Piala Dunia 2022 tinggal menghitung hari. Namun, gejolak kontroversi yang menyelimuti tak kunjung surut. Alih-alih, isu tak sedap terkait penunjukkan Qatar sebagai tuan rumah semakin menyeruak.
"Bagi saya, jelas: Qatar adalah sebuah kesalahan. Itu merupakan pilihan yang buruk," ujar mantan Presiden FIFA, Sepp Blatter, kepada surat kabar Swiss, Tages-Anzeiger. "Qatar adalah negara yang terlalu kecil. Sepakbola dan Piala Dunia terlalu besar bagi mereka."
Ini merupakan pertama kalinya Blatter berbicara tentang Qatar dan Piala Dunia 2022 secara terbuka kepada media setelah dinyatakan tidak bersalah atas dugaan penggelapan dana oleh pengadilan Swiss pada Juli 2022. Blatter dan mantan Presiden UEFA, Michel Platini, diduga melakukan kecurangan pada 2015, yang berujung dengan pengunduran dirinya.
"Kami (FIFA) sebenarnya telah bersepakat dalam komite eksekutif bahwa Rusia mendapatkan (tuan rumah) Piala Dunia 2018 dan Amerika Serikat untuk 2022. Itu adalah gestur perdamaian dari dua lawan politik untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia secara beruntun," ujarnya.
Harapan tersebut tidak tercapai. Dalam pemungutan suara yang digelar di markas FIFA di Zurich, Swiss pada 2010 itu, Qatar menang dengan jumlah 14 suara dibanding delapan milik Amerika.
Blatter mengklaim Platini adalah sosok di balik keberhasilan Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
"Terima kasih kepada empat suara dari Platini dan tim (UEFA), Piala Dunia jatuh ke tangan Qatar ketimbang Amerika Serikat. Itulah faktanya," tutur sosok berusia 86 tahun tersebut.
Untuk diketahui, pemungutan suara tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022 dilakukan oleh para anggota komite eksekutif FIFA. Dari 22 pemilik suara, selain Blatter (Swiss), enam di antaranya berasal dari Eropa, yakni Platini (Prancis), Geoff Thompson (Inggris), Michel D`Hooghe (Belgia), Senes Erzik (Turki), Franz Beckenbauer (Jerman), dan Vitaly Mutko (Rusia).
"Platini mengatakan kepada saya bahwa Ia telah diundang ke Elysee Palace, tempat Presiden Prancis (kala itu) Nicolas Sarkozy baru selesai makan siang bersama Putra Mahkota Qatar (Sheikh Tamim bin Hamad Al-Thani, sekarang menjadi Emir Qatar). Sarkozy berkata kepada Platini, `Coba periksa yang kira-kira bisa Anda dan rekan-rekan di UEFA bisa lakukan untuk Qatar ketika pemilihan tuan rumah Piala Dunia`," Blatter bercerita.
"Saya pun bertanya kepadanya `Lalu bagaimana?`. Platini menjawab `Sepp, apa yang akan Anda lakukan jika presidenmu meminta Anda melakukan sesuatu?`," dirinya menambahkan.
Ada Sarkozy di Balik Layar?
Platini diketahui sempat ditahan oleh Parquet National Financer, badan yudisial yang berfokus pada kejahatan finansial dan ekonomi Prancis pada 2019. Ia dimintai keterangan terkait korupsi yang melibatkan Prancis dalam pemilih Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.
Berdasarkan laporan Le Monde, makan siang yang dibicarakan Blatter antara Sarkozy dan Tamim al-Thani, benar terjadi sembilan hari sebelum pemungutan suara. Platini pun benar hadir dalam makan siang yang juga dihadiri Perdana Menteri Qatar ketika itu, Sheikh Hamad bin Jassim.
"Saya menjawab seluruh pertanyaan (dari investigator) dengan tenang, sementara saya tidak tahu alasan saya ada ditahan," kata Platini setelah dibebaskan PNF seperti yang dikutip Guardian. "Saya merasa aneh dengan seluruh hal ini. Ini adalah perkara lama."
Platini membantah tuduhan bahwa Ia memberikan suara kepada Qatar karena permintaan Sarkozy. Ia mengatakan telah mengubah haluan, dari mendukung Amerika jadi mendukung Qatar, sebelum datang ke Elysee Palace.
Satu hal yang pasti, sekitar enam bulan setelah tuan rumah Piala Dunia 2022 dipilih, Qatar Sports Investments membeli Paris Saint-Germain (PSG). Sebagai informasi, Sarkozy memang merupakan suporter PSG dan sering menonton langsung ke Parc des Princes sebelum (dan sesekali setelah) jadi Presiden Prancis pada 2007.
