Qatar menggelontorkan sekitar 228 miliar Dollar Amerika Serikat (sekitar 3.572 triliun Rupiah) untuk pembangunan infrastruktur Piala Dunia 2022, termasuk membangun tujuh stadion baru. Ini tidak salah. Menggelar turnamen sebesar Piala Dunia jelas butuh infrastruktur terbaik. Hanya saja, sejarah menunjukkan bahwa bangunan-bangunan megah itu kerap terbengkalai atau merugi setelah turnamen tutup tirai.
Salah satu kasus yang paling populer adalah stadion-stadion di Brazil pasca Piala Dunia 2014. Stadion Arena da Amazonia di Manaus, misalnya. Lokasinya yang sulit dijangkau karena kota Manaus berada di tengah hutan Amazon membuat stadion yang mulai dibangun pada 2010 itu kesulitan bertahan hidup.
Memang, stadion itu sempat digunakan untuk beberapa pertandingan sepakbola putri di Olimpiade 2016 dan tim nasional putra Brazil untuk Kualifikasi Piala Dunia 2018. Guns n` Roses juga pernah menggelar konser di sana. Tetapi, seperti yang ditulis These Football Times, Arena de Amazonia yang dibangun dengan harga 200 juta Poundsterling (3,6 triliun Rupiah) beroperasi dengan menelan kerugian demi kerugian.
Berdasarkan laporan AP, Stadion Mane Garrincha di Brasilia yang bernilai 550 juta Dollar AS (8,6 triliun Rupiah) sangat jarang digunakan. Ketika menggelar sebuah pertandingan, penonton yang hadir tidak lebih dari 400 orang. Arena Pernambuco di Recife yang berkapasitas 46.000 penonton bahkan tidak memiliki tim lokal untuk memakai stadion secara rutin.
Brazil jelas tidak belajar dari Afrika Selatan yang merasakan nasib serupa terlebih dahulu. Setelah menghabiskan 1,1 miliar Dollar AS (17,2 triliun Rupiah) untuk perbaikan dan pembangunan Piala Dunia 2010, pada akhirnya banyak stadion yang jarang atau bahkan tidak digunakan sama sekali.
Salah satu contohnya adalah Stadion Cape Town yang berkapasitas 55.000 penonton. Coliseum, organisasi yang berfokus pada arena dan stadion olahraga, menuliskan bahwa Stadion Cape Town merugi sekitar 60 miliar Rupiah pada laporan keuangan tahun 2019.
Nasib Rusia setelah Piala Dunia 2018 pun 11-12. Mereka mengeluarkan sekitar 10,8 miliar Dollar AS (169,2 triliun Rupiah) untuk pembangunan infrastruktur. Namun, dari 12 stadion yang digunakan untuk penyelengaraan Piala Dunia, hanya Gazprom Arena (St. Petersburg) dan Spartak Stadium (Moskow) yang mampu dipenuhi hingga puluhan ribu penonton ketika Liga Rusia bergulir.
Fenomena ini dikenal dengan istilah White Elephant (Gajah Putih). Ekonom Amerika Serikat, Andrew Zimbalist, menjelaskan bahwa `Gajah Putih` adalah situasi di mana acara olahraga besar yang membutuhkan investasi besar-besaran dalam infrastruktur dalam jangka pendek kerap membuat bangunan itu pada akhirnya menjadi beban keuangan kota atau tak berguna sama sekali setelah acara.
Istilah `Gajah Putih` sendiri berawal dari Asia Tenggara, tepatnya di kawasan Thailand, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Setidaknya sejak abad ke-17, gajah putih diketahui telah menjadi binatang yang dianggap agung di sana. Selain itu, binatang ini juga dianggap membawa keberuntungan. Raja di kawasan tersebut memelihara gajah putih sebagai simbol kekuasaan dan kekuatan.
Makna gajah putih mulai bergeser (utamanya di Amerika Serikat) ketika pengusaha bernama Phineas Taylor Barnum membeli gajah putih dari Raja Siam untuk pertunjukkan sirkusnya pada 1884.
