Tinggal menghitung hari kita akan menyambut helatan akbar Piala Dunia 2022. Berbagai infrastruktur pun sudah digenjot Qatar sejak dinyatakan jadi tuan rumah pada 2010 lalu. Negara ini mengocek kantongnya sebanyak 3.344 triliun sehingga menjadi tuan rumah Piala Dunia paling mahal dalam sejarahnya jika mengutip dari Statista.
Dari dana sebanyak itu alokasi untuk pembangunan stadion berkisar hingga 100 triliun lebih dan sisanya untuk pembangunan infrastruktur seperti hotel, jalan, bandara, transportasi dan fasilitas penunjang lainnya. Termasuk untuk mengurangi jejak karbon pada pembangunan infrastruktur Piala Dunia.
Dari laman Goal, Qatar menjelaskan upaya-upaya yang dilakukannya untuk mengurangi jejak karbon yang mereka keluarkan saat pembangunan infrastruktur Piala Dunia 2022 dan menjalankan Piala Dunia dengan netral karbon pertama kali.
Terdapat lima pilar yang mereka amini untuk melakukan strategi keberlanjutan mereka dalam menyelenggarakan Piala Dunia. Lima pilar tersebut adalah; manusia, ekonomi, sosial, lingkungan dan tata kelola.
Pilar manusia meliputi kesejahteraan dan hak pekerja. Kemudian pilar sosial tentang memastikan aksesilibitas dan pengelaman menonton gelaran ini bagi penggemar yang hadir. Lalu untuk pilar ekonomi, mereka berusaha untuk mendorong pembangunan ekonomi di sekitar proyek Piala dunia. Dan untuk pilar tata kelola, mendorong pemangku kepentingan Piala Dunia untuk mengadopsi praktik berkelanjutan dalam jangka panjang.
Dan fokus inti mereka ada pada pilar lingkungan. Bagaimanapun Qatar untuk penyelenggaraan Piala Dunia ini dipastikan netral karbon. Terlihat dari fasilitas yang mereka lakukan dengan desain stadion yang bisa dibongkar pasang, hal itu upaya untuk mereka menjalankan Piala Dunia yang ramah lingkungan.
Dari semua upaya yang mereka lakukan untuk menyelenggarakan Piala Dunia yang bebas karbon dan ramah lingkungan. Nyatanya masih banyak yang mengkritik apakah upaya itu benar dijalankan atau hanya sekedar wacana belaka.
Upaya Menutupi Dampak Lingkungan
Delapan stadion yang menjadi tempat bagi 32 tim dari berbagai negara ini merupakan hasil dari pemakaian ulang material dari barang yang sudah tidak terpakai agar ramah lingkungan.
Salah satunya Stadion 974 yang bisa dibongkar pasang. Sesuai dengan namanya, material kontainer yang menjadi bahan bangun stadion tersebut juga berjumlah 974. Angka itu merupakan kode panggilan internasional untuk Qatar.
Dilansir dari Doha News, stadion ini berkapasitas 40.000 orang yang nantinya setelah penyelenggaraan Piala Dunia selesai akan dipangkas bagian tribun atas sehingga mengurangi kapasitasnya hanya 20.000 saja. Keberlanjutan yang dimaksud Qatar dari situasi ini sebagai langkah mereka untuk tidak membangun kembali infrastruktur keolahragaan karena bisa memanfaatkan material dari stadion 974 ini
Tingkat atas yang dipangkas ini lah yang akan disalurkan ke negara-negara berkembang untuk dibuat fasilitas keolahragaan. Hal ini juga sebagai contoh praktik konstruksi yang berkelanjutan, setelah dikikis kapasitasnya dan akan diubah menjadi situs yang ada di tepi laut. Nantinya, fasilitas itu bisa difungsikan untuk dinikmati oleh masyarakat setempat.
Dan juga nantinya akan dibangun fasilitas ruang terbuka hijau yang akan menggantikan stadion. Namun, kemegahan dan wacana ramah lingkungan itu mendapat respon keras dari organisasi yang berfokus di krisis iklim, 350.org.
Dari laporan yang ditulis DW, Hajj mengkritik wacana tersebut karena hal itu hanya sekedar cara kerja kehumasan yang sangat baik. “Yang mereka lakukan hanyalah ‘mesin kehumasan’,” ujar Zeina Kahil Hajj, selaku Kepala Juru Kampanye 350.org.
Sependapat dengan apa yang diutarakan oleh Hajj, Direktur Ekonomi Sirkular Environmental Action Germany (Umwelthilfe), Philipp Sommer, mengatakan mengimbangi emisi yang ada dengan menanam pohon seperti yang diselenggarakan penyelenggaraan dan penggunaan tenaga surya di stadion itu bukan bersifat berkelanjutan.