Kemudian, grup media asal Qatar, beIN, membeli hak siar Ligue 1. CEO beIN tak lain adalah Nasser Al-Khelaifi yang juga merupakan CEO PSG dan QSI.
Tak hanya PSG, negara Prancis juga mendapatkan banyak uang dari Qatar. Mereka menjual 50 pesawat Airbus kepada Qatar Airways.
Hubungan Prancis dan Qatar pun terus menghangat. Salah satu "puncaknya" adalah pembelian 24 jet tempur buatan Prancis, Rafaele, dengan total harga sekitar 7 miliar Dollar AS (109,1 triliun Rupiah).
Sarkozy juga diklaim mendapat keuntungan pribadi dari Qatar. Berdasarkan hasil investigasi salah satu media Prancis, Mediapart, Qatar membantu Sarkozy dalam bisnisnya setelah kalah dalam pemilihan umum 2012 melawan Francois Hollande.
"Setelah kembali menjadi pengacara, Nicolas Sarkozy memenangi kontrak dengan dua pengusaha besar di Prancis," tulis Mediapart.
Pengusaha pertama yang dimaksud adalah Sebastien Bazin. Ia bukanlah nama asing bagi penggemar PSG. Bazin masuk sebagai pemegang saham klub pada 2006 dan menjadi CEO pada 2009. Ia juga merupakan bagian dari perusahaan investasi Colony yang menjual PSG kepada QSI.
Pada 2013, Bazin ditunjuk sebagai CEO perusahaan pelayanan bernama Accor. Mediapart mengatakan bahwa firma hukum milik Sarkozy ditunjuk untuk mengurus dokumen-dokumen Accor.
Pengusaha kedua adalah Arnaud Lagardere, seorang konglomerat pemilik grup media Lagardere S.A. Ia menyewa Sarkozy sebagai konsultan hukum dalam hubungan dengan konsorsium Qatar Investment Authority pada 2012. Sebagai informasi, Sarkozy juga merupakan pemilik saham dari grup Lagardere.
Sarkozy membantah seluruh tuduhan kepadanya. Seperti yang dikatakan setelah Qatar terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia pada 2010, "Olahraga bukan milik negara-negara tertentu. Itu adalah milik seluruh dunia...saya tidak paham alasan mereka mengatakan bahwa acara-acara olahraga harus selalu digelar di negara dan kontinen yang sama".
Balasan Qatar
Sepakbola milik seluruh dunia memang menjadi salah satu slogan yang terus menerus digelorakan oleh FIFA. Sekalipun itu berarti harus menggeser Piala Dunia menjadi musim dingin karena suhu di Qatar tak memungkinkan untuk bermain sepakbola pada musim panas.
Qatar sendiri telah berusaha mempersiapkan diri sebaik mungkin agar Piala Dunia 2022 menyajikan pengalaman menonton sepakbola terbaik bagi para penonton. Mereka telah menggelontorkan sekitar 228 miliar Dollar AS (sekitar 3.572 triliun Rupiah) untuk pembangunan infrastruktur.
Terkait konsumsi alkohol, Qatar juga telah melonggarkan aturan demi mengakomodir suporter yang datang. Terkait isu LGBT, mereka menjamin keamanan semua pihak selama mengikuti aturan yang berlaku.
Bagi CEO Piala Dunia 2022, Nassser Al-Khater, seluruh serangan dan sentimen negatif terhadap Qatar adalah upaya Eropa untuk memonopoli Piala Dunia.
"Kampanye (negatif) itu mengkritik ukuran wilayah Qatar, isu lingkungan, warisan sepakbola, dan wacana lainnya. Mereka (Eropa) menolak bahwa negara seperti Qatar atau sebuah negara Muslim Arab bisa menyelenggarakan turnamen besar seperti Piala Dunia," ucap Al-Khater seperti yang dikutip surat kabar Qatar, The Peninsula. "Sejak awal, kami sampaikan bahwa turnamen ini mewakili seluruh orang Arab dan seluruh dunia Arab."
Al-Khater menilai antusiasme para penonton yang telah memesan tiket pertandingan menjadi bukti bahwa Qatar dapat dipercaya sebagai penyelenggara Piala Dunia. Diketahui bahwa sekitar tiga juta tiket telah terjual.
"Saya tegaskan, prioritas utama kami adalah membuat turnamen sangat sukses. Kami menanggapi kritik dengan cara yang jelas melalui media sehingga kami berharap pihak lain juga menilai kami secara profesional," tutur dirinya.
Kedekatan Blatter-Qatar
Perang kata-kata antara Blatter dan Qatar adalah hal menarik. Pasalnya, pria asal Swiss itu diketahui sempat memiliki relasi dekat dengan Qatar.
