Penulis: Maman Suryaman (Legenda Timnas Indonesia, peraih medali emas sepakbola SEA Games 1991)
Masih teringat jelas pengalaman saat persiapan SEA Games 1991, 31 tahun lalu. Saat itu, dua bulan sebelum berangkat ke Manila, saya bersama teman-teman yang terpilih untuk membela tim nasional melakukan pemusatan latihan (TC) di Bandung selama satu setengah bulan.
Sepanjang karier saya sebagai pesepakbola, TC Bandung merupakan TC terberat yang pernah saya rasakan. Kami digembleng latihan fisik a la tentara. Letihnya luar biasa. Setiap hari, rasanya seperti di “neraka”.
Hampir semua pemain mengeluh, ngedumel, kesal, dan marah. “Ini kita mau main bola atau jadi tentara sih,” kata Peri Sandria. Selain itu, Kas Hartadi juga sampai menangis dan berkata: “Bal-balan opo ikiI, kok, pakai naik turun gunung segala, sih.” Bahkan, Fakhri Husaini dan Jaya Hartono minggat dari TC malam-malam; memilih keluar dari timnas.
Ada tiga versi cerita terkait kejadian tersebut. Pertama, Fakhri dan Jaya tidak kuat menjalani kerasnya porsi latihan yang diberikan pelatih Anatoli Polosin. Kedua, ada alasan keluarga. Ketiga, mereka dicoret dari timnas. Dalam buku biografi IGK Manila, Ada Surga Di Telapak Kaki Ibu, Fakhri Husaini dan Jaya Hartono sempat protes keras terkait beratnya latihan fisik ke Polosin. Lalu, mereka berdua secara khusus dipanggil IGK Manila, yang kala itu menjabat sebagai manajer timnas, untuk berdiskusi. Setelah selesai berdiskusi, akhirnya mereka dicoret dari timnas dan dipulangkan di malam yang sama.
Coba kalian bayangkan: latihan dilakukan tiga kali sehari, yakni pagi, siang, dan sore. Setiap pagi, bus kami berangkat menuju Gunung Lagadar atau ke lapangan Pusat Pendidikan Polisi Militer Angkatan Darat (Pusdikpom), Cimahi. Di tiga hari pertama kami diminta naik, turun, dan keliling gunung selama tiga jam menggunakan tongkat trekking dan dipandu tentara. Setelah beradaptasi dan mengetahui trek gunung, kami berkeliling tanpa tongkat dan panduan tentara. Dari yang awalnya hanya satu putaran, Polosin meminta kami untuk terus menambah jadi dua, tiga, hingga enam putaran!
Di hari-hari berikutnya, porsi latihan fisik semakin berat. Kami terkadang diminta menggendong pemain satu sama lain setiap ada tanjakan. Suatu ketika, akibat terlalu capai, para pemain sepakat untuk mencari jalan pintas untuk memotong jalur menuju tempat finis.
Ada kejadian konyol yang masih saya ingat saat potong jalur ini. Kami harus melewati jalur kecil yang sangat curam. Jalur ini hanya bisa dilewati dengan cara merosot di atas tanah dan bebatuan. Saat itu, saya melihat Peri Sandria seperti orang linglung, mondar-mandir ke sana dan ke mari. Ternyata, dia sedang kebelet dan mencari tempat buang air besar (BAB).
Peri memang jail dan iseng. Saat jalur sepi, Ia diam-diam memilih BAB di tengah-tengah jalur kecil yang sangat curam yang biasa dilewati para pemain. Akhirnya, ada sekitar lima pemain yang baju, tangan, dan kakinya kena tahinya Peri setelah merosot di jalur ini. Peri lalu dimarahi oleh kelima pemain tersebut, sementara orangnya sendiri hanya cengar-cengir dan ketawa saja.
Besoknya, Sudirman yang sedang menceret-menceret mencoba membalas Peri. Eh, yang kena malah kiper Eddy Harto. Saya menduga, jangan-jangan, ini rahasia Eddy Harto sukses memblok tiga penalti pemain Thailand di final SEA Games 1991. Eddy mendapat berkah tahinya Sudirman. Hehehe.
Selain itu, ada juga satu hal yang paling dinantikan pemain saat lari naik-turun Gunung Lagadar: kemunculan mobil pick-up pengangkut sayur. Jika kebetulan sedang ada mobil pick-up lewat, kami memberhentikannya dan izin menumpang mobil hingga 200 meter sebelum garis finis. Setelah mobil berhenti, kami langsung turun dan lari menuju garis finis, meneruskan lap berikutnya.
