Berkesempatan membuka Piala AFF 2020 bersama Timor Leste, Thailand memanfaatkan panggung tersebut untuk memperlihatkan sikap dan dukungan mereka terhadap kaum LGBTQ+ (lesbian, gay, bisexual, transgender, queer) dengan menggunakan ban kapten bermotif pelangi. Sosial media pun seketika geger. Video pemberian ban kapten dari Kepala Pelatih Thailand Alexandre Poelking ke lengan penyerang veteran, Teerasil Dangda, yang disebarkan melalui akun Instagram Tim Nasional Thailand, @Changsuek, dibanjiri komentar.
Ada beberapa komentar positif, terutama menggunakan Bahasa Thailand, tapi lebih banyak warga internet yang memberikan pandangan negatif terkait aksi tersebut. Tidak sedikit juga komentar itu berasal dari warga +62, Indonesia. Begitu banyak pandangan miring membuat Tim Nasional Thailand sampai sempat mematikan kolom komentar untuk video tersebut.
Ini adalah pertama kalinya ban kapten pelangi digunakan di ajang Piala AFF. Belum ada negara Asia Tenggara yang melegalkan pernikahan sesama jenis, jadi wajar hal ini mendapatkan sorotan. Akan tetapi, Thailand memang dikenal sebagai salah satu negara di kawasan yang memberikan ruang bebas untuk kaum LGBTQ+. Dalam situs Nomadic Boys yang digerakkan oleh pasangan sesama jenis asal Inggris, Thailand tercatat sebagai tempat paling ramah untuk kaum LGBTQ+ di Asia setelah Taiwan.
Aktivitas seks sesama jenis di Thailand sudah diizinkan atau dianggap legal sejak 1956. Per 2002, ketertarikan dengan sesama jenis resmi dihapus dari daftar penyakit mental. Sekitar tiga tahun kemudian, militer Thailand mengizinkan anggota mereka yang merupakan bagian dari LGBTQ+ untuk mengabdi kepada negara secara terbuka.
Pada 2015, kaum LGBTQ+ di sana resmi mendapatkan perlindungan hukum. Diskriminasi terhadap mereka justru kini dianggap sebagai tindak kriminal.
Bahkan, menurut Youtuber asal Taiwan, Jer Jer, Thailand lebih ramah kepada kaum LGBTQ+ dibandingkan negaranya sendiri. Padahal Taiwan merupakan negara asal Asia pertama yang mengizinkan pernikahan sesama jenis. “Di Taiwan, parade atau bentuk dukungan apapun untuk LGBTQ+ diatur secara ketat. Di sini, publik belum memberikan pengakuan secara terbuka kepada LGBTQ+, beda dengan Thailand,” jelasnya seperti dikutip Friedrich Naumann For Freedom Foundation.
Opini Jer Jer itu dikuatkan oleh Direktur Otoritas Turisme Thailand Srisuda Wanapinyosak. “Kaum LGBTQ+ adalah pasar yang potensial dengan pendapatan di atas rata-rata. Kami ingin memberikan tempat dan membuka diri kepada mereka secara tulus. Bukan hanya mengaku ramah LGBT,” katanya. Dukungan pemerintah ini membuat Thailand punya aktivitas dan pesta khusus untuk kaum LGBTQ+ pada bulan April dan Juni. Mereka menggelar Gay Film Festival sejak 2015.
Buku FC
Penggunaan ban kapten pelangi sebenarnya bukan hal baru di dunia sepakbola. Kompetisi di Eropa, seperti Premier League dan Bundesliga, sudah cukup lama mengumandangkan gerakan anti-diskriminasi terhadap kaum LGBTQ+ dengan cara yang sama. Melihat kondisi kehidupan LGBTQ+ di Thailand, tidak aneh melihat Teerasil dan kawan-kawan jadi pihak pertama yang melakukannya. Apalagi, ini sebenarnya bukan pertama kali sepakbola Thailand bersinggungan dengan isu LGBTQ+.
Pada 2016, Anticha Sangchai membentuk sebuah klub bernama Buku FC sebagai payung sepakbola bagi para perempuan yang merupakan bagian dari LGBTQ+. Ketika pertama dibentuk, Buku FC memiliki 20 anggota. Angka itu bertambah menjadi 70 per Desember 2020.
“Sepakbola sangat populer di Thailand, tapi tidak banyak yang perempuan memainkannya di sini. Mungkin karena ada anggapan bahwa hal itu akan menjadi dosa. Di sisi lain, sepakbola memberi mereka tempat untuk menjadi bebas. Memberanikan diri untuk menghadapi perundungan yang mereka hadapi sehari-hari,” jelas Sangchai.
Baca juga: Warna-Warni Pelangi di Liga Primer Inggris
Dibentuk di tempat Sangchai tumbuh besar, Kota Pattani, tidak sedikit pemain Buku FC yang menggunakan hijab. Dibandingkan daerah lain, Kota Pattani memang diisi oleh mayoritas penduduk Muslim. Salah satunya adalah Safiyah Awea, lahir di keluarga religius dan memiliki ayah seorang imam, ia tidak merasa ada konflik antara identitas dirinya sebagai seorang Muslim dan lesbian.