Kedekatan antara Blatter dengan Qatar terjalin lewat Mohammed Bin Hammam, mantan ketua federasi sepakbola Qatar (1992-1996) dan Presiden AFC (2002-2011). Bin Hammam merupakan salah satu orang yang mendukung Blatter dalam pemilihan Presiden FIFA pada 1998 (ketika Joao Havelange pensiun).
Dalam buku The Secret World of FIFA: Bribes, Vote Rigging & Ticket Scandals yang ditulis Andrew Jennings, diungkapkan bahwa “Blatter mengatakan memiliki beberapa ‘sponsor minor’ (untuk kampanye), salah satunya Mohammed Bin Hammam”. Selepas itu, hubungan keduanya semakin akrab.
"Saya dikenal sebagai pendukung Blatter. Jelas bahwa saya adalah penasihatnya yang tulus. Dan, saya akan mengatakan, bahwa saya berkontribusi atas kesuksesannya," kata Bin Hammam dalam dokumenter FIFA Uncovered di Netflix.
Perubahan mulai terjadi pada 2009. Bin Hammam mengaku mulai tak senang dengan Blatter karena merasa dikhianati.
"Pada 2009, ada pemilihan di Asia yang memperebutkan posisi saya di FIFA. Ada kandidat lain (Sheikh Salman bin Ebrahim al-Khalifa dari Bahrain) dan saya sangat terkejut karena Blatter mendukung dirinya," tuturnya.
"Bagi saya, itu cukup aneh. Saya seharusnya adalah temannya. Ia berpikir bahwa saya adalah ancaman baginya dan ingin menyingkirkan saya dari FIFA. Jadi, saya mengatakan bahwa saya akan membuat hidupnya tidak nyaman," ujar Bin Hammam sambil tertawa kecil.
Hubungan antara Bin Hammam dan Blatter semakin merenggang di tahun 2010, tepatnya setelah pemilihan tuan rumah Piala Dunia. Blatter memang diketahui mendukung Amerika menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, berbeda dengan Bin Hammam yang menjadi bagian tak resmi tim pemenang Qatar.
"Yang membuat saya tak nyaman adalah hal yang dilakukan Blatter. Ia sangat ingin Qatar tersingkir," keluh Bin Hammam.
Persaingan keduanya memuncak ketika Bin Hammam mencoba merebut kursi Presiden FIFA dari Blatter yang mencalonkan diri untuk keempat kalinya pada 2011. Bin Hammam merasa Blatter telah melanggar janji terkait masa jabatan sebagai presiden FIFA. Hal ini membuatnya kesal.
"Saya pikir Blatter tidak tertarik (kembali mencalonkan diri) pada 2011. Presiden harus punya batas, yakni tiga periode. Jadi, saya merasa hal ini tidak baik untuk sepakbola," kata Bin Hammam.
Sementara, Blatter diklaim melihat Bin Hammam sebagai pesaing yang harus disingkirkan. Keberhasilan Bin Hammam membawa Piala Dunia 2022 ke Qatar jadi tanda bahwa kekuasan Blatter di FIFA mulai goyah.
"Saya ingin mempertahankan posisi saya. Saya tidak bisa meninggalkan bertahun-tahun yang saya habiskan untuk perkembangan sepakbola," kata Blatter.
Peluang untuk menjegal Bin Hammam tiba pada 10 Mei 2011, sekitar dua pekan sebelum Kongres FIFA ke-61. Ia diketahui memberikan sejumlah uang kepada beberapa ketua asosiasi di CONCACAF. Ia berkelit, uang yang diberikan jelang pemilihan presiden FIFA itu bukan suap, melainkan bantuan dana untuk pengembangan sepakbola di negara masing-masing.
Kesempatan emas ini tidak disia-siakan oleh Blatter. Tiga hari jelang pemilihan presiden, mantan Putra Mahkota Qatar, Sheikh Jassim bin Hamad bin Khalifa Al Thani, datang ke markas FIFA bersama Bin Hammam.
"Ia (Sheikh Jassim) menyampaikan bahwa Emir Qatar mengatakan `Anda (Bin Hamam) tidak boleh melawan Tuan Blatter. Kita akan mendukung Tuan Blatter dalam pemilihan 2011," kenang Blatter.
Bin Hammam mengundurkan diri dari pemilihan ketua. Sementara, Blatter kembali terpilih melanjutkan kepemimpinannya tanpa perlawanan, sama seperti ketika Ia mengamankan kontrak senilai 300 juta Dollar AS (4,6 miliar Rupiah) antara FIFA dengan BeIN untuk hak siar Piala Dunia 2018 dan 2022.
Komentar