Namun, setelah numpang mobil pick-up dan memotong jalur tiga kali, Polosin engeh. Para pemain cepat sekali sampai finis, berbeda dengan estimasi waktu-waktu sebelumnya. Akhirnya, dia ngamuk-ngamuk, memarahi kami. Sebagai hukumannya, pria asal Rusia itu menambah porsi latihan fisik yang lebih berat lagi. Ia meningkatkan pengawasan dengan membuat beberapa titik pos sebagai check poin yang dijaga oleh para asisten dan staf untuk memastikan ‘trik’ kami tidak terulang.
Selesai mengitari gunung berkali-kali, kami balik ke hotel untuk istirahat selama dua jam. Biasanya, latihan siang dimulai pukul 11.00 hingga 13.00 di GOR di kota Bandung. Kami kembali ditempa latihan fisik di dalam ruangan. Sore harinya, sekitar jam 15.30, kami latihan teknik, taktik tim, dan shadow football di Stadion Siliwangi, Bandung hingga pukul 18.00.
Sebenarnya, teman-teman lebih senang jika latihan diadakan di lapangan Pusdikpom Cimahi daripada di Stadion Siliwangi. Mengapa demikian? Saat itu, ada banyak “harta karun” berupa uang pecahan Rp20.000 dan Rp10.000 yang disembunyikan di dalam tanah pinggir lapangan bola atau belakang gawang oleh para tentara. Konon, para tentara yang sedang pelatihan di Pusdikpom sengaja menaruh uang di tanah untuk menghindari razia. Setelah ada kerabat atau keluarga yang menjenguk tentara dan memberikan uang, sebelum pulang ke barak mereka mampir ke lapangan untuk menggali tanah dan diam-diam menaruh uangnya di sana.
Awalnya, Pembantu Umum (PU) timnas saat itu, Budi dan Saipul (kami biasanya memanggil Babeh), secara tidak sengaja menemukan uang beberapa pecahan Rp10.000 dan Rp20.000 di dalam tanah. Informasi penemuan `harta karun` ini cepat menyebar ke telinga para pemain timnas. Besoknya, beberapa pemain timnas mencoba membuktikannya dan mendapat beberapa puluh ribu dari dalam tanah.
Di hari-hari berikutnya, setiap bis kami sampai ke lapangan Pusdikpom, sambil masih menenteng sepatu bola, banyak pemain langsung berlarian menuju pinggir dan belakang lapangan mencongkel-congkel tanah menggunakan batang pohon mencari `harta karun`. Kami mencari tanah-tanah yang belum pernah dicongkel. Saat itu, beberapa pemain ada yang menemukan sampai Rp50.000. Biasanya uangnya digunakan untuk jajan di luar hotel kalau sedang libur atau istirahat latihan. Uang ini lumayan besar karena gaji kami di timnas saat itu Rp350.000 setiap bulan.
TC Bandung memang punya kesan tersendiri bagi saya. Sebagai informasi, TC Bandung fokus ke peningkatan fisik, mental, dan kedisiplinan pemain. TC ini terjadi bukan tanpa alasan. Setelah mengamati beberapa pertandingan Galatama, Polosin berkesimpulan bahwa pemain Indonesia hanya mampu bermain bagus selama satu babak saja. Di babak kedua, banyak pemain sudah kehilangan fokus, oleng, dan sering tolak pinggang. Hal ini dibuktikan dengan V02 max rata-rata pemain timnas saat itu yang hanya di angka 50-55. Sangat jauh dari ekspektasi pelatih.
Polosin dan IGK Manila punya visi yang sama: jika timnas ingin juara, fisik pemain harus terlebih dahulu ditingkatkan. Bagi mereka, fisik pemain sangatlah penting dan merupakan kunci keberhasilan sebuah tim. Akhirnya, mereka menargetkan V02 max para pemain di angka 60.
Berkat kerja keras, tekad kuat, dan disiplin tinggi dari para pemain selama satu setengah bulan, rata-rata V02 max pemain bisa meningkat dan bahkan melampaui target. V02 Max kami mencapai angka di atas 60.
Kami baru menyadari buah hasil dari tempaan TC di Bandung selama pertandingan SEA Games Manila. Selama 2x45 menit, kami bermain tanpa kenal lelah. Fisik kami sangat prima. Bahkan, dapat saya katakan, kebugaran kami sudah setara pemain-pemain Eropa.
Saya masih ingat, sesungguhnya, kami hanya lari ke sana-ke mari, mengejar bola, mengumpan bola ke depan, dan mencetak gol. Tidak ada istilah permainan tika-taka a la Barcelona atau teknik tinggi yang kami tampilkan.
Setiap pertandingan kami lalui dengan kemenangan. Puncaknya, kami bisa merebut gelar juara setelah berhasil mengalahkan Thailand di final dengan drama adu penalti. Semua kerja keras hasil latihan fisik ala tentara di Bandung akhirnya berbuah manis. Kami para pemain seperti sudah mengamalkan sebuah pepatah: “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.”
Komentar