Klub siluman. Itulah sebutan publik terhadap klub yang tiba-tiba muncul di kancah sepakbola Indonesia. Mereka terbentuk lewat pergantian tangan pemilik sebuah klub, lalu eksis tanpa mengarungi kerasnya tangga piramida. Mengubah identitas secara keseluruhan seperti nama, logo, warna, markas hingga sejarah panjang klub itu sendiri, bukan hal aneh akibat ketiadaan regulasi yang perlindungan dari federasi.
Anggapan itu, atau perpindahan sebuah ke klub ke pemilik baru, bukan hal asing. Era Persijatim yang berubah menjadi Sriwijaya FC, adalah pembuka gerbong semakin maraknya klub siluman. Saat itu, Persijatim dibeli Gubernur Sumatra Selatan, Syahrial Oesman pada 2004. Dari Jakarta Timur, berpindah markas ke Palembang.
Satu hal yang pasti, perubahan Sriwijaya terbilang efektif dalam sebuah periode waktu. Laskar Wong Kito pernah menjuarai Liga Indonesia sebanyak dua kali (2007 & 2012) dan Piala Indonesia tiga kali (2008, 2009, & 2010), sebelum akhirnya ditelantarkan dan dibiarkan terdegradasi karena sudah tidak memberikan keuntungan.
Dari Sriwijaya, gelombang akuisisi klub (baca: pembelian lisensi) mulai mengalir deras, terutama dalam satu dekade terakhir. Bhayangkara, Bali, Madura United, Borneo FC, dan Persikabo adalah sederet nama klub yang berganti identitas.
Beberapa memang terbilang sukses. Bhayangkara FC menjuarai Liga 1 2017, disusul Bali United yang menjadi klub pertama menjuarai kompetisi dua kali berturut-turut di era Liga Indonesia (2019 & 2022), selang enam tahun setelah Persisam Putra Samarinda diakuisisi Pieter Tanuri.
Namun, beberapa dari klub yang dipindahtangankan dan berubah identitas, bukan berarti mereka telah memiliki lisensi dari Konfederasi Sepakbola Asia (AFC). Dari sekian klub, Persikabo sebagai satu-satunya klub divisi utama yang belum dianggap profesional.
Sejauh ini, ada sembilan klub Indonesia yang telah memiliki lisensi AFC, di antaranya Bali, Persib Bandung, Bhayangkara (mendapat lisensi 2020), Arema FC, Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, Borneo, Madura, dan PSM Makassar. Bisa dikatakan, kesembilan klub itu telah punya hakikat profesional.
Bagaimana lisensi sebuah klub menjadi paten hingga sekarang? Regulasi Lisensi Klub (CLR) diresmikan Federasi Sepakbola Internasional (FIFA) pada 1 Januari 2008. CRL mulai disebarkan dan telah ditetapkan secara global sejak akhir tahun 2016. Tujuan CRL jelas: agar setiap klub punya identitas dan profesionalisme yang bisa dipertanggungjawabkan secara integritas serta legalitas.
Regulasi lisensi klub kemudian diadopsi oleh AFC. AFC mewajibkan setiap klub memiliki sebuah lisensi resmi, yang bisa didapatkan lewat regulasi CRL. Pada prosesnya, AFC memerintahkan langsung kepada anggota asosiasi di bawahnya, dalam hal ini adalah PSSI.
Sederhananya, sebuah klub pun harus memenuhi CRL demi bisa berkompetisi di tingkat nasional. Kalaupun tidak atau belum, klub tersebut harus memenuhi syarat CRL jika ingin terlibat dalam kompetisi tingkat konfederasi, seperti Liga Champions atau Piala AFC dan dunia di bawah FIFA.
Setiap berakhirnya kompetisi tingkat nasional seperti Liga 1, biasanya klub yang keluar sebagai juara atau peringkat atas berhak untuk berlaga di turnamen konfederasi atau dunia. Ketika Bhayangkara memenangkan Liga 1 2017, mereka tidak bisa bertanding ke kancah Asia, karena tidak memiliki lisensi sampai 2020. Kesimpulannya, lisensi bersifat penting bagi klub.
Karena Bali menjuarai Liga 1 2022 dan PSM sukses menyabet Piala Indonesia 2019, maka keduanya berhak mengikuti kompetisi tingkat konfederasi sampai dunia. Keduanya kebetulan berstatus sebagai klub yang memiliki CRL.