“Ini seperti greenwashing hanya untuk menutupi dampak buruk,” katanya pada DW. Ia juga mempertanyakan apakah benar-benar perlu membangun fasilitas yang baru hanya untuk satu tujuan saja, Sommer juga beranggapan jika suatu negara memiliki isu terkait lingkungan pasti akan ada pembangunan yang mengatasnamakan ramah lingkungan.
“Pertama saya akan mempertanyakan, apakah perlu membangun stadion hanya untuk satu tujuan? Mereka berencana untuk membongkarnya. Tapi bisakah pertandingan diselenggarakan di stadion yang sudah ada, stadion baru ini nantinya tidak akan digunakan lagi karena sudah tidak dibutuhkan. Ya, itu bukan hal yang benar-benar berkelanjutan,” tambahnya.
Seorang Profesor Olahraga dan Ekonomi Geopolitik dari The Skema Business School Paris, Simon Chadwick yang mengatakan kepada The Guardian. Jika turnamen Piala Dunia ini mengusung visi bebas karbon selama penyelenggaraan itu dirasa begitu mustahil.
Ia berpendapat bahwa Qatar merupakan salah satu basis sumber daya minyak terbesar. Artinya, mana mungkin mereka mampu mengimbangi emisi karbon yang telah mereka kerjakan sejak pertama kali melakukan ekstraksi pada tahun 1930. Lalu bagaimana juga mereka bisa mengimbanginnya selama satu bulan.
“Dari peringkat kota-kota yang paling tercemar di dunia selama satu dekade terakhir, Qatar berada di posisi sepuluh besar. Faktornya sangat jelas, polusi yang ada berasal dari konstruksi yang berakibat pada lingkungan alam. Jika berbicara selama empat minggu, Qatar memiliki sumber daya dan kecenderungan untuk membuat turnamen bebas karbon. Itu mungkin agak tidak jujur,” sebutnya.
Chadwick justru memberikan pandangan lain tentang upaya pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan ramah lingkungan ini. Ia justru menganggap bahwa upaya itu merupakan sebuah bualan untuk menutupi dampak lingkungan yang sudah buruk
“Ini hampir seperti taktik pengalihan dan mungkin itu greenwashing,”. Ia juga menambahkan jika memang Qatar ingin melakukan keberlanjutan infrastruktur dan bebas dari karbon, kenapa mereka tidak melakukannya sejak awal dimana mereka mulai mengekstraksi sumber daya alam, bukan sejak ditetapkan sebagai tuang rumah Piala Dunia.
Ambisi Keberlanjutan Ini Apakah Akan berlanjut?
Stadion sepak bola menjadi tempat yang paling meriah, terawat, dan ramai dikunjungi orang ketika diselenggarakan Piala Dunia. Akan tetapi nasibnya justru berbeda ketika turnamen tersebut sudah selesai.
Sebagai contoh pada Piala Dunia 2010, Afrika Selatan sebagai tuan rumah membuat stadion begitu ramai dipadati oleh penonton yang hadir. Namun setelah turnamennya berakhir, stadion menjadi tak terurus.
Stadion Green Point yang ada di Cape Town kini terbengkalai dan tak terurus karena sudah tak terpakai dan tidak ada kegiatan yang mengharuskan untuk mengawasi stadionnya secara rutin. Terlebih ketiadaan dana yang membuat stadion ini menjadi “sarang laba-laba” karena tidak dirawat.
Selain di Afrika Selatan, hal seperti ini juga terjadi setelah Piala Dunia 2014 di Brasil. Stadion Maracana menjadi contoh lain dari stadion yang terbengkalai setelah Piala Dunia. Sempat diperbaiki menjelang Olimpiade Rio De Janeiro pada 2016, tetapi kembali terbengkalai setelah gelaran itu rampung.
Dalam laporan CNN pada 2017, kondisi Stadion Maracana sudah mulai tak terawat hanya berselang enam bulan dari olimpiade. Salah satunya seperti rumput yang hijau sudah mulai menguning dan kering di Stadion Maracana.
Apakah nasib stadion yang ada di Qatar untuk penyelenggaraan acara akbar itu akan mendapatkan nasib yang sama? Atau benar seperti yang dituturkan oleh pihak penyelenggara bahwa stadion akan menjadi warisan bagi negara lain?
Perlu dipastikan kembali setelah Piala Dunia termahal ini selesai dilaksanakan. Apakah semua stadion yang telah mengalami pembangunan hebat ini bisa terurus dan bermanfaat bagi lingkungan keberlanjutan?
Dengan jaminan bahwa delapan stadion yang dipakai dalam Piala Dunia telah mendapatkan menjadi tolak ukur keberlanjutan stadion, mendapatkan sertifikasi, dan mendapatkan rating bintang empat dan bintang lima untuk Stadion Education City dari Global Sustainability Assessment System (GSAS).
Komentar