidaknya meregang enam nyawa di lingkaran stadion.
Rangga Cipta Nugraha, Lazuardi, Dani Maulana, Harun Al Rasyid, Ricko Andrean, dan Haringga Sirla adalah nama-nama korban dendam dan kebencian yang dikembangbiakkan.
Bagi Filsuf Prancis, Jean Paul Sartre, “dalam sepak bola, segalanya menjadi lebih rumit dengan hadirnya kesebelasan lawan.” Sartre menggunakan kata “lawan” (opposite team) ketimbang “musuh” (the enemy team). Dalam padanan kata, keduanya punya arti berbeda.
Sepakbola sejatinya memang harus memiliki lawan, tapi tanpa perlu ada rasa permusuhan, apalagi hilangnya nyawa-nyawa tak bersalah.
Komentar