"Ia (Barnum) mendengar cerita tentang gajah putih suci di Burma dan Siam dan ingin memiliki satu. Raja Siam ragu-ragu melepas salah satu (peliharaannya), tetapi setelah tiga tahun dan uang sebesar 250.000 Dollar US, Barnum membeli `Toung Taloung, Gajah Putih Sakral Burma`," seperti yang ditulis Les Harding dalam bukunya berjudul Elephant Story: Jumbo and P.T. Barnum Under The Big Top. "Gajah Putih Sakral Burma itu bukanlah salah satu kesuksesan Barnum. Pengalaman Barnum dengan binatang itu mempopulerkan istilah `Gajah Putih`, untuk sesuatu yang lebih mahal untuk dirawat daripada nilainya."
Tidak Ada `Gajah Putih` di Qatar
Dengan sekitar 2,6 juta penduduk, Qatar merupakan negara tuan rumah Piala Dunia terkecil setelah Swiss pada 1954. Mereka juga bukan negara dengan kultur dan sistem kompetisi sepakbola yang kental, seperti di negara-negara Eropa atau Amerika Selatan. Maka, rasanya wajar jika pembangunan tujuh stadion baru untuk Piala Dunia 2022 dicurigai akan menjadi `Gajah Putih` baru.
Pihak Qatar sendiri memastikan seluruh stadion yang digunakan untuk Piala Dunia 2022 tidak akan berakhir terbengkalai selepas turnamen. Setidaknya, Stadion Internasional Khalifa yang berada di Doha dipastikan bakal tetap digunakan untuk pertandingan-pertandingan internasional.
Stadion Ahmad Bin Ali akan menjadi salah satu kandang tim Liga Super Qatar, Al Rayyan. Begitu juga dengan Stadion Al Janoub yang akan digunakan oleh Al Wakrah, meski kapasitasnya bakal dikurangi dari 40.000 menjadi 20.000 penonton.
Pengurangan kapasitas ini merupakan salah satu strategi Qatar untuk menghindari `Gajah Putih`. Stadion Education City yang berada 13 kilometer dari Doha juga bakal dikurangi dengan jumlah sama, lalu diperuntukkan bagi anak sekolah dan kuliah.
Hal serupa juga akan dialami Stadion Al Thumama, meski belum diketahui pasti penggunaannya setelah Piala Dunia 2022. Pertanyaannya, apa yang akan terjadi kepada kursi-kursi yang dilepas itu?
"(Kursi-kursi itu) akan kami tawarkan kepada negara-negara yang membutuhkan bantuan infrastruktur olahraga. Ini bisa mendorong promosi kultur sepakbola dan kecintaan kepada olahraga kepada seluruh dunia," ujar Ali Al Dosari selaku Direktur Pemasangan Stadion Education City kepada AP.
Total, diperkirakan ada 170.000 kursi dari stadion-stadion di Qatar yang akan disumbangkan setelah Piala Dunia.
Sementara, Stadion Lusail dan Stadion Al Khor City rencananya akan dikembangkan sebagai pusat komunitas. Nantinya, di sana akan dibangun sekolah, pertokoan, hotel, hingga rumah sakit.
Tidak semua stadion di Qatar akan tetap berdiri. Stadion 974 di Ras Abou Aboud akan dibongkar total untuk dijadikan sebagai kawasan pelabuhan. Qatar memastikan bahwa pembongkaran itu telah memenuhi standar pembangunan berkelanjutan, terutama mengingat Stadion 974 memang dibangun menggunakan material kontainer yang bisa dibongkar pasang.
"Kami telah menggunakan sumber material berkelanjutan dan mengimplementasikan rencana yang inovatif untuk memastikan turnamen kami tidak menyisakan `Gajah Putih`," ujar Sekretaris Jenderal Komite Tertinggi, Hassal Al Thawadi.
Qatar boleh mengklaim tidak akan ada `Gajah Putih` selepas Piala Dunia 2022, tetapi tentu waktu yang akan memberikan jawaban sesungguhnya.
Komentar