Kunci prestasi olahraga di level elit bermula dari level akar rumput (grassroot) yang kuat. Akar rumput ini, yang identik dengan pembinaan usia dini, jarang terekspos. Pembinaan usia dini erat kaitannya dengan pemasalan, yakni banyaknya orang yang terlibat dalam olahraga - dalam hal ini sepakbola.
Di sepakbola, atlet-atlet profesional (yang bermain di piramida kompetisi resmi), jauh lebih sedikit dibanding mereka yang amatir - yang bermain sepakbola untuk bersenang-senang, yang seminggu sekali bermain fun football, atau yang saban sore bermain sepakbola untuk kesenangan, atau tarkam (antar-kampung),
Tarkam merupakan pertandingan (dalam kompetisi atau persahabatan) antara satu kampung (tim) melawan kampung (tim) lain (entah dalam sepakbola atau bukan).
Bahwa kemudian ada sebuah tim yang menyewa pemain profesional di sebuah kompetisi, itu urusan lain, tergantung pada ketersediaan dana dan peraturan kompetisi tarkam itu sendiri. Bisa saja sebuah tim diharuskan memainkan pemain yang berasal dari kampung tempat di mana tim itu berasal.
Bagi tim yang didanai orang kaya, mendatangkan pemain-pemain terkenal untuk membela tim jelas bukan urusan keuntungan. Hadiah juara tarkam tentu tak sebanding dengan pengeluaran untuk membayar pemain. Katakanlah, dalam satu kompetisi ada lima pertandingan. Di setiap pertandingan, orang kaya itu harus mengeluarkan uang dua puluh juta, misalnya, untuk membayar pemain - sementara uang hadiah hanya lima belas juta.
Maka, mustahil mereka mengharapkan keuntungan secara ekonomi. Popularitas, gengsi bahkan mungkin hanya sekadar pengakuan yang mereka harapkan. Tidak ada salahnya seseorang yang mencalonkan diri menjadi anggota DPR atau kepala desa tak segan-segan mengeluarkan banyak uang untuk membiayai sebuah tim agar ia mendapat banyak pemilih.
Harapan dan kesenangan
Karena bagaimanapun, sepakbola tarkam identik dengan amatirisme - bermain untuk bersenang-senang. Sebagaimana orang bersenang-senang, kalaupun harus mengeluarkan uang untuk membayar pemain, membeli sepatu atau menyewa lapangan, misalnya, maka tak terlalu menjadi soal. Bagi para pemain, kalau mendapat uang dari tarkam pun tak akan ditolak, karena bermain sepakbola bukanlah cara utama untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Seorang striker andalan tarkam bisa saja adalah seorang pemilik konter ponsel atau pemilik toko kelontong yang juga pernah bermain untuk salah satu tim Liga 3. Seorang sayap kanan langganan tarkam, di mana ia sudah bermain di banyak daerah untuk berbagai tim, yang gocekannya selalu dinantikan oleh para penonton di pinggir lapangan, bisa saja seorang peternak lele sekaligus punya warung pecel lele yang buka pada malam hari.
Di akar rumput, sepakbola dimainkan jauh dari ingar bingar profesionalisme. Sepakbola dimainkan dengan antusiasme, di lapangan-lapangan yang terkadang tak rata, sempit, dan lebih mirip sawah saat musim hujan tiba.
Tarkam sudah dilabeli stereotip sebagai pertandingan yang kasar. Maka tak heran apabila muncul guyonan “mainnya tarkam banget, nih,” untuk menunjuk seorang pemain yang melakukan pelanggaran keras atau bermain kasar. Stereotip memang menyederhanakan perkara-perkara yang kompleks.
Permainan sepakbola selalu menghendaki kontak fisik. Duel udara yang terkadang menyertakan sikutan, duel bahu yang membuat salah satu pemain terjatuh, perebutan bola yang justru berakhir dengan injakan atau tendangan ke arah kaki atau tubuh lawan, dan sebagainya. Hal itu terjadi karena, pada prinsipnya, berusaha untuk mencegah lawan memasukkan bola.
Di liga-liga top dunia, misalnya, kejadian kasar yang biasanya lekat dengan sepakbola tarkam terkadang masih kita jumpai. Anda tentu ingat dengan tendangan kungfu Nigel de Jong ke dada Xabi Alonso di final Piala Dunia 2010. Dan, de Jong hanya dikenai kartu kuning, alih-alih kartu merah. Maka, stereotip kasar yang melekat pada tarkam sudah seharusnya kita kikis perlahan.
Perlu diingat pula, karena tarkam berada di tingkat paling dasar piramida kompetisi, maka yang memainkannya lebih banyak dari pemain elit. Ini sebenarnya potensi yang amat bagus untuk membentuk piramida kompetisi yang berjenjang dan panjang. Bisa jadi, jawaban atas pertanyaan klise mengapa begitu sulit mencari sebelas pemain timnas yang bagus, dan mengapa pemainnya itu-itu saja adalah karena Indonesia tak mampu memaksimalkan potensi banyaknya orang yang bermain sepakbola dengan mengadakan kompetisi yang berjenjang. Maka, dalam iklim kompetisi yang hanya mengenal tiga level di negara seluas ini, tarkam adalah keniscayaan dan rasanya mustahil untuk mengabaikannya.
Belum jelas kapan tepatnya istilah “tarkam” mulai digunakan, walau sepakbola akar rumput yang dimaksud dengan “tarkam” itu sudah dimulai sejak lama. Yang pasti, sepakbola tarkam akan terus dimainkan selama masih ada lapangan dan masih ada gairah untuk bersenang-senang.
17 Agustus identik dengan pertandingan-pertandingan sepakbola, entah antar-RT atau antar-desa. Sepakbola 17-an adalah momen pengingat bahwa sepakbola dimainkan dengan kesenangan sejak dini. Akar rumput yang kuat adalah dasar yang bagus untuk pondasi piramida pembinaan.
Sepakbola 17 Agustus adalah tentang merayakan dan bergembira dengan sepakbola. Karena tak ada prestasi tanpa partisipasi, dan tak ada partisipasi tanpa kegembiraan. Begitu pula tarkam, label “kasar” pada tarkam perlu kita hilangkan. Karena tarkam sesungguhnya adalah partisipasi dan kegembiraan. Rayakan!
Komentar