Masyarakat Mesir gegap gempita melihat tim sepakbola negaranya berhasil menang dramatis demi tiket Piala Dunia 2018. The Pharaohs - julukan bermakna Pasukan Firaun - memastikan kemenangan lewat Mohamed Salah yang berhasil mengeksekusi titik putih di menit akhir. Kemenangan tipis 2-1 seakan menjadi harapan baru bagi Mesir.
Kegirangan masyarakat seantero Mesir bukan tanpa alasan, sebab Timnas Mesir tidak mencicipi pentas Piala Dunia selama 28 tahun. Terakhir kali, The Pharaohs meramaikan Piala Dunia edisi 1990 dan 1934. Itu pun tanpa sekalipun memetik kemenangan.
Meski demikian, tujuan Mesir memulai lembaran baru di Piala Dunia 2018, kembali berakhir menyedihkan. Salah dan rekan-rekanya menelan kekalahan di semua pertandingan, diantaranya oleh Uruguay (1-0), Arab Saudi (2-1), dan Rusia (3-1) yang tergabung di Grup A.
Kutukan Mesir di Piala Dunia belum kadung hilang, padahal mereka baru mengikuti tiga dari 21 edisi. Entah kapan The Pharaohs bisa menunjukkan taji sebenarnya, yang biasa mereka tunjukkan di Piala Afrika.
Terbaik di Benua Afrika
Saat di Benua Afrika, Mesir dikenal sebagai negara dengan torehan emas paling banyak di Piala Afrika. Sebanyak tujuh trofi, The Pharaohs mendominasi sepakbola Afrika, disusul Kamerun dengan lima gelar, dan Ghana empat gelar.
Edisi pertama Piala Afrika tahun 1957, adalah pijakan awal Mesir ukir catatan baik. Saat itu, hanya ada tiga lawan yang dihadapi The Pharaohs, yakni Sudan, Ethiopia, dan Afrika Selatan. Fase awal, Mesir tekuk Sudan dengan skor 2-1. Babak final, giliran Ethiopia yang dihajar 0-4.
Lalu, saat Piala Afrika edisi kedua 1959, Mesir kembali keluar sebagai pemenang. Pasukan Firaun tercatat dua kali juara beruntun di turnamen pertama dan kedua.
Setelah mempersembahkan gelar kedua, The Pharaohs kehilangan wujud dominasinya. Mereka harus menunggu setidaknya 27 tahun untuk kembali bersinar di daratan Benua Hitam. Di sisi lain, kehidupan masyarakat Mesir sedang mendapat tantangan dari barat.
Pada periode 1950-an, pemikiran Barat tengah dihindari dengan gagasan pan-Arab. Gagasan ini adalah pemikiran nasionalisme Arab demi mendukung penggabungan negara-negara di kawasan Afrika Utara dan Asia Barat. Gagasan tersebut dibawa oleh Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser.
Nasser berapi-api membawa ide pan-Arab agar Mesir bisa bersaing dan menentukan posisi di wilayah Timur Tengah. Langkah awal yang ia gunakan untuk mengeksploitasi gagasan, dengan nasionalisasi Terusan Suez. Masyarakat Mesir begitu senang, dan ingin mendukung sang presiden untuk mewujudkannya. Namun, persoalan politik terjadi sebab manuver Nasser memancing Inggris naik pitam.
Ideologi pan-Arab oleh Nasser dikombinasikan dengan ciri rezim sosialis layaknya Uni Soviet, membuat Inggris dan Amerika Serikat (AS) menghentikan aliran dana bantuan membangun Bendungan Aswan. Meski begitu, Nasser menilai bisa mendapat keuntungan lebih besar andai Suez ada pada genggaman.
Nasser mencoba halangi kapal-kapal Israel ke Terusan Suez. Langkah ini adalah wujud dukungan terhadap Palestina yang masih dirundung Israel. Nasser menentang pendudukan Yahudi terhadap negara berbasis Islam.
Israel tentu geram. Mereka menanggapi sikap politik Nasser dengan aksi militer penuh demi memperluas teritori negaranya. Sementara Inggris dan Perancis turut membantu dengan mengirim pasukan untuk menggulingkan Nasser.
Perang yang kian membahayakan banyak pihak, menurut Menteri Luar Negeri Kanada Lester B. Pearson, harus diakhiri. Lester mengajak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membantu meredakan konflik di Mesir. Akhirnya, ketiga negara yang tengah menghancurkan singgasana Nasser, berhenti.
Israel, Inggris dan Perancis menang secara militer. Meski begitu, dari segi politik, Inggris dan Perancis kalah sebab tidak mampu menguasai Terusan Suez, demikian juga Israel yang tidak bisa memperluas daerah teritorial. Pada akhirnya, mereka hanya mendapat jatah Selat Tiran.
Diskriminasi Umat Kristiani dalam Sepakbola
Gagasan pan-Arab yang diadaptasi oleh Mesir bersama Suriah, bertahan hingga saat ini. Keyakinan Islam merupakan hal paten yang sudah diperjuangkan oleh Presiden Mesir terdahulu, Gamal Abdul Nasser demi terhindar dari ideologi negara Barat. Namun, hal tersebut malah menciptakan diskriminasi dalam iklim sepakbola Mesir.
Salah satu mantan pesepakbola, Mina Bendary, menyerah pada mimpinya menjadi pemain profesional pada tahun 2015 akibat mendapat diskriminasi agama. Ia mengatakan, memiliki nama Kristen terbukti menjadi kendala untuk mengokohkan tempat di tim utama setelah bergabung dengan klub Liga Premier Mesir, Al Ittihad.