Pada dasarnya, ketentuan CRL dibuat dengan berbagai tujuan, selain bisa ikut kompetisi global. Dalam artikel 1.1 Regulasi CRL, FIFA menyatakan objektivitas pembuatan regulasi berdasarkan pada: menjaga kredibilitas dan integritas klub, meningkatkan profesionalisme, mempromosikan nilai-nilai fair play yang baik dan sesuai dengan ekosistem sepakbola, menekankan transparansi keuangan klub, transparansi kepemilikan klub, serta transparansi bagaimana sebuah klub dikontrol.
Apakah penting? Tentu. Tapi bagaimana cara sebuah klub mendapat lisensi? Dan kenapa hanya ada sembilan klub Indonesia yang berhak mendapat lisensi?
Masalah Kepemilikan Klub Ganda
Keputusan sebuah klub mendapat lisensi, pihak yang bertanggung jawab adalah federasi. Dari tingkat dunia, lalu konfederasi, dan diadopsi oleh masing-masing asosiasi. Konfederasi maupun asosiasi berhak mengubah aturan lisensi sesuai kebutuhan dan kemampuan, tetapi tetap harus memenuhi standar minimal.
Dalam proses klub memiliki lisensi, terdapat poin-poin berbeda dari kriteria yang dibuat berdasarkan kategori A, B, dan C. Masing-masing unsur kategori punya tingkatannya tersendiri; A & B bersifat wajib, sementara C adalah syarat yang bisa dipenuhi di masa depan.
Persyaratan minimal tersebut dibagi menjadi lima kriteria. Setiap kriteria, punya padanan sifat yang berbeda-beda. Pada intinya kriteria tersebut dibagi menjadi pengembangan usia muda, infrastruktur, personel dan administrasi, hukum, serta finansial.
Meski begitu, dari setiap kriteria yang disebutkan, semua unsur di dalamnya tidak bersifat wajib, kecuali kriteria pengembangan usia muda. Hal tersebut memang seharusnya demikian, agar setiap pemain sepakbola bisa dididik secara mapan sejak kecil.
Berbeda dengan infrastruktur, yang beberapa di antaranya dikecualikan. Bahkan unsur stadion ramah disabilitas mendapat kriteria C. Padahal sebuah sepakbola yang inklusif harus meremajakan semua orang. Namun dalam waktu cepat atau lambat, beberapa unsur dengan nilai C akan diwajibkan oleh FIFA.
Dari sekian banyak kriteria, sebagaimana yang disebutkan klub siluman, adalah kepemilikan yang berpindah tangan tanpa turun ke kasta bawah. PSSI tentu bertanggung jawab atas hal ini; sebagai regulator.
Pelaksanaan regulasi oleh PSSI terbilang buruk. Mudahnya jual-beli, tanpa menunggu momen klub pailit, hanya bertujuan agar pemilik baru tidak perlu repot-repot memperjuangkan klub barunya naik ke kasta utama. Terlebih, PSSI pun tidak menghargai sejarah klub itu sendiri.
Belum lagi, ketika sebuah klub dikontrol oleh pihak yang juga mengontrol klub lain juga bermasalah terhadap proses lisensi. Dalam kriteria hukum FIFA, disebutkan bahwa siapapun pihak klub yang punya keterikatan dengan klub lain dalam satu kompetisi, tidak berhak mendapat lisensi.
Bukan hanya secara langsung, tetapi pihak klub yang memegang saham di klub lain juga menjadi hambatan dalam urusan lisensi profesional. FIFA memang tidak menyebut batasan nilai saham, tetapi ada baiknya tidak memiliki sekecil apapun saham di klub lain yang berada dalam satu kompetisi.
Sebagai contoh kasus, Erick Thohir. Erick terkenal sebagai pengusaha ulung di kalangan pebisnis lain, tak terkecuali juga di sepakbola. Jejak Erick memang tidak terlalu terlihat secara gamblang, tetapi perusahaan miliknya turut mensponsori berbagai klub divisi utama dan promosi.
Dari informasi yang kami dapat, Erick mendirikan PT Khazanah Alwahda Kreatif lewat PT Mahaka Media. PT Khazanah merupakan perusahaan berfokus dalam bidang periklanan, sekaligus pemegang saham di Bali United. Pendirian PT Khazanah juga dibantu oleh PT Trinugraha Thohir, yang sebagian sahamnya dipegang kakak Erick, Garibaldi Thohir.
Berbicara tentang Erick, ia bukanlah orang baru di skena persepakbolaan. Sebelum membangun segala perusahaan yang terkoneksi dengan klub lain, Erick pernah menjadi Wakil Komisaris Persib Bandung, lalu mengundurkan diri karena terpilih sebagai Menteri BUMN 2019-2024. Hingga kini, ia masih punya saham di Maung Bandung.