”Identitas diri dan agama saya tidak bertabarakan. Siapapun yang merasa sebaliknya tidak akan bisa mengubah pandangan saya. Saya hanya menghindari untuk interaksi dengan orang-orang tersebut karena pikiran mereka tidak bisa juga diubah,” jelas Awaea.
Rancangan Undang-Undang
Lalu, kira-kira, apa pesan yang ingin disampaikan tim berjuluk Gajah Perang melalui ban kapten pelangi?
Tidak ada pernyataan resmi dari Federasi Sepakbola Thailand (FAT) terkait alasan tim nasional mereka menggunakannya. Komentar para pemain juga tidak ditemukan. Hanya saja apparel Tim Nasional Thailand, Warrix, mengatakan bahwa mereka memang mengeluarkan koleksi khusus bertemakan pelangi sebagai bentuk dukungan terhadap kaum LGBTQ+.
https://web.facebook.com/warrixthailand/videos/3152791418148961/
Di Thailand sendiri, hukum terkait pernikahan sesama jenis sedang dalam proses. Meski sudah sejak lama mengakui keberadaan LGBTQ+, pernikahan sesama jenis masih tidak diakui di sana. Menurut laporan New York Times, rancangan undang-undang yang sedang didiskusikan juga tidak melegalkan pernikahan sesama jenis.
Namun lebih ke arah pengakuan dan perlindungan hukum bagi pasangan sesama jenis. Mereka menghindari kata ‘pernikahan’ atau ‘menikah’ dan memilih menggunakan istilah ‘partnership’. Jika diloloskan dan dimasukkan ke dalam hukum, pasangan sesama jenis di Thailand punya hak serupa dengan kaum heteroseksual yang menikah. Sikap Teerasil dan kawan-kawan di Piala AFF 2020 bisa dilihat sebagai dukungan untuk meloloskan rancangan undang-undang tersebut.
https://www.instagram.com/p/CXGJzQ1gsQV/
Myanmar Melawan Militer
Thailand bukanlah satu-satunya negara yang menggunakan ban kapten pelangi di Piala AFF 2020. Kamboja dan Myanmar juga menggunakannya di pertandingan masing-masing. Penggunaan ban kapten pelangi oleh Kamboja masih sama wajarnya dengan Thailand.
Meski mereka belum secara penuh mendukung LGBTQ+ seperti Thailand, Keluarga Kerajaan Kamboja sudah mendukung isu-isu terkait hal ini sejak 2004. Kini dikuasai Raja Norodom Sihamoni, sikap mereka tetap sama. Bahkan pada Juli 2019, Pemerintah Kamboja menerima sugesti Komite Hak Asosiasi Manusia PBB untuk mulai mempertimbangkan untuk melegalkan pernikahan sesama jenis.
Beda dengan Kamboja atau Thailand, aktivitas seksual sesama jenis dianggap ilegal di Myanmar. Melakukan hal itu di tanah yang dulu dikenal sebagai Burma bisa diganjar hukuman penjara. Tapi, Myanmar yang juga menggunakan Warrix seperti Thailand sebagai apparel mereka, ikut dalam aksi dukungan terhadap kaum LGBTQ+ di Piala AFF 2020.
Kudeta militer yang dilakukan kepada Menteri Luar Negeri sekaligus Ketua Partai Demokrasi Nasional Aung San Suu Kyi pada Februari 2021 membuat gerakan LGBTQ+ di Myanmar semakin vokal. Peraih Penghargaan Nobel 1991 itu merupakan salah satu sosok yang mendukung perlindungan hukum bagi LGBTQ+ di negaranya. “Stigma membuat orang-orang kesulitan mendapatkan perlindungan dan hak mereka. Ini membahayakan hidup manusia,” katanya di 2013.
Ia juga meminta pemerintah untuk tak lagi melihat aktivitas seks sesama jenis yang didasari oleh kesepakatan bersama tidak dilihat sebagai sebuah kriminal. Ketika militer menangkap Aung San Suu Kyi dan 40 petinggi negara yang sudah dipilih oleh masyarakat, komunitas LGBTQ+ pun bergerak.
Aksi komunitas LGBTQ+ ikut memprotes perilaku pihak militer jelas membuat mereka semakin sering ditangkap. Namun di sisi lain, hal ini juga membuat mereka semakin diakui dan mendapatkan dukungan dari sesama warga Myanmar. “Mereka [kaum heteroseksual] bangga dengan kami. Kita di sini bergerak sebagai sebuah kesatuan dan ingin membentuk Myanmar yang lebih baik untuk generasi mendatang,” kata Maung E.B, seorang pria transgender kepada TIME.
Berdasarkan laporan New Mandala, mayoritas dari 1.554 warga Myanmar yang ikut dalam survey mereka juga mendukung perlindungan hukum untuk kaum LGBTQ+. Sebanyak 81% sepakat seharusnya tak ada perbedaan perilaku terhadap mereka terlepas dari orientasi seksual. Sebanyak 74% mendukung LGBTQ+ menjadi hal legal di Myanmar. Namun, hanya 35% yang mengaku dirinya akan menerima apabila anak mereka keluar sebagai bagian dari LGBTQ+. Dengan ban kapten yang digunakan Myanmar pada Piala AFF 2020, mereka seperti memberi tahu para pendukungnya di mana mereka berdiri terkait hal ini.
Komentar