“Orang Kristen tidak bermain di klub sepakbola profesional Mesir,” katanya. “Saya diberitahu oleh pejabat klub untuk mengubah nama agar bisa bermain secara profesional,” lanjut Mina, dilansir The New Statesman.
Saat melakoni Piala Dunia 2018, tidak ada satupun pemain Kristen di dalam skuad Mesir. Bahkan di kompetisi domestik pun tidak lebih baik; tidak ada pemain umat Kristen di Liga Premier Mesir, terlebih di klub besar seperti El Ahly dan Zamalek. Padahal, sebanyak 10 persen populasi Mesir beragama Kristen.
Dalam sejarah sepakbola Mesir, hanya sedikit umat Kristen yang dilibatkan. Terhitung hanya Hany Ramzy, Ashraf Youssef, Nasser Farouk, dan Mohsen Abdelmassih yang pernah berkarir sebagai pemain si kulit bundar profesional. Dari empat, hanya nama pertama yang pernah membela Timnas Mesir.
Ahmed Hossam, lebih dikenal sebagai Mido, adalah seorang Muslim. Secara terbuka ia pernah membahas masalah diskriminasi agama yang dihadapi pesepakbola muda dan berbakat di Mesir.
“Bagaimana mungkin dalam sejarah sepak bola Mesir hanya ada empat pemain Kristen di level teratas [Liga Premier Mesir]? Ada pemain Kristen yang berhenti bermain di usia muda karena diskriminasi oleh beberapa pelatih,” ungkap Mido kepada DMC Sports Mesir.
Mido pernah mengusulkan aturan kuota untuk pemain beragama Kristen, sehingga sepakbola menjadi olahraga yang inklusif.
Saking kuatnya keinginan Mido merevolusi sepakbola Mesir, ia sempat berkelahi dengan Hassan Shehata, mantan pelatih Mesir. Shehata menuntut pemain untuk bersikap saleh (taat pada agama Islam), namun Mido tidak menaati keinginan pelatih sehingga dikeluarkan dari seleksi Timnas Mesir 2010.
Shehata merupakan pelatih Timnas Mesir paling sukses. Ia yang menakhodai Pasukan Firaun saat menang Piala Afrika tiga kali berturut-turut pada 2006, 2008, dan 2010. Menurut Shehata, keterampilan saja tidak cukup untuk menjamin pemain dapat tempat di tim utama.
“Tanpa [kesalehan], kami tidak akan pernah memilih pemain mana pun terlepas dari potensinya,” kata Shehata. “Saya selalu berusaha untuk memastikan bahwa mereka yang mengenakan jersey Mesir berhubungan baik dengan Tuhan.”
Perasaan diskriminasi ini berasal dari penganiayaan selama bertahun-tahun dan ketegangan agama yang meningkat antara Koptik Kristen dan Muslim di Mesir. Orang Kristen mengeluhkan sering diabaikan dalam pekerjaan. Sulit bagi orang Mesir untuk menyembunyikan agama mereka karena tercantum pada kartu identitas nasional individu.
Apalagi, Kristen acap kali dikambinghitamkan di Mesir. Pada 2017, setidaknya terjadi 120 serangan sektarian, termasuk serangan massa terhadap orang Kristen dan bom gereja yang mengakibatkan hampir 100 korban jiwa. Sederet kasus yang dilakukan terhadap pemeluk Kristen, tidak terlalu dianggap serius mengingat pemegang kuasa didominasi Muslim.
Laporan Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF), menyebut dari 36 pejabat pemerintah, hanya satu beragama Kristen. Bahkan, di daerah yang didominasi Kristen, tidak ada pemegang kepentingan memeluk Kristen.
Akademi Sepakbola Inklusif
Mina Bendary, seorang anak muda Kristen yang cita-citanya hanyut, tetap mau merajut mimpi para pesepakbola lain. Impian Bendary diakomodasi lewat akademi sepakbola yang ia dirikan, bernama Je Suis.
Akademi Je Suis yang didirikannya tiga tahun lalu, memberikan kesempatan pemain Kristen sekaligus Muslim berusia antara lima sampai 30 tahun untuk meningkatkan keterampilan bermain. Jika mereka memiliki bakat yang cukup, mereka bisa direkomendasikan ke klub di Liga Premier Mesir.
“Meskipun termasuk peserta Muslim, jumlah peserta Kristen jauh lebih tinggi karena mereka tahu saya memahami secara langsung kesulitan dan diskriminasi yang mereka hadapi dalam sepakbola,” ujar Bendary.
Je Suis belum memiliki kantor pusat dan bergantung pada langganan bulanan sebesar 100 Pound Mesir. Dana tersebut digunakan untuk menyewa lapangan sepak bola lokal, seperti Stadion Alex Sports, dan untuk membeli pakaian serta peralatan olahraga.
Meski begitu, Bendary tidak lantas putus asa. Ia berharap pemain di akademi terus meningkatkan keterampilan dan mendaki liga sampai lolos ke divisi utama dan tim nasional. Dia juga berencana untuk memperluas operasi akademi dengan membuka cabang di beberapa kota Mesir lainnya, termasuk Damanhur, Mahalla dan Kairo.
“Kami bekerja dalam keadaan yang sangat sulit,” kata Bendary. “Tapi kami berusaha untuk mencapai sesuatu yang positif.” sambungnya.
Sepakbola sejatinya berlaku untuk semua umat manusia, tidak terkecuali agama apa yang dianut. Namun Mesir menunjukkan bagaimana mereka masih melanggar hak seseorang Kristen menjadi pesepakbola, terlepas dari seberapa hebat mereka mengolah si kulit bundar.
Komentar