Selain itu, Erick juga menguasai 20% saham Persis Solo, klub yang dipegang sepenuhnya oleh Kaesang Pangarep. Bukan hanya Persis, Erick juga berinvestasi di RANS Cilegon yang berstatus sebagai klub promosi Liga 1 musim depan, lewat perusahaan audio bernama Noice. Noice adalah anak perusahaan Mahaka Radio. Pun, Mahaka Radio yang menginduk dengan PT Mahaka.
Tidak hanya berbasis di klub domestik, Erick juga pernah memiliki saham di klub luar negeri. DC United (Amerika Serikat), Inter Milan (Italia), dan Oxford United (Inggris) adalah sederet klub luar yang dimiliki Erick. Hanya nama terakhir yang masih dikuasai Erick bersama Anindya Bakrie sejak Agustus 2021.
Masih di lingkup keluarga Erick, Garibaldi (kakak) dan Agakhan (anak) merupakan pemilik baru Dewa United. Mereka membawa Dewa menjadi salah satu klub unggul usai ganti identitas. Dewa pun berhasil promosi ke Liga 1 musim 2022/23. Kekuasaan Agakhan di klub sepakbola tidak hanya di Dewa, tetapi juga di Persis. Tercatat Agakhan merupakan Komisaris PT PSS.
Erick, beserta keluarganya hanya satu contoh kasus, dari sekian banyak pemilik klub yang juga mensponsori klub lain di tingkat kompetisi yang sama.
“Minggu lalu, sempat komunikasi dengan salah satu teman di AFC dan dia nanya tentang kasus [kepemilikan saham] Persija sama RANS. Ini kasus terbaru yang sebenarnya sudah didengar sama AFC karena mungkin beberapa pemberitaan juga memberitakan itu, sampailah ke mereka dan mereka menanyakan [secara] informal ‘ini benar atau tidak?’" seru Praktisi Hukum Sepakbola, Tigor Shalom dalam Ruang Pandit.
Ia mengaku, sebelumnya belum tahu tentang saham RANS di Persija. “Setelah gua kulik-kulik, memang itu benar. Mungkin, dalam waktu dekat AFC akan kirim surat ke PSSI [untuk] segera menyelesaikan masalah ini.”
Maka untuk menjaga keterlibatan seseorang di banyak klub, FIFA juga membuat kriteria finansial, salah satu unsurnya berupa kebijakan transparansi. Lewat transparansi finansial, kita bisa tahu siapa saja pemilik klub yang juga masuk dalam lingkaran klub lain.
Namun dari sederet klub, hanya aliran uang Bali United yang bisa ditinjau. Bali merupakan satu-satunya klub Indonesia yang telah terjun menjadi Initial Public Offering (IPO) sejak 2019, sehingga pemilik saham sampai afiliasi anak perusahaan terlihat, seperti ditinjau dari situs IDN Financials per 30 Maret 2022.
Tanpa bermaksud menghakimi, jual beli klub sampai keterlibatan banyak pihak di banyak klub, adalah cerminan buruk PSSI. Jika bukan PSSI, siapa lagi yang harus disalahkan? Padahal FIFA dan AFC telah membuat aturan klub berlisensi sedemikian rupa.
“Ini seakan-akan PSSI atau federasi membiarkan ada kekosongan hukum. Dia tahu ini ada masalah tapi dia membiarkan itu terjadi. Memang sesulit apa sih untuk membuat regulasi? Memang sesulit apa sih untuk memanggil klub, untuk merapikan ini semua, untuk kemudian sama-sama menjalankan dengan benar,” lanjut Tigor.
Setiap klub yang mengikuti proses lisensi, kata Tigor, wajib menyampaikan semua informasi terkait dengan status hukum. “Siapa yang punya saham? Ultimate controlling party-nya siapa? Karena sedikit berbeda pengertiannya dengan (pembagian) saham, bahkan di luar (negeri) sendiri ada pemahaman berbeda tentang shareholders dan pemegang voting rights. Itu yang kemudian diatur sedemikian rupa dalam regulasi Club Regulation Licensing.”
Untuk mengetahui siapa pemegang saham dari masing-masing klub, sebut Tigor, PSSI memiliki segudang data. Menurut Tigor “tapi atas nama kerahasiaan, mereka tidak bisa menampilkan itu ke publik”.
Padahal, dalam Statuta PSSI Pasal 19 poin 3, dijelaskan bahwa larangan pihak atau perusahaan mengontrol lebih dari satu klub. “Dalam keadaan apapun, tidak ada pribadi kodrati atau badan hukum (termasuk induk perusahaan dan anak perusahaan) yang dapat mengontrol lebih dari satu Klub atau Lembaga Terafiliasi yang keberlangsungan dapat mengganggu integritas pertandingan atau kompetisi Sepak Bola.”
Komentar